Usaha keras ini dijelaskan dalam empat tingkat yaitu
(1) “Meskipun yang tersisa tinggal kulit,”
(2) “Meskipun yang tersisa tinggal urat,”
(3) “Meskipun yang tersisa tinggal tulang,” dan
(4) “Meskipun daging dan darah-Ku menguap” yang disebut padhàna-viriya.
Praktik yang akan dijelaskan ini disebut Usaha Keras (padhàna) yang dilakukan dengan padhàna-viriya. Praktik ini juga disebut dukkaracariya karena sulit bagi orang-orang biasa untuk menjalaninya.
1. Setelah mengunjungi Kota Senà untuk mengumpulkan dàna makanan, Bodhisatta menghabiskan waktu berhari-hari berlatih meditasi untuk mengembangkan cinta kasih (Mettà-bhavanà).
Kemudian Beliau berpikir, “Apa untungnya bagi-Ku bergantung dengan makanan-makanan kasar ini? Dengan memakan makanan demi kepuasan-Ku dan mengembangkan cinta kasih, Aku tidak akan mencapai Kebuddhaan yang menjadi tujuan-Ku.” Kemudian Beliau berhenti mengumpulkan dàna makanan dan hidup hanya dari buah-buahan yang besar maupun kecil yang jatuh dari atas pohon di Hutan Uruvelà.
Tidak berhasil mencapai Kebuddhaan dengan cara demikian, Beliau berpikir lagi, “Makanan ini yang berupa buah-buahan besar maupun kecil juga masih kasar. Mencari-cari buah-buahan merupakan rintangan (palibodha).” Selanjutnya Beliau bertahan hidup hanya dengan buah yang jatuh dari pohon tempat di mana Beliau tinggal.
2. Kemudian Bodhisatta mempertimbangkan, “Adalah baik jika Aku menggemeretakkan gigi dan mendecakkan lidah.” Untuk menekan kesadaran-kesadaran yang tidak baik yang berhubungan dengan pikiran-pikiran buruk, misalnya nafsu-nafsu indria dan lain-lain, dengan kesadaran yang baik yang berhubungan dengan pikiran yang baik pula.
“Adalah lebih baik lagi jika Aku melenyapkannya. Lebih baik lagi jika Aku menghilangkannya dengan api semangat.” Demikianlah Beliau menggemeretakkan gigi dan mendecakkan lidah untuk menekan kesadaran-kesadaran yang tidak baik dengan kesadaran yang baik. Beliau tidak membiarkannya muncul tapi melenyapkannya. Beliau melenyapkannya dari dalam diri-Nya melalui api semangat.
Keringat bercucuran dari ketiak-Nya. Misalnya, seperti keringat yang bercucuran dari ketiak seorang yang lemah ketika seseorang yang kuat mencengkeram kepala atau bahunya dan menekannya ke bawah. Pada waktu itu usaha Bodhisatta sangatlah besar, tidak berkurang sama sekali. Perhatian-Nya sangat jernih dan kokoh, tidak pernah sekalipun Beliau kehilangan perhatian-Nya.
Namun usaha-Nya yang keras itu berlangsung terus menerus, hingga seluruh tubuh-Nya menjadi panas dan tidak tertahankan. Meskipun Beliau terus menerus dalam situasi yang menyedihkan, kemauan-Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.
3. Kemudian Bodhisatta berpikir, “Akan lebih baik jika Aku mengembangkan Appanàka-Jhàna, dengan tidak menarik napas atau mengeluarkan napas.” Jadi, dengan usaha yang terus menerus Beliau menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut atau hidung sehingga udara tidak dapat masuk atau keluar.
Kemudian udara terkumpul dan keluar melalui telinga, melalui mulut, dan hidung. Bunyi yang dihasilkan oleh angin yang keluar itu sangat keras bagaikan suara ketel air mendidih. Pada waktu itu usaha Bodhisatta sangatlah keras, tidak berkurang sama sekali, perhatian-Nya sangat jernih dan kokoh, tidak pernah sekalipun Beliau kehilangan perhatian-Nya.
Namun usaha-Nya yang sangat keras itu berlangsung terus menerus, hingga seluruh tubuh-Nya menjadi panas dan tidak tertahankan. Meskipun Beliau terus menerus dalam situasi yang menyedihkan, kemauan-Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.
4. Kemudian Bodhisatta berpikir, “Lebih baik jika Aku mengembangkan Appanàka-Jhàna.” Jadi dengan usaha terus menerus Beliau menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut, hidung, dan telinga. Karena tidak dapat keluar melalui mulut, hidung, dan telinga, udara memaksa keluar menembus kepala. Misalnya, seperti seorang yang kuat melubangi kepala dengan bor yang tajam.
Bahkan pada saat itu, semangat-Nya masih sebesar sebelumnya, tidak menurun sama sekali. Perhatian-Nya juga masih kokoh dan jernih, tidak pernah kehilangan perhatian-Nya. Namun usaha-Nya yang sangat keras itu berlangsung terus menerus, hingga seluruh tubuh-Nya menjadi panas dan tidak tertahankan. Meskipun Beliau terus menerus dalam situasi yang menyedihkan, kemauan-Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.
5. Selanjutnya Bodhisatta berpikir, “Lebih baik jika Aku mengembangkan Appanàka-Jhàna.” Jadi dengan usaha terus menerus Beliau menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut, hidung, dan telinga. Pada saat itu angin keras mendesak keluar dari kepala-Nya dan akhirnya Beliau menderita sakit kepala yang dahsyat, seperti seseorang yang menderita sakit kepala karena kepalanya diikat dengan tali kulit oleh seorang yang kuat.
(Anda, para pembaca, bayangkan seseorang yang sangat kuat melingkari kepala Anda dengan tali kulit dan dengan sebatang tongkat yang diputar untuk mengencangkan ikatan tali itu. Seperti itulah.)
Pada waktu itu juga, semangat-Nya masih sama seperti sebelumnya tidak berkurang sedikit pun, perhatian-Nya sangat jernih dan kokoh, tidak pernah sekalipun Beliau kehilangan perhatian-Nya. Namun usaha-Nya yang sangat keras itu berlangsung terus menerus, hingga seluruh tubuh-Nya menjadi panas dan tidak tertahankan. Meskipun Beliau terus menerus dalam situasi yang menyedihkan, kemauan-Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.
6. Lagi, Bodhisatta berpikir, “Lebih baik jika Aku mengembangkan Appanàka-Jhàna.” Jadi dengan usaha terus menerus Beliau menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut, hidung, dan telinga seperti sebelumnya. Dan pada saat itu angin yang sangat kuat melukai seolah-olah menerobos keluar.
Seperti seorang tukang daging yang ahli membelah perut dengan pisau daging yang tajam. Pada waktu itu juga, semangat-Nya masih sama seperti sebelumnya tidak berkurang sedikit pun, perhatian-Nya sangat jernih dan kokoh, tidak pernah sekalipun Beliau kehilangan perhatian-Nya.
Namun usaha-Nya sangat keras itu berlangsung terus menerus, hingga seluruh tubuh-Nya menjadi panas dan tidak tertahankan. Meskipun Beliau terus menerus dalam situasi yang menyedihkan, kemauan- Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.
7. Sekali lagi, Bodhisatta berpikir, “Adalah lebih baik jika Aku mengembangkan Appanàka-Jhàna.” Jadi dengan usaha terus menerus Beliau menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut, hidung, dan telinga seperti sebelumnya. Dan pada saat itu seluruh tubuh-Nya mengalami dàharoga (luka bakar) yang sangat parah seperti luka yang diderita oleh seorang yang lemah dibakar di dalam api yang berkobar-kobar oleh dua orang kuat yang masing-masing memegang lengan kanan dan kirinya.
Pada waktu itu seluruh tubuh Bodhisatta panas terbakar. Pada waktu itu semangat-Nya tidak berkurang sedikit pun, tapi tetap kuat seperti sebelumnya. Perhatian-Nya juga masih jernih dan kokoh. Sehubungan dengan luka yang diderita-Nya (padhàna) Beliau tidak mendapatkan kedamaian. Namun demikian keinginan-Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.
Selanjutnya===>>>
<<<===Sebelumnya
salam ceria...
0 komentar:
Posting Komentar