Sabtu, 19 November 2011

PETAPA KALADEVILA

Pada hari Boddhisatta dan ibu-Nya dibawa ke kota Kapilavatthu, para dewa Tavatimsa yang dipimpin oleh Sakka bergembira mengetahui bahwa “Seorang putra dari Raja Suddhodana telah terlahir di kota Kapilavatthu” dan bahwa “Putra mulia ini pasti mencapai Pencerahan-Sempurna di tanah kemenangan di bawah pohon Boddhi Assattha” , dan mereka melemparkan pakaian mereka ke angkasa, menepuk lengan dengan telapak tangan, dan bersuka ria.

Waktu itu, Petapa Kaladevila yang telah mencapai lima kemampuan batin tinggi dan delapan Jhana dan yang mempunyai kebiasaan mengunjungi istana Raja Suddhodana sedang makan siang disana seperti biasa, dan kemudian naik ke surga Tavatimsa untuk melewatkan hari itu di alam surga.

Ia duduk di atas singgasana permata di dalam istana permata, menikmati kebahagiaan Jhana. Sewaktu ia keluar dari Jhana, berdiri di depan pintu gerbang istana dan melihat kesana-kemari, ia melihat Sakka dan para dewa lainnya yang bergembira melempar-lemparkan penutup kepala dan jubah mereka dan memuji kebajikan Boddhisatta di jalan-jalan utama di alam surga sepanjang enam puluh Yojana. Kemudian Sang Petapa bertanya,”O dewa, apa yang membuatmu demikian bergembira? Katakanlah ada apa gerangan”.

Kemudian para dewa menjawab,”Yang Mulia Petapa, hari ini putra mulia dari Raja Suddhodana telah lahir. Putra mulia ini, duduk bersila di bawah pohon Boddhi assattha di tempat yang maha suci, di tengah-tengah alam semesta, akan mencapai Pencerahan-Sempurna, menjadi Buddha. Beliau akan membabarkan khotbah – Roda Dhamma. Kami akan mendapatkan kesempatan emas menyaksikan kemuliaan Buddha yang tidak terbatas dan mendengarkan khotbah Dhamma yang teragung. Itulah sebabnya kami bersuka-ria.”

Mendengar jawaban para dewa tersebut, Petapa Kaladevila segera turun dari surga Tavatimsa dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuknya di dalam istana Raja Suddhodana. Setelah saling menyapa dengan Raja, Kaladevila berkata,”O, Raja, aku mendengar bahwa Putramu telah lahir, aku ingin melihatnya.”

Kemudian Raja membawa putranya yang telah mengenakan pakaian lengkap, kemudian membawanya kepada sang petapa untuk memberi hormat kepada guru istana. Ketika Boddhisatta dibawa, kedua kaki Boddhisatta terbang tinggi dan turun di atas rambut sang petapa. (Tidak seorang pun yang cukup layak menerima penghormatan dari seorang Boddhisatta dalam kelahiran terakhirnya. Jika seseorang, yang tidak mengetahui hal ini, memaksakan kepala Boddhisatta untuk menyentuh kaki sang petapa, kepala sang petapa akan pecah menjadi tujuh keping).

Petapa Kaladevila, menyaksikan peristiwa yang mengherankan dan luar biasa dari keagungan dan kekuatan Boddhisatta, memutuskan, “Aku tidak akan menghancurkan diriku.” Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya dan bersujud didepan boddhisatta dengan tangan dirangkapkan. Menyaksikan pemandangan menakjubkan ini, Raja Sudhodana juga bersujud di depan anaknya.

Kaladevila, yang telah mencapai lima kemampuan batin dan delapan Jhana, dapat mengingat peristiwa-peristiwa yang lampau sampai 40 Kalpa yang lalu dan dapat melihat masa depan sampai 40 Kalpa kedepan. Dengan demikian ia dapat mengetahui dan melihat peristiwa-peristiwa selama delapan puluh kalpa.

Setelah mengamati karakteristik besar dan kecil dari Boddhisatta Pangeran, ia mengetahui dan meramalkan bahwa Pangeran akan menjadi Buddha. Mengetahui bahwa “Anak ini adalah manusia luar biasa”, Sang Petapa tertawa penuh kegembiraan.

Kemudian , Sang petapa merenungkan apakah ia dapat menyaksikan Pagneran mencapai ke-Buddha-an. Ia mengetahui bahwa sebelum Pangeran mencapai ke-Buddha-an, ia akan sudah meninggal dunia dan terlahir di alam Arupa-Brahma dimana tak seorang pun yang dapat mendengarkan Dhamma abadi disana, meskipun muncul ratusan atau ribuan Buddha untuk mengajarkan Dhamma. “Aku tidak akan berkesempatan untuk menyaksikan dan memberikan penghormatan kepada manusia menakjubkan ini yang memiliki Kesempurnaan kebajikan. Ini adalah kerugian terbesar bagiku.” Setelah berkata demikian Kaladevila bersedih dan menangis.

Ketika orang-orang yang hadir disana menyaksikan sang petapa tertawa dan kemudian menangis, mereka terheran-heran,”Yang-Mulia Petapa pertama-tama tertawa dan kemudian menangis, betapa anehnya.” Kemudian mereka bertanya, “Yang Mulia, apakah ada sesuatu yang berbahaya terhadap putra raja kami?”
“Tidak ada bahaya sama sekali, malah sebenarnya Beliau akan menjadi Buddha”.
“Kalau begitu, mengapa engkau bersedih?” tanya orang-orang itu lagi.
“Karena aku tidak akan dapat menyaksikan pencapaian Pencerahan-Sempurna oleh manusia luar biasa ini yang memiliki kualitas-kualitas yang menakjubkan. Ini adalah kerugian besar bagiku. Karena itulah aku bersedih”, jawab sang petapa.

Kemudian, Kaladevila sang petapa merenungkan, “Walaupun aku tidak berskesempatan untuk menyaksikan Pangeran mencapai ke-Buddha-an, aku ingin tahu apakah ada di antara sanak-saudaraku yang berkesempatan untuk menyaksikannya.” Kemudian dia meilihat keponakannya, Nalaka, yang memiliki kesempatan tersebut. Jadi ia pergi mengunjungi rumah adiknya dan memanggil keponakannya dan menyuruhnya dengan berkata :

“Keponakanku Nalaka, seorang putra telah lahir di istana Raja Suddhodana. Beliau adalah seorang Boddhisatta. Beliau akan mencapai ke-Buddha-an setelah berusia tiga-puluh-lima tahun. Engkau, keponakanku, adalah seorang yang layak melihat Buddha. Oleh karena itu, engkau lebih baik menjadi petapa, hari ini juga.”

Meskipun lahir dari orangtua yang memiliki kekayaan delapan puluh tujuh crore, pemuda Nalaka percaya kepada pamannya, dan berpikir,”Pamanku tidak akan menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat. Ia mengatakan hal ini tentu demi kebaikanku.” Dengan pendapat ini, ia membeli jubah dan mangkuk dari pasar. Mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah, dan berkata kepada dirinya sendiri, ”Aku akan mejadi petapa untuk mengabdi pada Buddha, pribadi yang termulia diseluruh dunia.“


RAMALAN DARI TANDA-TANDA YANG TERDAPAT PADA BODDHISATTA SAAT UPACARA MEMBASUH KEPALA DAN PEMBERIAN NAMA

Pada hari kelima setelah kelahiran Boddhisatta mulia, ayah-Nya, Raja Suddhodana mengadakan upacara membasuh kepala. Dan dengan rencana untuk memberi nama pada putranya, ia menaburi istananya dengan empat jenis bubuk harum , yaitu : 1). Tagara (Tabernaemontana coronaria), 2). Lavanga (Cloves, Syzygiumm aromaticum), 3). Kunkuma (safron, crocus sativus),dan, 4). Tamala (Xanthochymus pictorius), dan menaburi lima jenis rempah yaitu : 1). Saddhala (sejenis rumput), 2).Padi, 3). Biji mostar, 4).Kuncup melati, 5). Beras. Ia juga mempersiapkan nasi susu murni yang tidak dicampur air, dan mengundang seratus delapan Brahmana pandai yang menguasai Tiga-Veda, ia menyediakan tempat duduk yang baik dan bersih kepada mereka di dalam istana dan melayani mereka dengan nasi susu yang lezat.

Setelah memberi makanan kepada mereka, Raja memberi penghormatan pada mereka, memberikan persembahan kepada mereka dan dari 108 (seratus delapan) Brahmana tersebut, dipilih delapan Brahmana untuk diminta meramalkan masa depan Pangeran berdasarkan tanda-tanda fisik Boddhisatta.

Di antara 8 (delapan) Brahmana yang terpilih, tujuh orang, yaitu : Rama, Dhaja, Lakkhana, Jotimanta, Yanna, Subhoja, dan Suyama, setelah memeriksa tanda-tanda fisik Boddhisatta Pangeran mengacungkan dua jari dan memberikan dua ramalan tanpa kepastian sebagai berikut,Jika anakmu yang memiliki tanda-tanda ini memilih untuk hidup berumah-tangga, Beliau akan menjadi Raja dunia yang menguasai empat benua, tetapi jika Beliau menjadi petapa, Beliau akan mencapai ke-Buddha-an.”

Tetapi Sudatta, Brahmana dari suku Kondanna, yang termuda di antara mereka, setelah dengan seksama memeriksa tanda-tanda manusia luar biasa pada tubuh Boddhisatta, hanya mengacungkan satu jari dan dengan penuh keyakinan meramalkan,”Tidak ada alasan bagi Pangeran untuk hidup berumah-tangga. Beliau pasti akan menjadi Buddha yang menghancurkan akar kotoran batin.”

Ramalan Brahmana muda Sudatta ini akhirnya diterima oleh para Brahmana pandai lainnya.
Setelah dengan seksama memeriksa tiga-puluh-dua tanda manusia agung ( Mahapurissa ), kemudian mereka berdiskusi untuk mencari nama yang tepat bagi Pangeran. Kemudian mereka memberi nama Siddhatta sebagai pertanda yang menunjukkan bahwa Beliau akan berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya demi kesejahteraan seluruh dunia.
RAJA SUDDHODANA MENGAMBIL LANGKAH PENCEGAHAN SUPAYA BODDHISATTA TIDAK MELIHAT EMPAT PERTANDA

Setelah Raja Suddhodana menerima hasil ramalan sehubungan dengan putranya, ia diberitahu oleh para Brahmana bahwa, “Sang Pangeran akan melepaskan keduniawiand an menjadi Petapa.” Ia bertanya,”Apa yang dilihat putraku sehingga ia pergi melepaskan keduniawian?”

“Saat melihat empat pertanda – orang tua, orang sakit, orang mati, dan seorang petapa – putramu akan melepaskan keduniawian dan menjadi petapa”, jawab para Brahmana dengan suara bulat.

Mendengar jawaban para Brahmana, Raja Suddhodana memerintahkan,”Jika putraku akan pergi melepaskan keduniawian setelah melihat empat pertanda ini, mulai saat ini, mereka yang berusia tua, sakit, mati ataupun petapa tidak boleh bertemu dengan putraku; karena mereka akan menyebabkan samvega dalam diri-Nya dan membuat-Nya pergi melepaskan keduniawian. Aku tidak ingin anakku menjadi Buddha. Aku ingin melihat-Nya menjadi Raja Dunia yang memerintah di empat Benua dan dua ribu pula di sekelilingnya dan berjalan di angkasa dengan mengendarai roda pusaka diiringi oleh pengikut yang berbaris hingga tiga-puluh enam yojana.”

Selanjutnya sejumlah pengawal ditempatkan di segala penjuru dalam setiap jarak satu gavuta untuk memastikan tidak-adanya orang-tua, orang sakit, orang mati, dan petapa dalam jarak pandang Boddhisatta.

Saat upacara membasuh kepala berlangsung dimana 80.000 kerabat hadir dan berdiskusi,”Apakah Pangeran akan menjadi Buddha atau menjadi Raja Dunia, masing-masing dari kita akan menyediakan seorang putra untuk melayaninya. Jika Beliau akan menjadi Buddha, Beliau akan berkelana dengan disertai para petapa yang berdarah bangsawan. Atau, jika ia menjadi Raja Dunia, Beliau akan melakukan perjalanan kerajaan dengan diiringi oleh 80 pangeran.” Kemudian masing-masing berjanji untuk menyerahkan putranya kepada Boddhisatta.
WAFATNYA IBU BODDHISATTA MAHAMAYA DEVI DAN TERLAHIR DI ALAM SURGA TUSITA
Mahapajapati Gotami
Mahapajapati Gotami

Tujuh hari setelah kelahiran Boddhisatta Pangeran, Ibunya Mahamaya Devi, sampai pada akhir kehidupannya, meninggal dunia dan terlahir kembali di Surga Tusita sebagai Dewa bernama Santusita. Sang ibu meninggal bukan karena melahirkan Boddhisatta, tetapi karena kehidupannya telah berakhir. Kita ingat, sewaktu Dewa Setaketu melakukan lima-penyelidikan, Mahamaya hanya memiliki sisa kehidupan selama 10 bulan 7 hari.

Setelah kematian Ratu Mahamaya, adik Ratu Mahamaya yang bernama Mahapapajapati Gotami, dipersunting Raja Suddhodana dan kemudian ialah yang menjadi ibu sambung bagi bayi Siddhattha Gotama.
PENUNJUKKAN PARA PELAYAN BODDHISATTA

Untuk Putranya, Pangeran Siddhatta, Raja Suddhodana memilih dan menunjuk 240 pelayan perempuan yang bersih dan cantik, yang terampil dalam melakukan tugas-tugas mereka seperti menyusui, memberikan susu manis bebas dari rasa pedas, asin, dan semua rasa yang tidak enak, memandikan, mengasuh, dan merawat.
Raja juga menunjuk 60 pelayan laki-laki untuk membantu pelayan perempuan dan juga menunjuk 60 pengawas yang bertugas mengawasi tugas-tugas para pelayan laki-laki dan perempuan ini.

Dari 240 pelayan perempuan ini, 60 orang bertguas untuk menyusui Pangeran; 60 orang bertugas untuk memandikan dengan air harum dan memakaikan pakaiannya; 60 orang bertugas mengasuh, menggendong dan menepuk-nepukkan tangannya, atau memangkunya dan seterusnya; dan 60 orang lagi bergantian melakukan tugas-tugas ini jika yang lain berhalangan.
RAJA SUDDHODANA MENGADAKAN UPACARA PEMBAJAKAN SAWAH DAN BERSUJUD PADA BODDHISATTA UNTUK KEDUA KALINYA

Tibalah harinya bagi Raja Suddhodana untuk mengadakan upacara pembajakan sawah yang merupakan upacara rutin yang diadakan tiap tahun. Pada hari itu, seluruh Kota Kapilavatthu dihias sehingga menyerupai alam dewa. Semua penduduk kota termasuk para pekerja mengenakan pakaiannya yang terbaik dengan wangi-wangian dan hiasan bunga. Kemudian mereka berkumpul di lapangan istana. Di tempat di mana upacara pembajakan akan dilakukan, seribu (1.000) buah alat bajak telah disiapkan, delapan ratus (800) buah akan digunakan oleh raja dan para menterinya. Tujuh ratus sembilan puluh sembilan (799) kereta bajak yang akan dipakai oleh para menteri dihias dengan hiasan perak dilengkapi dengan mata bajak, sapi, dan tongkat kemudinya. Kereta bajak yang akan dipakai oleh raja dihias dengan hiasan merah emas.

Ketika Raja Suddhodana meninggalkan kota kerajaan dengan para menteri, penasehat, pengawal, dan para pengikut lainnya, ia membawa serta putranya, Boddhisatta, ke lapangan upacara tersebut dan meletakkannya di bawah keteduhan pohon jambu (Eugenia Jambolana) yang rindang. Tanah dibawah pohon tersebut dilapisi dengan kain beludru di mana Pangeran duduk di atasnya. Dan diatasnya dibuatkan sebuah kanopi dari beludru merah-tua dengan hiasan bintang-bintang emas dan perak, seluruh tempat itu dikelilingi oleh tirai yang tebal dan ditempatkan beberapa pengawal untuk menjaga keamanan Pangeran Siddhatta. Raja kemudian mengenakan pakaian kebesaran yang biasanya dipakai khusus untuk upacara ini dan kemudian dengan disertai oleh para menteri memasuki arena dimana upacara akan diadakan.
Boddhisatta Pangeran mencapai Anapana Jhana Pertama
Anapana Jhana I yang pertama kalinya
Anapana Jhana I yang pertama kalinya

Sementara itu, Boddhisatta setelah melihat sekeliling dan tidak melihat seorang pun, segera mengambil posisi duduk bersila dengan tenang. Kemudian Beliau mempraktikkan meditasi anapana, berkonsentrasi pada napas masuk dan keluar, dan segera mencapai rupavacara Jhana Pertama.

Para perawat yang meninggalkan tugasnya berkeliaran ke sana kemari di meja-meja dan bersenang-senang sebentar. Semua pohon-pohon kecuali pohon jambu tempat Boddhisatta duduk, memiliki bayangan alami sesuai pergerakan matahari, pada sore hari, bayangan pohon akan berada di sebelah timur. Namun, bayangan pohon jambu tempat dimana Boddhisatta duduk tidak bergerak sesuai posisi matahari, bahkan di tengah hari, aneh, bayangan pohon itu tetap seperti semula, besar dan bundar, dan tidak berpindah.

Para perawat, tiba-tiba teringat,”Oh, putra junjungan kita tertinggal dibelakang sendirian”. Mereka bergegas kembali dan masuk ke tirai, melihat dengan takjub, Boddhisatta Pangeran duduk bersila dalam kemuliaan, dan juga melihat keajaiban (patihariya) dari bayangan pohon yang tetap berada di posisi dan bentuk yang sama, tidak berpindah. Mereka berlari menuju Raja dan melaporkannya. Raja dengan tenang mendatangi Boddhisatta dan mengamati, melihat dengan mata kepala sendiri dua keajaiban tersebut, ia mengucapkan,”O, Putra Mulia, ini adalah kedua kalinya bahwa, aku, ayah-Mu, bersujud pada-Mu”, kemudian bersujud di depan anaknya dengan penuh cinta dan penuh hormat.

Sakka, Raja Dewa, Memerintahkan Dewa Visukamma untuk Membuat Danau Istana yang Indah untuk Boddhisatta

Ketika Boddhisatta Pangeran menginjak usia tujuh tahun, tumbuh, dan penuh kegembiraan di tengah-tengah kemewahan bagaikan dewa, Raja Suddhodana suatu hari bertanya kepada para penasehatnya jenis olahraga apa yang disenangi anak seumurnya. Ketika para penasehatnya menjawab bahwa Pangeran Siddhatta senang bermain-main di air, Raja Suddhodana memerintahkan para seniman pengrajin untuk memilih lahan yang tepat dan menggali sebuah danau istana yang indah.

Sakka, Raja Dewa, mengetahui melalui perenungan bahwa, mereka sedang dalam tahap memilih lahan, ia berpikir,”Tidaklah layak bagi semua Boddhisatta untuk menggunakan danau yang dibangun oleh manusia, hanya danau yang dibangun oleh dewa yang layak baginya.”

Sakka lalu memanggil Dewa Visukamma dan menugaskannya untuk menggali danau itu, ia berkata,”Pergilah sekarang, ke alam manusia, O Dewa, dan buatkan sebuah danau yang layak untuk Boddhisatta bermain-main”. Atas pertanyaan,”Danau seperti apa yang harus kubuat?” Sakka menjawab,”Danau yang engkau buat harus bebas dari lumpur dan kotoran, dasarnya harus dilapisi dengan batu delima, mutiara dan koral, harus dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tujuh jenis batu-batu berharga, tangga yang menuju danau harus terbuat dari papan emas, perak, dan batu delima, pegangan tangan harus terbuat dari batu delima, dan jerujinya yang menyangga pegangan tangan harus dilapisi oleh koral. Di tengah-tengah danau itu, untuk Boddhisatta bermain melempar air, buatkan sebuah perahu emas y ang lengkap dengan kursi perak, perahu perak dengan kursi emas, perahu batu delima dengan kursi koral, dan perahu koral dengan kursi batu delima. Juga harus dilengkapi dengan mangkuk emas, mangkuk perak, mangkuk batu delima, dan mangkuk koral untuk melempar air. Danau tersebut harus indah dipenuhi dengan lima jenis bunga teratai.”

Dewa Visukamma, setelah menyanggupi, turun ke alam manusia malam itu juga, dan membuat sebuah danau, lengkap dengan rincian yang diperintahkan oleh Sakka, di tanah yang telah dipilih oleh Raja Suddhodana.

Keesokan paginya, ribuan penduduk melihat danau yang menakjubkan tersebut, mereka berseru gembira,”Danau ini pasti telah diciptakan oleh Sakka dan dewa-dewa untuk Pangeran yang mulia!” dan dengan penuh kegembiraan mereka melaporkan hal tersebut pada Raja Suddhodana.

Raja Suddhodana disertai oleh banyak pengikut pergi melihat danau tersebut, ketika melihat keindahan dan kemegahan danau itu, ia berseru gembira,”Danau ini pasti ciptaan para Dewa karena kekuasaan dan keagungan anakku!”

Setelah itu, Boddhisatta Pangeran bermain-main di air danau yang merupakan kebutuhan dan kenikmatan surgawi.

Raja Suddhodana membangun Tiga Istana untuk Kesenangan Boddhisatta
Ketika menginjak usia 16 tahun, Raja Suddhodana berpikir, “Sekarang waktunya untuk membangun istana untuk putraku”. Kemudian ia memerintahkan agar para arsitek, tukang kayu, tukang batu, pemahat, dan pelukis yang ahli dipanggil ke istana untuk diberi instruksi. Ia kemudian memberikan perintah untuk membangun tiga istana yang diberi nama Istana Emas Ramma, Istana Emas Suramma, dan Istana Emas Subha, yang dirancang khusus sesuai kondisi tiga musim ; dingin, panas, dan hujan.

MENYELAMATKAN BURUNG BELIBIS

Cinta-Kasih Boddhisatta ; Selamatkan Belibis yang terluka

Suatu kali Pangeran Siddhattha berjalan-jalan di taman dengan Devadatta, saudara sepupunya. Devadatta yang membawa busur dan anak panah melihat serombongan burun belibis terbang. Devadatta membidikkan anak-panahnya. Seekor belibis terkena dan terjatuh ke tanah. Pangeran Siddhatta bergebas menghampiri belibis yang terluka itu. Dengan penuh kasih-sayang diobatinya luka pada sayap belibis dengan daun-daun yang diremas.

Devadatta meminta belibis itu. Pangeran Siddhattha tidak mau memberikannya. Menurut Pangeran Siddhattha, bila belibis itu mati maka ia menjadi milik Devadatta. Tetapi karena belibis itu masih hidup maka ia menjadi milik dari orang yang menyelamatkan hidupnya. Akhirnya keduanya pergi ke Dewan Para Bijaksana untuk mendapat keputusan.

Dewan memutuskan bahwa hidup adalah milik dari orang yang mencoba menyelamatkannya dan bukan milik yang mencoba menghancurkannya. Dengan demikian maka belibis itu adalah milik Pangeran Siddhattha yang menyelamatkan hidupnya. Setelah sembuh belibis itu dilepas kembali oleh Pangeran Siddhattha. Demikianlah kasih sayang Pangeran Siddhattha terhadap sesama makhluk hidup.
PERTUNJUKAN MEMANAH

Setelah sang ayah, Raja Suddhodana, membangun tiga istana untuk anaknya yang demikian indah dan megahnya, yang belum pernah dinikmati oleh raja-raja sebelumnya, ia berpikir,”Anakku telah berumur enam belas tahun, setelah menganugerahkan mahkota kerajaan dengan membuka payung putih, aku akan menyaksikannya menikmati kemewahan dan kemuliaan sebagai Raja”.

Kemudian ia memerintahkan untuk mengirim pesan kepada 80.000 sanak-saudaranya, keluarga Sakya, ”Para Pengeran Sakya, Putraku telah berumur enam belas tahun sekarang. Aku akan menjadikannya Raja. Semua Pangeran Sakya harap membawa putrinya, yang telah cukup umur, ke istanaku”.

Ketika para Pangeran Sakya menerima pesan dari Raja Suddhodana, mereka menolak permintaannya, menjawab dengan nada menghina, “Pangeran Siddhattha kurang berpendidikan, meskipun ia memiliki penampilan yang menarik. Tidak memiliki ketrampilan dalam menjalani kehidupan, ia tidak akan mampu menjalani kewajibannya sebagai kepala keluarga. Jadi kami tidak dapat mengabulkan permintaan Raja Suddhodana untuk menyerahkan putri kami”.

Menerima jawaban dari para Pangeran Sakya – ayah dari para putri – Raja Suddhodana mendatangi Boddhisatta Pangeran dan menjelaskan masalah ini. Kemudian Boddhisatta berkata,”Ayahku, Aku tidak harus mempelajari apapun. Ketrampilan apa yang engkau mau Kuperlihatkan ? “ Raja Suddhodana menjawab, “Anakku, Engkau harus memperlihatkan kepada para sanak saudara ketrampilan memanah dengan busur yang hanya dapat ditarik dengan kekuatan seribu pala.” Pangeran kemudian berkata,”Kalau begitu, Ayah, umumkan dengan tabuhan genderang di seluruh kerajaan bahwa 7 hari lagi, Aku akan mengadakan pertunjukan memanah”. Kemudian Raja Suddhodana mengumumkan ke seluruh kerajaan Kapilavatthu diiringi tabuhan genderang.

Setelah membuat pengumuman yang diiringi oleh tabuhan genderang, persiapan dilakukan untuk mempersiapkan arena bagi Boddhisatta Pangeran memperlihatkan ketrampilan memanahnya juga membangun panggung-panggung penonton bagi para menteri, para putri, pengikut, para pelayan, prajurit, dan kerabat lainnya. Pada hari ketujuh, setelah semua persiapan selesai dilakukan, raja dan para menterinya, para jenderal dan tamu-tamu semua duduk di tempat yang telah disediakan ; Boddhisatta telah mengambil tempat duduk di singgasana bertatahkan permata di tengah-tengah arena, mengambil busur yang diserahkan oleh para pelayan kerajaan. ( Busur yang memerlukan tenaga seribu atau dua ribu unit berat pala untuk menariknya ).

Duduk bersila di atas singgasana, Pangeran memegang busur dengan tangan kirinya, memelintir tali busur di jari-Nya hingga talinya menegang; kemudian Ia memetik-metik tali busur itu dengan tangan kanan-Nya untuk menyesuaikan. Suara getaran yang ditimbulkan oleh tali busur tersebut begitu kerasnya hingga gemanya terdengar di seluruh wilayah kerajaan Kapilavatthu seolah-olah terbang di angkasa.

Beberapa orang bertanya-tanya, “Suara apakah itu?” dan dijawab oleh yang lainnya, “Itu adalah suara petir yang menggelegar”. Yang lain lagi berkata,”Oh, tidak tahukah engkau; itu bukan suara petir; itu adalah suara yang dihasilkan ketika Pangeran Sakya Siddhattha, yang dengan anggun dan penuh keagungan, menarik busur yang memerlukan seribu orang ( atau dua ribu unit berat pala ), untuk menariknya dan memetik tali busurnya”.

Seluruh delapan puluh ribu Pangeran Sakya dan kerabat istana merasa gembira menyaksikan pertunjukkan yang luar biasa dari Boddhisatta yang memetik dan menyesuaikan tali busur.
Setelah itu, Pangeran Siddhatta mempertunjukkan berbagai variasi keahlian memanah yang membuat para penonton berdecak kagum.

Demikianlah, Boddhisatta Pangeran memperlihatkan keahliannya dalam memanah untuk menaklukkan rasa tidak percaya, penghinaan, fitnahan, dan celaan atas dirinya oleh para kerabat kerajaan – sebuah prestasi yang di atas rata-rata, sangat menakjubkan, dan jarang terlihat. Setelah peristiwa itu, semua kerabat kerajaan, yang keraguannya telah lenyap dengan bergembira berseru,”Belum pernah dalam dinasti Sakya menyaksikan sebuah keahlian seperti yang kita saksikan sekarang”, menghujani Boddhisatta dengan puji-pujian.

Kecantikan Ratu Yasodhara
Di antara empat-puluh ribu (40.000) Putri Sakya, yang paling terkemuka adalah Putri Yasodhara yang memiliki nama gadis Bhaddakaccana.
Yasodhara Dewi, seperti telah dijelaskan sebelumnya, adalah salah satu pendamping kelahiran Boddhisatta. Ia terlahir dari salah satu raja Sakya bernama Suppabuddha, putra dari kakek Boddhisatta, Raja Anjana dari kerajaan Devadaha, Ibu Putri Yasodhara adalah Putri Amitta, yang adalah saudara perempuan Raja Suddhodana. Putri diberi nama Yasodhara karena memiliki reputasi baik dan pengikut yang banyak ( Yaso = banyak pengikut dan ber-reputasi baik; dhara = pembawa; demikianlah putri adalah ia yang memiliki banyak pengikut dan ber-reputasi baik ).

Ia cantik dan berkulit emas bagaikan patung yang dibalut dengan emas murni atau seolah-olah daging dan tubunya terbuat dari emas murni. Dengan tubuh yang proporsional dan tanpa cacat,ia memancarkan pesona, ia tidak tertandingi dalam hal kecantikan dan tingkah laku bagaikan bendera kemenangan yang dinaikkan di jalan-jalan raya di taman bermain Kilamandala milik Raja Mara bernama Manobhu.

Upacara Pelantikan
Delapan puluh ribu kerabat kerajaan yang dipimpin oleh raja Suddhodana, ayah Boddhisatta, berkumpul di ruang pertemuan yang besar dan megah untuk merayakan penobatan Boddhisatta Pangeran Siddhatta yang dilengkapi dengan dinaikkannya payung putih kerajaan di atas kepalanya, pancuran air dingin (abhiseka) dan secara resmi naik tahta.
Dari empat puluh ribu putri yang diserahkan oleh para kerabat Sakya, 10.000 putri ditugaskan untuk melayani Yasodhara Dewi. 30.000 sisanya ditugaskan sebagai pelayan di tiga istana, masing-masing 10.000.


0 komentar:

Posting Komentar

maaf sxlg maaf © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute