Ketika tiba di minggu keempat, Buddha merenungkan hukum tertinggi dari Abhidhammà Piñaka selagi duduk bersila di dalam rumah emas (Ratanàghara) yang diciptakan oleh para dewa dan brahmà di sudut barat laut dari pohon Mahàbodhi.
Menurut Jinàlankàra Tikà, ketika Buddha duduk bersila di dalam rumah emas dan merenungkan Dhamma mengamati makhluk-makhluk yang layak ditolong, Beliau melihat jelas rangkaian praktik sila, samàdhi, dan pannà: makhluk-makhluk dewa, manusia, dan brahmà yang layak ditolong akan mencapai keadaan mulia Jalan dan Buahnya, Nibbàna, dengan menjalani sãla, memusatkan pikirannya melalui samàdhi, dan berusaha mengembangkan Pandangan Cerah melalui pannà.
Oleh karena itu Buddha pertama-tama merenungkan Vinaya Piñaka yang mengajarkan sila, kemudian Sutta Pitaka yang mengajarkan samàdhi, dan akhirnya Abhidhammà Pitaka yang mengajarkan pa¤¤à.
Ketika Beliau merenungkan Abhidhammà Pitaka, Beliau memulai pertama-tama dari enam ajaran-ajaran yang sederhana Dhammasàngani, Vibhanga, Dhàtukathà, Puggala Pannàtti, Kathà Vatthu, dan Yamaka; enam sinar tubuh-Nya tidak memancar karena Kemahatahuan-Nya yang sangat luas dan hukum-hukumnya (dalam ajaran tersebut) sangat terbatas; sinar tubuh-Nya tidak dapat dipancarkan.
Namun ketika Beliau merenungkan ajaran yang ketujuh yang mencakup seluruh Patthàna dengan metode yang tidak terbatas (anantanaya samanta), Kemahatahuan-Nya berkesempatan untuk memperlihatkan kecemerlangannya (seperti ikan raksasa timingala, berukuran seribu yojanà, berkesempatan bermain-main di samudra.)
Ketika Buddha memusatkan pikiran-Nya pada titik yang paling halus dan dalam yang mencakup seluruh Patthàna dengan metode yang tidak terbatas, muncullah dalam batin Buddha kebahagiaan luar biasa. Karena kebahagiaan ini, darah-Nya menjadi murni, karena kemurnian darah-Nya, kulit-Nya juga menjadi bersih.
karena kebersihan kulit-Nya, cahaya sebesar rumah atau sebesar gunung bersinar dari bagian depan tubuh-Nya dan memancar hingga alam semesta yang tidak terhitung banyaknya di sebelah timur bagaikan Chaddanta, raja gajah, terbang di angkasa.
Demikian pula, cahaya bersinar dari bagian belakang tubuh Buddha dan memancar hingga alam semesta yang tidak terhitung banyaknya di sebelah barat; cahaya bersinar dari sebelah kanan tubuh Buddha dan memancar hingga alam semesta yang tidak terhitung banyaknya di sebelah selatan.
Cahaya bersinar dari sebelah kiri tubuh Buddha dan memancar hingga alam semesta yang tidak terhitung banyaknya di sebelah utara; dan dari telapak kaki-Nya memancar cahaya berwarna koral, mencapai angkasa luas setelah menembus daratan, air, dan udara.
Bagaikan rantai yang berhiaskan batu safir yang melingkar, demikian pula bola cahaya biru memancar satu demi satu dari kepala-Nya, mencapai angkasa di atasnya setelah melewati enam alam dewa dan dua puluh Alam Brahmà Kàmàvacara. Pada waktu itu tidak terhitung banyaknya makhluk di alam semesta yang tidak terhitung banyaknya memancarkan cahaya keemasan.
Catatan: Cahaya yang memancar dari tubuh Buddha pada hari Beliau merenungkan hukum Patthàna masih bergerak menuju alam semesta yang tidak terhitung banyaknya bahkan hingga hari ini dalam bentuk rantai zat-zat yang bersuhu (utuja-rupa).
Selanjutnya===>>>
<<<===Sebelumnya
salam ceria...
0 komentar:
Posting Komentar