Dikisahkan pada zaman Sang Buddha, seorang bhikkhu bernama Pindola Bharadvaja, ketika pulang ke vihara setelah pindapata, melihat suatu sayembara. Seorang hartawan asal Rajagaha ingin mengetahui apakah masih ada seorang pertapa atau brahmana yang dapat menunjukkan kesaktiannya.
Hartawan itu mengikat sebuah bokor cendana di atas tiang bambu. Barang siapa yang dapat mengambil bokor cendana itu tanpa menyentuh tiang bambu itu, boleh memilikinya. Sudah beberapa hari berlalu tapi belum ada satupun dari para petapa yang datang dapat memiliki bokor itu.
Hartawan tersebut menjadi kecewa dan bermaksud ingin menutup sayembara karena berpikir tidak ada orang sakti di dunia ini. Bhikkhu Pindola Bharadvaja tiba di tempat itu dan dengan kekuatan gaibnya beliau terbang ke angkasa dan mengambil bokor tersebut.
Selanjutnya, beliau kembali menunjukkan kekuatan gaibnya dengan terbang mengitari Rajagaha tiga kali. Semua orang kagum dan membicarakan di mana-mana. Peristiwa tersebut menjadi topik pembicaraan para bhikkhu di vihara.
Sang Buddha mendengar suara penduduk yang ramai bertepuk tangan. Beliau bertanya kepada Yang Mulia Ananda : ."Ananda, kepada siapakah mereka sedang bertepuk tangan?"
Yang Mulia Ananda menjawab : "Pindolabharadvaja telah terbang ke udara dan mengambil mangkuk yang terbuat dari kayu cendana merah dan penduduk bertepuk tangan untuknya."
Sang Buddha lalu memanggil Yang Mulia Pindolabharadvaja untuk menghadap dan berkata : "Apakah benar engkau telah melakukan seperti yang telah dilaporkan?"
"Benar, Yang Mulia."
"Bharadvaja, mengapa engkau melakukan hal ini?"
Sang Buddha lalu menegur dan menyuruhnya memecahkan mangkuk tersebut menjadi potongan-potongan kecil dan menyerahkan potongan-potongan kayu tersebut kepada para bhikkhu untuk digiling dan dijadikan bubuk kayu cendana.
Kemudian Sang Buddha menetapkan peraturan yang melarang para bhikkhu menunjukkann kekuatan supranatural kepada perumah tangga. Beliau mengatakan bahwa seorang bhikkhu yang menunjukkan kekuatan supranatural kepada umat awam ibarat seorang wanita, demi sedikit uang, menunjukkan bagian-bagian tubuhnya yang memalukan di depan publik.
Dalam Vinayapitaka, Sang Buddha juga menetapkan peraturan bagi para bhikkhu bahwa barang siapa mengaku memiliki kesaktian padahal tidak memilikinya maka bhikkhu tersebut harus meninggalkan kebhikkhuan (Sangha).
Namun demikian, bagi yang memang memiliki dan mempertunjukkannya kepada perumah-tangga akan dikenakan sanksi dukkata dan harus mengakui kesalahannya kepada bhikkhu lain. Jelaslah Sang Buddha sendiri tidak menginginkan para bhikkhu memamerkan kesaktian walaupun memilikinya.
Untuk hal ini, Sang Buddha mengatakan bahwa:
Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, keberuntungan dan kebahagiaan dapat dicapai
Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, kematian dapat dicegah
Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, roda samsara dapat dihentikan.
Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, kesucian dapat diperoleh.
Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, penderitaan akan berakhir.
Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, pembebasan dapat direalisasikan.
salam ceria...
0 komentar:
Posting Komentar