Mara berusaha dengan keras untuk menaklukkan Boddhisatta Petapa Gotama dengan berbagai kesaktian dan tipu-dayanya. Namun Boddhisatta Petapa Gotama, dengan Welas-Asihnya, mampu mematahkan berbagai serangan yang dilancarkan oleh Mara.
Tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi, panik serta marah, ia meneriakkan perintah (kepada pasukannya), “Mengapa kalian hanya berdiri diam di sana? Jangan biarkan Pangeran Siddhattha ini mencapai cita-cita-Nya menjadi Buddha; tangkap Dia, bunuh Dia, tusuk, dan hancurkan Dia. Jangan biarkan Dia melarikan diri.”
Ia sendiri mendekati Bodhisatta, duduk di punggung Gajah Girimekhala, melambai-lambaikan sebatang anak panah, ia berkata kepada Bodhisatta, “O Pangeran Siddhattha, menjauhlah dari singgasana permata itu.” Pada saat itu, prajurit-prajurit Màra terlihat dalam wujud yang menakutkan, dan mengancam dengan tindakan-tindakan yang menakutkan.
Seorang ayah yang penuh welas asih tidak akan menunjukkan kemarahan sedikit pun kepada putranya yang nakal, bahkan sebaliknya ia akan merangkulnya, memangkunya dan menidurkannya di pangkuannya dengan cinta kasih dan welas asih seorang ayah terhadap anaknya.
Demikian pula, Bodhisatta mulia memperlihatkan kesabaran terhadap semua perbuatan buruk dari Màra jahat, tidak sedikit pun merasa sedih; dan Beliau melihat Màra tanpa rasa takut tetapi dengan penuh cinta kasih dan welas asih.
Jika kumpulan jasa-jasa baik seluruh makhluk-makhluk di seluruh alam semesta yang tidak terhitung banyaknya ditempatkan di satu sisi dari sebuah timbangan kebijaksanaan dan kumpulan jasa-jasa baik yang Kulakukan dalam bentuk Pàramã, ditempatkan di sisi lainnya, kumpulan jasa-jasa baik dari seluruh makhluk tidak dapat menyamai bahkan seper dua ratus lima puluh enam (1/256) dari jasa-jasa baik yang dihasilkan dari satu Pàramã yang Kulakukan.
Benar! Bahkan dalam kehidupan-Ku sebagai kelinci di alam binatang, Aku telah dengan sengaja melompat ke dalam kobaran api untuk memberikan daging-Ku yang telah matang dengan penuh kegembiraan ketika Aku melihat ia yang mengharapkan daging-Ku.
Màra tidak tahu, manusia seperti apakah Aku ini; bahwa Aku memiliki pribadi yang seperti ini dalam kehidupan ini adalah sebagai hasil dari kebajikan-kebajikan yang telah Kulakukan. Dan dia pikir Aku hanyalah manusia biasa.
Sebenarnya, Aku bukanlah manusia biasa berumur tujuh hari; Aku juga bukan raksasa, atau brahmà atau dewa. Aku dikandung dalam rahim seorang perempuan meskipun Aku bukan seorang manusia biasa berumur tujuh tahun untuk menunjukkan penderitaan karena usia tua, sakit, dan kematian dalam lingkaran kelahiran kepada semua makhluk.
Hei! Màra, meskipun Aku terlahir di alam manusia ini, Aku tidak sedikit pun ternoda oleh kondisi-kondisi makhluk-makhluk. Setelah mengatasi kondisi-kondisi ini yang tidak terbatas dan kotoran batin yang juga tidak terbatas, Aku memperoleh gelar si penakluk yang tidak terbatas (Anantajina).
Bahkan selagi Aku duduk di singgasana tidak terlihat tanpa mengubah postur duduk bersila ini, Aku telah menghanguskan dan menyingkirkan semua kotoran batin; Aku telah benar-benar menjadi Buddha di antara manusia, dewa, dan brahmà. Dan Aku akan menolong semua makhluk dari aliran samsàra dan membawanya ke daratan tinggi Nibbàna. Engkau tidak mampu menahan-Ku; bukan urusanmu.
Hei! Màra, melihat bala tentaramu mendekat dari segala penjuru dengan kibaran bendera dan engkau yang menunggangi Gajah Girimekhala, Aku mendekat dan menghadapimu dengan kebijaksanaan dan bertempur dengan gagah berani. (Yang dimaksudkan di sini bukan mendekat secara fisik, tetapi dengan kekuatan kebijaksanaan). Engkau tidak dapat membuat-Ku bangkit atau pindah dari singgasana yang tidak terlihat ini; Aku akan melihat bahwa engkau tidak mampu melakukan hal ini.
Hei! Màra, bagaikan seorang kuat yang menggunakan sebuah batu besar menghancurkan semua kendi dan cangkir yang dibuat oleh seorang pengrajin tembikar, Aku akan menghancurkan dengan sebelah tangan dan tanpa bangkit dari tempat ini dan dengan kekuatan kebijaksanaan, sepuluh bala tentaramu berupa nafsu indria, kamaraga, (telah dijelaskan di atas) yang mana seluruh dunia akan mengaku kalah.
Aku akan menghancurkannya dengan perasaan jijik; atau bala tentaramu yang mendekat yang sebesar dua belas yojanà ke depan, kiri dan kanan, sembilan yojanà ke atas mencapai batas alam semesta, Aku akan memukul mundur seluruh bala tentaramu hingga tidak satu pun yang tertinggal. Bahkan sejak saat ini, engkau dan seluruh bala tentaramu akan Kubuat menyerah bagaikan sekelompok burung-burung yang terbang jauh karena dilempar batu.
Hei! Màra, sebenarnya, jika Aku menginginkan (jika Aku ingin menjadi kecil), Aku dapat berjalan-jalan di dalam sebutir biji mostar. Jika Aku menginginkan (jika Aku ingin menjadi besar), Aku dapat menutupi seluruh alam semesta dengan tubuh-Ku (atthabhava).
Hei! Màra, Aku memiliki kekuatan untuk menghancur-leburkan engkau beserta seluruh bala tentaramu hanya dengan menjentikkan jari; namun Aku tidak akan merasakan sedikit pun kegembiraan dengan membunuh makhluk lain, karena itu adalah perbuatan salah.
Apa untungnya bagi-Ku jika Aku menggunakan senjata kekuatan fisik-Ku melawan Màra ini yang seukuran cacing tanah? Benar, Aku bahkan tidak menyukai berbicara dengan Màra jahat ini.
(Sebelum Bodhisatta mengucapkan kata-kata tegas ini, Màra bertanya, “O Pangeran Siddhattha, mengapa Engkau menduduki singgasana yang tidak terlihat milikku ini?” Bodhisatta menjawab, “Siapakah yang menjadi saksi bahwa singgasana yang tidak terlihat ini adalah milikmu?” Dewa Màra merentangkan tangannya dan berkata, “Apa gunanya mendatangkan saksi lain; semua prajurit Màra yang sekarang berada di depan-Mu adalah saksiku;” dan pada saat itu, banyak crore prajuritnya muncul bersamaan berseru “Aku saksinya, aku saksinya.” Kemudian Bodhisatta, untuk menahan pasukan Màra, mengucapkan bait berikut untuk mengungkapkan saksinya).
Hei! Màra, karena keinginan-Ku akan singgasana yang tidak terlihat ini, tidak ada dàna yang tidak Kuberikan; tidak ada sãla yang tidak Kupatuhi; tidak ada penyiksaan diri (dukkara) yang tidak Kupraktikkan, dalam banyak kehidupan di banyak alam. Hei! Màra, untuk Kesempurnaan Kedermawanan saja, yang telah Kulakukan dalam banyak kehidupan, bahkan dalam satu kehidupan sebagai Vessantara,
ketika Aku melakukan dàna besar tujuh kali hingga mencapai dàna-Ku yang tertinggi dengan mendanakan Ratu Maddi, bumi ini berguncang tujuh kali. Sekarang Aku menduduki singgasana yang tidak terlihat ini untuk menaklukkan seluruh dunia, dan engkau bala tentara Màra datang menantang-Ku bertempur, mengapa bumi ini begitu tenang dan tidak berguncang?
Hei! Màra, engkau memerintahkan prajuritmu untuk memberikan kesaksian palsu; namun bumi ini tidak berniat apa-apa dan bersikap adil padamu maupun pada-Ku, bumi ini tidak memihak engkau maupun Aku, dan tidak bermaksud apa pun, bumi ini adalah saksi-Ku.” Setelah berkata demikian, Bodhisatta mengeluarkan tangan kanan-Nya dari balik jubah-Nya dan menunjuk bumi, bagaikan lintasan kilat yang menyambar dari celah awan.
Pada saat itu juga, bumi ini berputar cepat bagaikan roda tembikar dan berguncang dengan keras. Bunyi yang diakibatkan oleh bumi menggelegar di seluruh angkasa bagaikan guruh. Tujuh gunung yang mengelilingi Gunung Meru serta Pegunungan Himalaya juga bergemuruh terus menerus, Seluruh sepuluh alam semesta berguncang menakutkan dan mengeluarkan bunyi yang dahsyat, bergemeretak dan terdengar bunyi ledakan-ledakan bagaikan hutan bambu yang terbakar.
Seluruh angkasa yang tidak berawan bergemuruh menakutkan bagaikan padi yang dipanggang dan meletus di dalam panci panas. Hujan percikan api yang sangat lebat bagaikan air terjun lahar dari gunung berapi, dan halilintar menyambar-nyambar.
Màra, yang terperangkap di tengah-tengah bumi dan langit yang terus-menerus menggelegar, sangat ketakutan tanpa pertolongan dan perlindungan, menjatuhkan bendera pertempurannya dan melepaskan seribu senjatanya di tempat itu juga, kemudian lari tunggang langgang dengan kecepatan tinggi tanpa sempat melirik ke arah gajahnya ‘Girimekhala.’
Karena Màra menyerah, bala tentaranya porak poranda dan para prajuritnya juga menyerah, bubar dalam kekacauan ke segala penjuru bagaikan abu yang berhamburan tertiup badai; akhirnya mereka semua kembali ke Alam Dewa Vasavatti.
Demikianlah, dengan kemenangan atas Màra Vasavatti sebelum matahari tenggelam pada hari purnama di bulan Vesàkha, di tahun 103 Mahà Era, Bodhisatta menjadi penakluk semua alam, semua makhluk dan mencapai keadaan tanpa takut, tanpa bahaya, dan dengan selamat.
Pada saat itu, melihat bala tentara Dewa Màra yang tercerai berai dan porak poranda, para dewa dan brahmà yang lari ketakutan saat datangnya Màra, bertanya-tanya, “Siapa yang akan keluar sebagai pemenang? Siapa yang kalah?” Menyaksikan peristiwa ini, mereka bersorak, “jayo hi Buddhassa sirimato ayam,” dan seterusnya.
“Kabar baik, Màra telah ditaklukkan; Pangeran Siddhattha keluar sebagai pemenang; kita akan merayakan kemenangan-Nya.” Dikirim dari satu nàga ke nàga lain, dari satu garuda ke garuda lain, dari satu dewa ke dewa lain, dari satu brahmà ke brahmà lain; membawa bunga-bunga dan wangi-wangian, dan lain-lain di tangan masing-masing; mereka berkumpul di singgasana Mahàbodhi di mana Bodhisatta berdiam.
Kemenangan yang diserukan oleh bumi dan langit yang mati yang bergemuruh seolah-olah hidup, hanya dimiliki Buddha, yang karena Kemahatahuan-Nya memiliki segala pengetahuan akan Kebenaran sampai yang sekecil-kecilnya yang harus diketahui, yang merupakan gudang penyimpanan keagungan yang tiada bandingnya di sepuluh ribu alam semesta.
Kemenangan ini dirayakan oleh manusia, dewa, dan Brahmà yang bergema menembus angkasa. Dan Màra yang jahat dan keji yang menderita hinaan kekalahan, mundur kocar kacir, takut akan kekuatan Buddha, dan dibutakan oleh kebodohan, mundur bersama bala tentaranya, seolah-olah dapat menyebabkan pergolakan di delapan penjuru permukaan bumi, yang memulai serangan dengan gertakan untuk merebut singgasana Puncak-Bodhi (Bodhimakuta Pallanka).
Demikianlah, pada hari kemenangan, pada hari purnama di bulan Vesàkha, tahun 103 Mahà Era, di tempat singgasana yang tidak terlihat di mana Kemahatahuan dicapai oleh Buddha, rombongan nàga, garuda, dewa, dan Brahma di alam surga, berbahagia dan bergembira dengan kemenangan Buddha, yang telah melatih sifat-sifat luar biasa seperti kelompok-kelompok perbuatan baik (silakhandha), menyerukan kemenangan yang bergema keras mencapai sepuluh ribu alam semesta.
Semua dewa dan brahmà yang berasal dari sepuluh ribu alam semesta berkumpul di depan Bodhisatta, bersujud di depan-Nya, memberi hormat dengan persembahan bunga-bungaan, wangi-wangian, menyanyikan puji-pujian dan menyampaikan penghormatan dalam berbagai cara.
Selanjutnya===>>>
<<<===Sebelumnya
salam ceria...
0 komentar:
Posting Komentar