Setelah menjadi petapa, Bodhisatta berdiam selama tujuh hari dalam kebahagiaan pertapaan di hutan mangga yang disebut Anupiya kemudian berjalan kaki sejauh tiga puluh yojanà dalam sehari dan memasuki Kota Ràjagaha. (Pernyataan ini diambil dari Komentar Buddhavaÿsa dan Komentar Jàtaka).
memasuki rajagaha untuk mengumpulkan dana makanan
Ketika Beliau akan mengunjungi Kota Ràjagaha untuk mengumpulkan dàna makanan, Beliau berdiri di pintu gerbang timur kota itu; Beliau berpikir, “Jika Aku mengirim pesan kepada Raja Bimbisàra mengenai kunjungan-Ku, ia akan tahu bahwa Pangeran Siddhattha, putra Raja Suddhodana, telah datang ke kotaku; kemudian dengan penuh perhatian dan penghormatan ia akan mengirimkan banyak harta benda kepada-Ku.
Tidaklah tepat bagi seorang petapa seperti-Ku untuk memberitahukannya dan menerima empat kebutuhan dengan cara seperti itu. Sekarang, Aku akan pergi mengumpulkan dàna makanan.” Jadi, setelah mengenakan jubah Pamsukålika yang dipersembahkan oleh Brahmà Ghatikara dan mengambil mangkuk-Nya, Bodhisatta memasuki kota melalui pintu gerbang timur dan mengumpulkan dàna makanan dari rumah ke rumah.
Tujuh hari sebelum Bodhisatta memasuki Kota Ràjagaha untuk mengumpulkan dàna makanan, sebuah festival sedang dirayakan oleh orang banyak. Pada hari Bodhisatta memasuki kota. Raja Bimbisàra mengumumkan dengan tabuhan genderang, “Festival telah selesai. Para penduduk harap segera kembali ke pekerjaannya masing-masing.”
Pada waktu itu para penduduk masih berkumpul di halaman istana. Sewaktu raja membuka jendela dan melihat keluar untuk memberikan perintah yang diperlukan, ia melihat Bodhisatta yang memasuki Ràjagaha dengan penuh ketenangan.
Melihat penampilan yang anggun dari Bodhisatta, para penduduk Ràjagaha menjadi sangat gembira dan terjadi kegemparan di seluruh kota seperti ketika Gajah Nàlàgiri, yang juga disebut Dhammapàla, memasuki kota atau seperti para penghuni Alam Tàvatimsa yang ketakutan saat Raja Asura bernama Vepaciti, mendatangi tempat mereka.
Ketika Bodhisatta mulia berkeliling dengan keagungan raja Gajah Chaddanta untuk mengumpulkan dàna makanan dari rumah ke rumah di Kota Ràjagaha, para penduduk menyaksikan penampilan anggun yang tiada bandingnya dalam diri Bodhisatta, mereka merasa sangat gembira dan terheran-heran, penasaran ingin melihat bagaimana tingkah laku Bodhisatta yang unik.
Salah satu orang berkata kepada orang lainnya, “Teman, bagaimana ini? Apakah istana bulan yang turun ke alam manusia dengan cahayanya yang menyembunyikan ketakutan Rahu Si Raja Asura?”
Orang kedua menjawab dengan nada mengejek, “Apa yang kau katakan, teman? Pernahkah engkau melihat bulan yang turun ke alam manusia? Itu adalah Dewa Kàma, Dewa Keinginan, melihat kemegahan raja kita dan para penduduknya, ia turun dan menyamar untuk bermain dan bersenang-senang dengan kita.”
Orang ketiga berkata, “O teman, bagaimana itu? Apakah kau gila? Dewa Kàma memiliki tubuh berwarna hitam legam karena terbakar oleh api kekuasaan, keangkuhan, dan kemarahan. Sebenarnya orang yang kita lihat itu adalah Sakka, raja para dewa, yang memiliki seribu mata, yang datang ke kota kita karena mengira bahwa ini adalah Alam Tàvatimsa.”
Orang keempat sambil tersenyum berkata kepada orang ketiga, “Bagaimana engkau dapat mengatakan hal itu? Kata-katamu sendiri saling bertentangan. Menyebutnya Sakka, mana seribu matanya? Mana gajah tunggangannya Eràvana? (Jika Ia adalah Sakka, ia harus memiliki seribu mata, bersenjata petir, dan Eràvana sebagai tunggangannya.
Ia tidak memiliki semua itu). Sebenarnya, ia adalah brahmà yang, mengetahui bahwa para brahmana telah melupakan semua Veda, datang untuk mengingatkan mereka agar tidak melupakan pelajaran mereka dan melatihnya dengan rajin.”
Orang lain, seorang terpelajar, menghentikan perdebatan mereka dan berkata, “Beliau bukan bulan, bukan Dewa Kàma, bukan Sakka, dan bukan brahmà. Sebenarnya, Beliau adalah manusia luar biasa, raja dan guru di tiga alam.”
Selagi para penduduk Ràjagaha saling berbicara, masing-masing dengan pendapatnya sendiri-sendiri, pelayan istana datang kepada Raja Bimbisàra dan melaporkan, “Raja besar, seorang yang luar biasa yang tidak seorang pun mengetahui apakah Beliau adalah dewa, atau gandabha atau nàga atau yakkha, sedang mengumpulkan dàna makanan di Kota Ràjagaha.”
Mendengar kata-kata ini, raja yang telah melihat Bodhisatta dari teras atas di istananya merasa penasaran dan memerintahkan menterinya, “Pergi selidiki orang ini; jika ia adalah yakkha ia akan menghilang ketika tiba di luar kota ini; jika ia adalah dewa ia akan berjalan di angkasa; jika ia adalah nàga ia akan masuk ke dalam tanah dan menghilang; jika ia manusia, ia akan memakan makanannya di tempat tertentu.”
Dengan ketenangan indria dan batinnya juga dalam keanggunannya, dengan mata yang selalu menatap ke bawah (sejauh kira-kira empat lengan), Beliau menarik perhatian para penduduk Ràjagaha, Beliau berkeliling dan mengumpulkan makanan secukupnya—makanan yang terdiri dari berbagai macam bahan kasar dan halus berwarna warni dicampur menjadi satu.
Kemudian Beliau bertanya kepada para penduduk, “Di manakah biasanya para petapa yang mengunjungi kota ini berdiam?” Para penduduk menjawab, “Mereka biasanya berdiam di jalan masuk menuju gua yang menghadap timur di puncak Gunung Pandava.”
Dan kemudian Bodhisatta meninggalkan kota melalui pintu gerbang timur. Setelah itu Beliau duduk menghadap ke timur di jalan masuk gua di gunung dan berusaha memakan makanan campur aduk dari bahan kasar dan halus yang dibawa-Nya.
Setelah menikmati kebahagiaan bagaikan raja dunia hanya beberapa hari yang lalu, Beliau berusaha keras untuk menelan beberapa suap makanan yang merupakan campuran berbagai bahan kasar maupun halus dan berwarna-warni. Ketika Beliau menyuapkan makanan itu ke mulut-Nya, Beliau merasa menderita dan nyaris muntah dengan usus terbalik, karena Beliau belum pernah melihat makanan seperti itu sebelumnya yang sangat menjijikkan.
Kemudian Beliau menegur diri-Nya sendiri, “Ya Siddhattha, walaupun sebenarnya, Engkau bisa menikmati kemewahan istana di mana makanan dan minuman lezat selalu tersedia dan di mana Engkau memiliki makanan dari beras-beras harum dengan kelezatan yang berbeda-beda kapan saja Engkau inginkan, namun Engkau, karena melihat petapa berpakaian tambal-tambalan merenungkan, ‘Kapankah Aku dapat memakan makanan yang diperoleh dari meminta-minta dari rumah ke rumah setelah menjadi petapa seperti dirinya? Kapankah waktunya tiba bagi-Ku untuk hidup dari makanan yang dikumpulkan dengan cara seperti itu?’ Dan bukankah Engkau telah melepaskan keduniawian dan menjadi petapa karena pikiran seperti itu? Sekarang keinginan-Mu telah terkabul, mengapa Engkau malah ingin berubah pikiran?” Kemudian dengan lahap Beliau memakan makanan-Nya yang paling kasar sekalipun.
Tiga orang menteri yang dikirim oleh Raja Bimbisàra untuk menyelidiki, mendekati Bodhisatta dan mengamati seluruh kenyataan dari diri Bodhisatta. Kemudian dua orang tetap tinggal sementara orang ketiga kembali menghadap raja dan melaporkan.
“Raja besar, petapa yang mengumpulkan dàna makanan masih duduk dengan tenang di jalan masuk ke gua yang menghadap timur di puncak Gunung Pandava sama sekali tidak merasa takut bagaikan raja singa atau raja macan atau raja sapi, setelah memakan makanan yang diperolehnya.”
Mendengar hal itu, raja tergopoh-gopoh pergi dengan mengendarai kereta mewah menuju tempat Bodhisatta di puncak Gunung Pandava sejauh yang bisa dilewati oleh kereta itu; kemudian meninggalkan kereta dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Ketika ia sudah berada di dekat Bodhisatta, ia duduk di atas sebuah batu yang sejuk setelah meminta izin dari Bodhisatta dan merasa terkesan oleh sikap Bodhisatta.
Ia berkata, “Teman, Engkau masih berusia muda. Engkau juga memiliki karakteristik baik dan jasmani yang tampan. Aku rasa Engkau pasti berasal dari kasta tinggi, kesatria murni. Aku akan menawarkan kebahagiaan istana dan kekayaan; apa pun yang Engkau inginkan di dua negara Angga dan Magadha yang adalah wilayah kekuasaanku. Jadilah raja dan memerintahlah! Juga katakanlah padaku silsilah-Mu.”
Demikianlah raja menanyai Bodhisatta dan menawarkan kerajaan kepada-Nya. Kemudian Bodhisatta mempertimbangkan, “ Jika Aku berkeinginan untuk menjadi raja, bahkan empat raja dewa di alam surga dan lain-lainnya akan menawarkan kerajaannya kepada-Ku. Atau, jika Aku tetap tinggal di istana-Ku sebagai raja, dapat dipastikan Aku akan menjadi raja dunia.
Tanpa mengetahui hal ini, Raja Bimbisàra memberikan penawaran tersebut pada-Ku dengan mengatakan hal-hal tadi. Aku akan memberitahukan kehidupan istana-Ku kepadanya.” Dengan pikiran demikian, Ia merentangkan tangan kanan-Nya dan menunjuk arah dari mana Beliau datang.
Setelah dengan beberapa syair indah Petapa Gotama menyatakan bahwa ia anak dari Raja Suddhodana , Kemudian Raja Bimbisàra menjawab, “Yang Mulia, aku telah mendengar bahwa ‘Pangeran Siddhattha’, putra Raja Suddhodana, setelah melihat empat pertanda dengan mata-Nya sendiri, pergi melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, yang akan mencapai Pencerahan Sempurna.
Pemimpin tertinggi di tiga alam. Setelah menyaksikan sendiri cita-cita agung-Mu untuk mencapai Nibbàna. Aku percaya bahwa Engkau akan menjadi Buddha. Yang Mulia, izinkan aku mengajukan permohonan. Ketika Engkau telah mencapai Kebuddhaan, mohon agar kunjungan pertama-Mu adalah ke negeriku!” Setelah dengan sungguh-sungguh menyampaikan undangannya, Raja Bimbisàra kembali ke kota.
Selanjutnya===>>>
<<<===Sebelumnya
salam ceria...
0 komentar:
Posting Komentar