Sabtu, 19 November 2011

Kakkata Jataka

“Makhluk bercapit emas,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang wanita.


Dikatakan bahwasanya seorang tuan tanah di Sāvatthi, bersama dengan istrinya, pergi ke desa dengan tujuan untuk menagih utang, dan bertemu dengan para perampok. Istrinya adalah seorang wanita yang sangat cantik dan memikat. Pemimpin perampok itu begitu terpesona kepadanya sehingga dia bermaksud untuk membunuh suaminya untuk bisa mendapatkan dirinya. Akan tetapi, wanita itu adalah seorang yang baik dan bermoral, seorang istri yang setia.

Dia bersujud di bawah kaki pemimpin perampok itu, sambil berkata, “Tuan, jika Anda membunuh suamiku untuk mendapatkan diriku, maka saya akan minum racun atau menghentikan napasku untuk membunuh diriku sendiri! Saya tidak akan pergi bersamamu. Janganlah membunuh suamiku untuk hal yang tidak ada gunanya!” Dengan cara demikian, dia berhasil memohonnya untuk pergi.

Mereka berdua kemudian kembali dengan selamat ke Sāvatthi. Ketika melintasi wihara yang ada di Jetavana, mereka berpikir untuk mengunjunginya dan memberikan salam hormat kepada Sang Guru. Maka mereka pun pergi ke ruangan yang wangi (gandhakuṭi) dan duduk di satu sisi setelah terlebih dahulu memberikan salam hormat.

Sang Guru menanyakan kepada mereka datang dari mana. “Dari menagih utang,” balas mereka. “Apakah perjalanan kalian lancar tanpa halangan?” tanya Beliau berikutnya. “Kami ditahan oleh para perampok di tengah perjalanan,” kata sang suami, “dan pemimpin perampok itu bermaksud untuk membunuhku. Akan tetapi, istriku memohon kepadanya untuk melepaskan diriku, dan saya berutang nyawa kepadanya.”

Kemudian Sang Guru berkata, “Upasaka, Anda bukanlah satu-satunya orang yang diselamatkan olehnya. Di masa lampau, dia juga telah menyelamatkan nyawa orang bijak.” Kemudian atas permintaannya, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, terdapatlah sebuah kolam yang besar di Himalaya, tempat hidupnya seekor kepiting emas yang besar. Karena dia hidup di sana, tempat itu dikenal dengan nama Kuḷīradaha (Kolam Kepiting). Kepiting itu amatlah besar, sebesar penebahan. Dia mampu menangkap gajah, membunuh dan memangsanya. Disebabkan oleh hal ini, gajah-gajah tidak berani turun ke kolam itu dan bermain-main di sana.

Kala itu, Bodhisatta dikandung di dalam rahim seekor gajah betina yang merupakan pasangan dari raja gajah yang memimpin sekelompok gajah yang tinggal di dekat kolam kepiting itu. Agar selamat sampai pada waktunya melahirkan, gajah betina itu mencari tempat tinggal lain di sebuah gunung, dan di sana dia melahirkan seorang anak gajah jantan, yang seiring berjalannya waktu tumbuh menjadi dewasa dan bijaksana.

Dia adalah seekor gajah yang besar, kuat dan banyak hasil. Dia terlihat seperti Gunung Collyrium . Dia kemudian memilih seekor gajah betina sebagai pasangannya, dan dia berkeinginan untuk menangkap kepiting tersebut. Maka dengan pasangan dan ibunya, dia mencari kelompok gajah tersebut dan menjumpai ayahnya, mengemukakan keinginannya untuk pergi menangkap kepiting itu. “Anda tidak akan mampu melakukannya, Anakku,” katanya.

Akan tetapi, dia terus-menerus memohon kepadanya untuk memperbolehkannya pergi, sampai pada akhirnya, raja gajah itu berkata, “Baiklah, Anda boleh mencobanya.” Maka gajah muda itu mengumpulkan semua gajah di samping kolam kepiting, dan menuntun mereka sampai ke dekat kolam.

“Apakah kepiting ini menangkap mangsanya ketika mereka turun ke bawah, atau ketika mereka sedang makan, atau ketika mereka hendak naik ke atas?” Mereka menjawab, “Ketika hewan-hewan hendak naik ke atas.” “Baiklah, kalau begitu,” katanya, “turunlah kalian semua ke kolam itu dan makanlah apa yang bisa kalian temukan, kemudian naiklah terlebih dahulu ke atas, saya yang akan menyusul di belakang.”

Mereka pun melakukan demikian. Kemudian kepiting itu, yang melihat Bodhisatta naik ke atas pada urutan belakang, menggenggam kakinya ketat dengan capit, seperti seorang pandai besi yang memegang seonggok besi dengan penjepit besi. Pasangan Bodhisatta tidak meninggalkannya, melainkan berdiri di dekatnya. Bodhisatta berusaha menarik kepiting itu, tetapi bahkan tidak mampu membuatnya bergerak. Kemudian kepiting itu menariknya dan membuatnya berhadapan dengannya.


Setelah kejadian itu, dalam ketakutannya gajah tersebut meraung dan meraung. Mendengar raungan tersebut, semua gajah lainnya, dalam ketakutan mereka, melarikan diri sambil meraung dan mengeluarkan kotoran. Bahkan kali ini, pasangannya mulai tidak tahan dan hendak melarikan diri. Kemudian untuk memberi tahu dirinya bagaimana dia ditawan, dia (Bodhisatta) mengucapkan bait pertama berikut, dengan harapan untuk menahannya, tidak melarikan diri:

Mahkluk bercapit emas dengan mata menyembul,
tinggal di kolam, tidak berambut,
dengan cangkang tipis yang jelek,
Dia menangkapku: dengarkanlah jeritan sedihku!
Pasanganku, janganlah meninggalkan diriku—
karena Anda sangat mengasihiku.

Kemudian pasangannya berbalik, dan mengulangi bait kedua berikut untuk menenangkannya:

Saya tidak akan pernah pergi meninggalkanmu,
suami yang mulia, bersamamu enam puluh tahun.
Empat penjuru bumi ini tidak dapat menunjukkan
siapa pun yang demikian mengasihiku seperti dirimu.

Dengan cara itu, dia memberikan dukungan semangat kepada pasangannya. Kemudian dia berkata, “Sekarang, Tuan, saya akan berbicara kepada kepiting itu untuk melepaskanmu pergi.” Dia menyapa kepiting itu dalam bait ketiga berikut:

Dari semua kepiting yang ada di perairan,
Gangga ataupun Yamunā
Andalah yang paling baik dan pemimpin,
setahu saya: Dengarkanlah saya—lepaskan suamiku!

Ketika dia berbicara demikian, pikiran kepiting itu tertarik oleh suara dari gajah betina tersebut, dan dengan melupakan segala ketakutannya, melepaskan jepitannya dari kaki gajah tersebut, tanpa mencurigai apa yang akan dilakukan olehnya (sang gajah jantan) ketika dia dibebaskan.

Kemudian gajah itu mengangkat satu kakinya dan memijakkannya ke punggung kepiting itu, dan kedua matanya pun menjadi semakin menyembul keluar. Gajah meraungkan jeritan kemenangan. Semua gajah yang lain berlarian datang, menarik kepiting itu dan meletakkannya di tanah, kemudian menghancurkannya berkeping-keping. Dua capitnya terputus dari badannya dan terpisah.

Danau kepiting itu, karena dekat dengan Sungai Gangga, ketika air Sungai Gangga meluap, terisi dengan air dari Sungai Gangga. Ketika banjir mulai surut, aliran airnya mengalir dari kolam itu menuju ke Sungai Gangga. Kedua capit itu pun terbawa dan terapung di sepanjang aliran Sungai Gangga. Salah satu capit tersebut terapung sampai ke laut, dan satunya lagi ditemukan oleh Sepuluh Saudara Raja ketika sedang bermain di sungai.

Mereka mengambilnya dan menjadikannya sebuah genderang kecil yang disebut Ānaka. Para asura menemukan capit yang sampai ke laut itu dan menjadikannya sebuah genderang kecil yang disebut Āḷambara. Ketika kalah bertempur dengan Sakka, para asura ini melarikan diri dan meninggalkan genderang tersebut. Kemudian Sakka menyimpannya untuk digunakannya sendiri, dan inilah yang disebut-sebut orang sebagai Āḷambara megha.

Ketika uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, suami istri tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna: “Pada masa itu, upasika ini adalah gajah betina, dan Aku sendiri adalah pasangannya.”

salam ceria...

0 komentar:

Posting Komentar

maaf sxlg maaf © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute