Ketika Beliau bangun dari pingsan-Nya. Bodhisatta berpikir, “Adalah lebih baik jika Aku berlatih tanpa memakan makanan sama sekali.” Dan pada waktu itu para dewa berkata kepada-Nya, “Oh, Bodhisatta, Samana Mulia! Jangan tidak makan sama sekali.
Oh, Bodhisatta, Samana Mulia! Jika Engkau tidak makan sama sekali, kami akan memasukkan makanan dewa melalui pori-pori-Mu. Dan dengan makanan itu Engkau akan tetap hidup.”
Kemudian Bodhisatta berpikir lagi, “Jika Aku tidak makan sama sekali dan jika para dewa memberikan makanan melalui pori-pori-Ku, dan jika Aku tetap hidup meskipun Aku menyatakan Aku berpuasa secara total, hidup-Ku dengan makanan dewa ini akan melawan diri-Ku sendiri sehingga menjadi saling berlawanan.”
Kemudian Beliau berkata kepada para dewa, “Oh, dewa, jangan memasukkan makanan dewa melalui pori-pori-Ku. Aku akan makan secukupnya untuk hanya mempertahankan hidup-Ku.”
Sejak saat itu, Bodhisatta tidak lagi berpuasa total tetapi makan sedikit demi sedikit. Untuk makan selama satu hari kadang-kadang Ia mengambil segenggam nasi, kadang-kadang sesuap sup kacang, segenggam bubur, dan sesuap sup ercis.
Dengan memakan hanya makanan demikian, bentuk tubuh Bodhisatta terlihat sangat kurus dan lemah.
Karena Bodhisatta hanya makan sangat sedikit makanan, bagian tubuh-Nya yang besar maupun kecil menonjol di tiap-tiap sendi tulang-Nya dan kurus serta seperti ditekan pada bagian-bagian lainnya seperti buku-buku tanaman menjalar àsitika dan kàla.
Bokong Bodhisatta bagaikan kuku unta dengan anus yang seperti ditekan.
Punggung-Nya (tulang punggung) Bodhisatta menonjol keluar dan menjorok ke dalam seperti butiran tasbih.
Daging di antara tulang-tulang rusuk-Nya menjorok ke dalam memperlihatkan pemandangan yang sangat menakutkan seperti rangka atap rumah seorang petapa.
Bola mata-Nya juga terlihat menjorok ke dalam rongga mata-Nya seperti gelembung-gelembung air dari mata air yang dalam.
Kulit kepala-Nya keriput dan kering bagaikan buah labu yang dijemur.
Kulit perut-Nya menempel ke tulang punggung-Nya, tulang punggung-Nya dapat terasa jika kulit perut-Nya disentuh, dan kulit perut-Nya dapat dirasakan kalau tulang punggung disentuh.
Ketika duduk untuk menjawab panggilan alam (buang air), air seni tidak keluar seluruhnya karena tidak tersedia cukup cairan di dalam perut-Nya untuk diubah menjadi air seni. Sedangkan tinja-Nya, berupa satu atau dua bola keras seukuran biji kacang yang dikeluarkan dengan susah payah. Keringat bercucuran di sekujur tubuh-Nya. Dia jatuh di tempat itu juga dengan wajah tertelungkup.
Ketika Bodhisatta mengusap tubuh-Nya dengan tangan untuk mendapatkan perasaan nyaman, bulu-bulu badan-Nya, yang akarnya tidak pernah mendapatkan nutrisi dari daging dan darah-Nya, berguguran dari tubuh-Nya dan menempel di tangan-Nya.
Warna kulit Bodhisatta yang kuning cerah seperti warna emas murni, siïginikkha. Namun bagi mereka yang melihat-Nya selama Beliau menjalani penyiksaan diri, beberapa orang berkata, “Samana Gotama berkulit hitam.” Beberapa orang berkata, “Samana Gotama bukan berkulit hitam, Ia berkulit cokelat.” Beberapa orang lain lagi mengatakan, “Samana Gotama bukan berkulit hitam atau cokelat, kulitnya berwarna abu-abu seperti ikan lele.”
Selanjutnya===>>>
<<<===Sebelumnya
salam ceria...
0 komentar:
Posting Komentar