Setelah Bodhisatta menyelesaikan praktik penyiksaan diri, dukkaracariya, selama enam tahun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, saat itu adalah awal bulan Vesàkha (April-Mei) setelah bulan Citta (Maret-April) tahun 103 Mahà Era. Pada waktu itu Bodhisatta berpikir:
“Para samana dan brahmana pada masa-masa lampau dalam praktik penyiksaan diri hanya mampu melewati penderitaan sekeras ini. Mereka tidak mampu melewati penderitaan yang lebih keras dari yang Kualami sekarang. Para samana dan brahmana sekarang juga mempraktikkan penyiksaan diri sekeras apa yang Kualami sekarang. Mereka tidak dapat melewati lebih dari apa yang Kualami sekarang.
(Kerasnya usaha yang Kulakukan tidak mungkin berkurang bahkan bisa lebih dari kesakitan dan penderitaan yang dialami oleh para samaõa dan brahmana pada masa lampau, pada masa depan, dan masa sekarang. Aku telah berusaha keras mempraktikkan penyiksaan diri dengan sungguh-sungguh selama enam tahun.)
Meskipun Aku telah berusaha sungguh-sungguh dengan cara demikian, Aku tetap tidak mencapai Pencerahan Sempurna, Sabbannuta Nàna; Aku belum menembus Ke-Buddha-an. Mungkin ada cara lain untuk mempraktikkan jalan lain untuk mencapai Pencerahan Sempurna, Sabbannuta Nàna, untuk menembus Kebuddhaan.”
Pada waktu merenungkan demikian, Beliau teringat bahwa Beliau pernah mengembangkan dan mencapai Jhàna Pertama ànàpàna ketika duduk di bawah keteduhan pohon jambu (Eugenia jambolana) sewaktu upacara pembajakan sawah yang diselenggarakan oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana, Beliau menyadari kemudian bahwa praktik Jhàna Pertama ànàpàna pasti adalah jalan yang benar, cara yang benar untuk mencapai Sabbannuta Nàna (Ke-Maha-Tahu-an), penembusan Kebuddhaan.
Beliau merenungkan lebih jauh, “Mengapa Aku takut akan kebahagiaan Jhàna yang diperoleh dari meditasi konsentrasi ànàpàna; itu adalah kebahagiaan yang muncul secara murni dari melepaskan keduniawian (nekkhamma) dan sama sekali tidak melekat pada objek-objek nafsu materi dan kenikmatan indria. Aku seharusnya tidak takut akan kebahagiaan Jhàna dari meditasi konsentrasi ànàpàna.”
Beliau kembali merenungkan, “Aku tidak akan mampu mengembangkan meditasi konsentrasi ànàpàna itu dengan tubuh-Ku yang lelah dan lemah ini. Lebih baik jika Aku memakan makanan yang padat dan kasar seperti nasi untuk memulihkan dan menyegarkan tubuh yang kurus ini sebelum Aku berusaha mencapai Jhàna melalui meditasi konsentrasi ànàpàna.”
Setelah mempertimbangkan demikian, Bodhisatta mengambil mangkuk-Nya pergi ke Kota Sena untuk mengumpulkan dàna makanan untuk memulihkan tubuh-Nya dengan makanan apa pun yang Beliau terima.
Dalam dua atau tiga hari Beliau memperoleh kembali kekuatan dan tanda-tanda fisik utama dari seorang manusia luar biasa (Mahàpurisa Lakkhanà) yang telah lenyap saat Beliau mempraktikkan dukkaracariya dan kemudian muncul kembali dengan jelas dalam bentuk aslinya. Pada waktu itu tubuh fisik Bodhisatta terlihat kuning segar seperti warna emas.
Selanjutnya===>>>
<<<===Sebelumnya
salam ceria...
0 komentar:
Posting Komentar