Demikianlah, Boddhisatta Pangeran Siddhatta menjadi raja di Kapilavatthu pada usia 16 tahun; ketika Beliau menginjak usia 29 tahun, setelah menikmati kehidupan mewah sebagai raja dunia, dilayani oleh 40.000 putri yang dipimpin oleh istrinya, Ratu Yasodhara, suatu hari muncul keinginannya mengunjungi taman istana. Demikian Beliau memerintahkan kusirnya,” Kusir, siapkan kereta, Aku akan berkunjung ke taman kerajaan”.
“Baiklah”, jawab si kusir segera menyiapkan kereta yang mewah untuk pribadi mulia. Kereta itu ditarik oleh empat ekor kuda berdarah murni berwarna putih bersih bagaikan bulan purnama atau bunga teratai kumuda, dan kecepatannya bagaikan burung garuda, raja segala burung. Ketika diberitahu oleh si kusir bahwa kereta sudah siap, Boddhisatta Pangeran naik ke atas kereta yang indah bagaikan istana surga dan pergi menuju taman kerajaan dalam sebuah arak-arakan besar.
(1) Melihat Pertanda Orang Tua
Ketika Bodhisatta Pangeran sedang berada dalam perjalanan menuju taman kerajaan, para dewa berunding, “Waktunya bagi Pangeran Siddhattha untuk menjadi Buddha semakin dekat. Mari kita memperlihatkan pertanda kepadanya yang akan membuatnya melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.”
Mereka menyuruh salah satu dewa menyamar sebagai orang tua, berambut putih, tidak bergigi, punggung yang bungkuk, berjalan gemetaran menggunakan tongkat. Pertanda orang tua ini yang adalah penjelmaan dewa tidak dapat dilihat orang lain selain Bodhisatta dan kusirnya.
Saat melihat orang tua, Bodhisatta Pangeran bertanya kepada kusir, “O kusir, rambut orang itu tidak seperti orang lain, rambutnya semua putih. Badannya juga tidak seperti badan orang lain; giginya tidak ada; hanya ada sedikit daging (di tubuhnya); punggungnya bungkuk ia gemetaran. Disebut apakah orang itu?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, orang seperti itu disebut orang tua.”
Sang Bodhisatta Pangeran yang belum pernah mendengar kata ‘orang tua’ apalagi melihatnya, bertanya lagi kepada si kusir, “O kusir, belum pernah aku melihat yang seperti ini, yang rambutnya putih, tidak bergigi, begitu kurus dan gemetaran dengan punggung bungkuk. Apakah artinya orang tua?” Si Kusir menjawab, “Yang Mulia, orang yang tidak hidup lama lagi disebut orang tua (orang tua adalah orang yang memiliki waktu hidup yang pendek).”
Sang Bodhisatta kemudian bertanya, “O kusir, bagaimana itu? Apakah Aku juga akan menjadi orang tua? Apakah Aku tidak dapat mengatasi usia tua?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, semua kita, termasuk Anda, juga saya, akan mengalami usia tua; tidak seorang pun yang dapat mengatasi usia tua.”
Bodhisatta Pangeran berkata, “O kusir, jika semua manusia, semua dari mereka tidak dapat mengatasi usia tua, Aku, yang akan mengalami usia tua, tidak ingin lagi pergi ke taman kerajaan dan bersenang-senang di sana. Berbaliklah dari tempat di mana orang tua tadi terlihat dan pulang ke istana.”
“Baiklah Yang Mulia,” jawab si kusir yang segera berputar di tempat di mana orang tua tadi terlihat dan kembali ke istana emas.
Samvega Bodhisatta
Adalah sifat seekor singa, jika ditembak dengan anak panah, tidak berusaha mencabut anak panah yang menjadi penyebab penderitaannya, tetapi mencari musuhnya, si pemburu yang telah memanahnya dan yang menjadi penyebab utama dari anak panah tersebut.
Dari dua fenomena ini, sebab dan akibat, para Buddha juga tidak mencari cara untuk menghilangkan akibat yang seperti anak panah tersebut, melainkan mereka mencari dengan kebijaksanaannya penyebab yang menjadi musuh seperti pemburu yang menembakkan anak panah tersebut. Oleh karena itu, para Buddha seperti singa. Si kusir hanya menjelaskan sifat duniawi dari usia tua (jarà) sejauh yang ia pahami, tetapi Bodhisatta Pangeran yang berkeinginan untuk menjadi Buddha mengetahui dengan jelas melalui perenungan bahwa kelahiran (jàti) adalah penyebab utama dari proses ketuaan (jarà).
Setelah kembali ke istana emas, Bodhisatta Pangeran merenungkan dengan saÿvega penembusan, “Oh, kelahiran adalah benar-benar menjijikkan. Siapa saja yang mengalami kelahiran, pasti mengalami ketuaan.” Setelah merenungkan demikian, Beliau menjadi bersedih dan murung, muram, dan patah hati.
Raja Suddhodana memperkuat penjagaan
Raja Suddhodana memanggil Si kusir dan bertanya, “O kusir, mengapa anakku tergesa-gesa kembali sebelum sampai di taman?” Si Kusir menjawab, “Yang Mulia, anak Anda telah melihat orang tua, sehingga Beliau tergesa-gesa pulang.” Raja Suddhodana berpikir, “Anakku akan menjadi raja negeri ini. Beliau tidak boleh melepaskan keduniawian dan menjadi petapa. Ramalan para brahmana yang mengatakan bahwa Beliau akan melepaskan keduniawian dan menjadi petapa harus terbukti salah.
O kusir, mengapa engkau mengacaukan rencanaku? Secepatnya atur lebih banyak pengawal istana dari sebelumnya; kemudian sediakan lebih banyak pelayan perempuan dan penari-penari perempuan mengelilingi anakku, selagi menikmati lima kenikmatan indria, Beliau tidak akan memikirkan untuk menjadi petapa lagi.”
Setelah berkata demikian, beliau memerintahkan untuk menambah jumlah pengawal di sekeliling istana dalam jarak setengah yojanà (dua gàvuta) di empat penjuru.
(2) Melihat Pertanda Orang Sakit
Penari2 yang disediakan Raja Suddhodana berusaha keras menyenangkan Pangeran Siddhattha
Penari2 yang disediakan Raja Suddhodana berusaha keras menyenangkan Pangeran Siddhattha
Tertipu dan tertarik oleh lima kenikmatan indria yang diatur oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana, untuk menghalang-halanginya melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, Pangeran Siddhattha menghabiskan waktunya menikmati kenikmatan dan kemewahan istana; desakan perasaan religius-Nya, yang dipicu oleh kebencian terhadap kelahiran dan usia tua, perlahan-lahan menghilang.
Setelah empat bulan berlalu dalam kemewahan hidup, Bodhisatta Pangeran pergi lagi mengunjungi taman kerajaan dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda berdarah murni seperti sebelumnya. Dalam perjalanan itu, Pangeran melihat pertanda yang diciptakan oleh para dewa untuk kedua kalinya; orang itu sangat kesakitan diserang penyakit, dan hanya dapat duduk dan berbaring jika dibantu oleh orang lain; ia berbaring lemah di tempat tidurnya dengan ditutupi oleh kotorannya sendiri.
Sang Pangeran bertanya kepada kusirnya, “O kusir, mata orang itu tidak seperti mata orang lain; terlihat lemah dan goyah. Suaranya juga tidak seperti orang lain; ia terus-menerus menangis melengking. Tubuhnya juga tidak seperti tubuh orang lain. Terlihat seperti kelelahan. Disebut apakah orang seperti itu?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, orang seperti itu disebut ‘orang sakit.’”
Sang Bodhisatta yang belum pernah melihat orang sakit sebelumnya, bahkan mendengar kata ‘orang sakit’ saja belum pernah bertanya lagi kepada kusirnya, “O kusir, Aku belum pernah melihat orang seperti itu, yang duduk dan berbaring harus dibantu oleh orang lain, yang tidur ditumpukan kotorannya sendiri dan terus-menerus menjerit. Apakah orang sakit itu? Jelaskanlah kepada-Ku.” Si Kusir menjawab, “Yang Mulia, orang sakit adalah orang yang tidak mengetahui apakah ia akan sembuh atau tidak dari penyakit yang dideritanya saat ini.”
Sang Bodhisatta bertanya lagi, “O kusir, bagaimana ini? Apakah Aku juga bisa sakit? Apakah Aku tidak dapat mengatasi penyakit?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, kita semua, termasuk Anda, juga saya, akan menderita sakit; tidak seorang pun yang dapat mengatasi penyakit.” Bodhisatta berkata, “O kusir, jika semua manusia, semua dari mereka tidak dapat mengatasi penyakit, Aku, yang akan menderita sakit, tidak ingin lagi pergi ke taman kerajaan dan bersenang-senang di sana. Berbaliklah dari tempat di mana orang sakit tadi terlihat dan pulang ke istana.”
“Baiklah Yang Mulia,” jawab si kusir yang segera berputar di tempat di mana orang sakit tadi terlihat dan kembali ke istana emas.
Samvega Bodhisatta
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, meskipun si kusir sekadar menjawab sakitnya yang tidak tertahankan sebagai sifat duniawi suatu penyakit (vyàdhi), sejauh yang ia pahami, Bodhisatta yang berkeinginan menjadi Buddha, mengetahui dengan jelas melalui perenungan bahwa kelahiran adalah penyebab utama bagi penyakit, dan usia tua yang telah dijelaskan sebelumnya. Kembali ke istana emas, Bodhisatta merenungkan dengan saÿvega penembusan, “Oh, kelahiran adalah benar-benar menjijikkan. Siapa saja yang mengalami kelahiran, pasti mengalami ketuaan, pasti mengalami sakit.” Setelah merenungkan demikian, Beliau menjadi bersedih dan murung, muram, dan patah hati.
Raja Suddhodana memperkuat penjagaan
Raja Suddhodana memanggil Si kusir dan bertanya, “O kusir, mengapa anakku tergesa-gesa kembali sebelum sampai di taman?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, anak Anda tergesa-gesa pulang, karena Beliau telah melihat orang sakit.” Raja Suddhodana berpikir sama seperti sebelumnya, dan kemudian memerintahkan untuk memperkuat penjagaan dan menambah jumlah pengawal yang ditempatkan dalam jarak tiga gàvuta di empat penjuru; ia juga menambah jumlah pelayan istana dan gadis-gadis penari.
(3) Melihat Pertanda Orang Mati
Tertipu dan tertarik oleh lima kenikmatan indria yang diatur oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana, untuk menghalang-halanginya melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, Pangeran Siddhattha menghabiskan waktunya menikmati kenikmatan dan kemewahan istana; desakan perasaan religius-Nya, yang dipicu oleh kebencian terhadap kelahiran, usia tua, dan penyakit, perlahan-lahan menghilang.
Setelah empat bulan berlalu dalam kemewahan hidup, Bodhisatta Pangeran pergi lagi mengunjungi taman kerajaan dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda berdarah murni seperti sebelumnya. Dalam perjalanan itu, Pangeran melihat pertanda yang diciptakan oleh para dewa untuk ketiga kalinya, yaitu, banyak orang berkumpul dan ada tandu jenazah yang berhiaskan kain berwarna-warni yang untuk ketiga kalinya diciptakan oleh para dewa; Pangeran bertanya kepada kusirnya, “Kusir, mengapa orang-orang ini berkumpul? Mengapa mereka mempersiapkan tandu yang dihias kain berwarna-warni?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, orang-orang itu berkumpul dan mempersiapkan sebuah tandu karena ada seseorang yang mati.”
(Ia belum pernah melihat tandu jenazah sebelumnya; hanya pernah melihat tandu biasa. Oleh karena itu ia bertanya, “Mengapa orang-orang ini berkumpul dan mempersiapkan tandu?”)
bahkan mendengar kata ‘orang mati’ saja belum pernah bertanya lagi kepada kusirnya, “O kusir, jika mereka berkumpul dan mempersiapkan sebuah tandu, antarkan Aku ke tempat orang mati itu.” Si kusir menjawab, “Baiklah, Yang Mulia,” dan mengarahkan keretanya menuju tempat orang mati itu berbaring. Ketika Bodhisatta melihat orang mati itu, ia bertanya, “O kusir, apakah orang mati itu?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, jika seseorang mati, sanak saudaranya tidak akan dapat bertemu dengannya lagi, dan ia juga tidak dapat bertemu dengan sanak saudaranya juga.”
Sang Bodhisatta bertanya lagi, “O kusir, bagaimana ini? Apakah Aku juga bisa mati seperti orang itu? Apakah Aku tidak dapat mengatasi kematian? Apakah ayah-Ku, ibu-Ku, dan sanak saudara-Ku tidak dapat bertemu dengan-Ku lagi suatu hari nanti? Apakah Aku juga tidak akan bisa bertemu dengan mereka lagi suatu hari nanti?” Si kusir menjwab, “Yang Mulia, kita semua, termasuk Anda, juga saya pasti mengalami kematian; tidak seorang pun yang dapat mengatasi kematian.” Bodhisatta berkata, “O kusir, jika semua manusia, semua dari mereka tidak dapat mengatasi kematian, Aku, yang akan mengalami kematian, tidak ingin lagi pergi ke taman kerajaan dan bersenang-senang di sana. Berbaliklah dari tempat di mana orang mati tadi terlihat dan pulang ke istana.”
“Baiklah Yang Mulia,” jawab si kusir yang segera berputar di tempat di mana orang mati tadi terlihat dan kembali ke istana emas.
Samvega Bodhisatta
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, meskipun si kusir sekadar menjawab sifat-sifat duniawi dari kematian (marana) sejauh yang ia pahami tentang orang yang mengalami kematian, sanak saudara yang ditinggalkan tidak akan dapat bertemu dengannya lagi; juga si orang mati juga tidak dapat bertemu dengan sanak saudaranya lagi.
Bodhisatta yang berkeinginan menjadi Buddha, mengetahui dengan jelas melalui perenungan bahwa kelahiran adalah penyebab utama bagi tiga fenomena: kematian, penyakit, dan usia tua yang telah dijelaskan sebelumnya. Kembali ke istana emas, Bodhisatta merenungkan dengan samvega penembusan, “Oh, kelahiran adalah benar-benar menjijikkan. Siapa saja yang mengalami kelahiran, pasti mengalami ketuaan, pasti mengalami sakit, pasti mengalami kematian.” Setelah merenungkan demikian, Beliau menjadi bersedih dan murung, muram, dan patah hati.
Raja Suddhodana memperkuat penjagaan
Raja Suddhodana memanggil si kusir dan bertanya seperti sebelumnya, si kusir menjawab, “Yang Mulia, anakmu tergesa-gesa pulang, karena Beliau telah melihat orang mati.” Raja Suddhodana berpikir sama seperti sebelumnya, dan kemudian memerintahkan untuk memperkuat penjagaan dan menambah jumlah pengawal yang ditempatkan dalam jarak satu yojanà di empat penjuru; ia juga menambah jumlah pelayan istana dan gadis-gadis penari.
(4) Melihat Pertanda Seorang Petapa
Tertipu dan tertarik oleh lima kenikmatan indria yang diatur oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana, untuk menghalang-halanginya melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, Pangeran Siddhattha menghabiskan waktunya menikmati kenikmatan dan kemewahan istana; desakan perasaan religiusnya, yang dipicu oleh kebencian terhadap kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian, perlahan-lahan menghilang.
Setelah empat bulan berlalu dalam kemewahan hidup, Bodhisatta Pangeran pergi lagi mengunjungi taman kerajaan dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda berdarah murni seperti sebelumnya. Dalam perjalanan itu, Pangeran melihat pertanda yang diciptakan oleh para dewa untuk keempat kalinya, seorang petapa dengan kepala gundul dan janggut dicukur, mengenakan jubah berwarna kulit kayu.
“O kusir,” Pangeran berkata, “Kepala orang ini tidak seperti kepala orang-orang lain; kepalanya dicukur bersih dan janggutnya juga tidak ada. Pakaiannya juga tidak seperti pakaian orang-orang lain, berwarna seperti kulit kayu. Disebut apakah orang seperti itu?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, ia adalah petapa.”
Sang Bodhisatta bertanya lagi, “O kusir, apakah ‘petapa’ itu? Jelaskanlah kepadaku.” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, petapa adalah seseorang yang, berpendapat bahwa lebih baik melatih sepuluh kebajikan (kusalakammapatha), yang dimulai dari kedermawanan (dàna), telah melepaskan keduniawian dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu;
ia adalah seorang yang berpendapat bahwa lebih baik melatih sepuluh perbuatan-perbuatan baik yang sesuai kebenaran, yang bebas dari noda, yang suci dan murni, telah melepaskan keduniawian dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu; ia adalah seorang yang berpendapat bahwa lebih baik tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain, berusaha untuk menyejahterakan makhluk lain, telah melepaskan keduniawian dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu.”
(Di sini, meskipun si kusir tidak memiliki pengetahuan mengenai pertapaan atau kebajikan-kebajikan karena saat itu belum muncul seorang Buddha dan ajarannya, ia mengatakan hal itu karena kekuasaan para dewa, bahwa orang itu adalah petapa, dan menjelaskan kebajikan-kebajikan seorang petapa. Penjelasan ini dikutip dari Komentar Buddhavaÿsa dan Subkomentar Jinàla¤kàra).
(Para Bodhisatta lain yang memiliki umur kehidupan yang lebih panjang, melihat empat pertanda ini dengan waktu yang berselang beberapa ratus tahun antara satu dengan yang lainnya. Namun, dalam hal Bodhisatta kita, yang umur kehidupannya jauh lebih pendek, empat pertanda ini muncul dalam selang waktu yang lebih pendek, hanya empat bulan. Menurut pelafal Dãgha Nikàya, bahkan disebutkan bahwa Bodhisatta melihat empat pertanda ini seluruhnya dalam waktu satu hari. Komentar Buddhavamsa).
Setelah itu, Bodhisatta berkata kepada kusir, “Orang ini benar-benar mengagumkan dan mulia karena telah melepaskan keduniawian, berpendapat bahwa lebih baik mempraktikkan sepuluh perbuatan-perbuatan baik yang sesuai dengan kebenaran, yang bebas dari noda, yang suci dan murni.
Orang ini benar-benar mengagumkan dan mulia karena telah melepaskan keduniawian, berpendapat bahwa lebih baik tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain, berusaha untuk menyejahterakan makhluk lain. Karena ia benar-benar mengagumkan dan mulia, kusir, antarkan Aku ke tempat petapa tadi.” Si kusir menjawab, “Baiklah, Yang Mulia.”
Si kusir membawa keretanya menuju si petapa. Sesampainya di sana, Bodhisatta bertanya kepada si petapa, jelmaan dewa, “O Sahabat, apa yang sedang engkau lakukan? Kepalamu tidak sama dengan kepala orang-orang lain; pakaianmu juga tidak sama dengan pakaian orang-orang lain.”
Si petapa menjawab, “Yang Mulia, aku dikenal sebagai petapa.” Bodhisatta bertanya lagi, “Apakah yang engkau maksudkan dengan petapa?” Si petapa, jelmaan dewa melalui kekuatan batin (Iddhipada), menjawab, “Yang Mulia, aku adalah orang yang telah meninggalkan kehidupan rumah tangga, mencukur rambut dan janggutku dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu, dan berpendapat, lebih baik mempraktikkan sepuluh kebajikan yang dimulai dari kedermawanan, yang juga dikenal dalam empat julukan.
Dhamma berarti kebenaran, Sama berarti sesuai dengan kebenaran, Kusala berarti tidak ternoda dan Pu¤¤a berarti suci dan murni baik sebab maupun akibatnya; dan juga berpendapat bahwa lebih baik tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain dan berusaha untuk menyejahterakan makhluk lain.”
Bodhisatta Pangeran menyatakan persetujuannya, “Engkau benar-benar mengagumkan dan mulia. Engkau telah meninggalkan kehidupan rumah tangga, mencukur rambut dan janggutmu, dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu, dan berpendapat bahwa lebih baik mempraktikkan sepuluh perbuatan-perbuatan baik yang memiliki julukan istimewa Dhamma, Sama, Kusala, dan Pu¤¤a dan juga berpendapat bahwa lebih baik tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain, berusaha untuk menyejahterakan makhluk lain”.
Selanjutnya===>>>
<<<===Sebelumnya
salam ceria...
0 komentar:
Posting Komentar