Senin, 30 Juli 2012

Jangan Terlalu Cepat Menilai


Illustrasi kehidupan yang luar biasa…
Mudah-mudahan sempat dibaca.

Seorang dokter yang sedang bergegas masuk ke dalam ruang operasi…
Ayah dari anak yang akan dioperasi menghampirinya.

“Kenapa lama sekali Anda sampai ke sini? Apa Anda tidak tau, nyawa anak saya terancam jika tidak segera di operasi?”, labrak si ayah.

Dokter itu tersenyum, “Maaf, saya sedang tidak di RS tadi, tapi saya secepatnya ke sini setelah ditelepon pihak RS.”

Lalu ia menuju ruang operasi, setelah beberapa jam ia keluar dengan senyuman di wajahnya. “Syukurlah, keadaan anak Anda kini sudah stabil.”

Tanpa menunggu jawaban sang ayah, dokter tersebut berkata “Suster akan membantu Anda jika ada yang ingin Anda tanyakan.”

Dokter tersebut berlalu.

“Kenapa dokter itu angkuh sekali? Dia kan sepatutnya memberikan penjelasan mengenai keadaan anak saya!”, protes sang ayah berkata kepada suster.

Sambil meneteskan airmata suster menjawab: “Anak dokter tersebut meninggal dalam kecelakaan kemarin sore. Ia sedang menguburkan anaknya saat kami meneleponnya untuk melakukan operasi pada anak Anda. Sekarang anak Anda telah selamat, ia bisa kembali berkabung.”

JANGAN PERNAH TERBURU-BURU MENILAI SESEORANG.
Berusahalah untuk selalu maklumi orang-orang yang berada di sekeliling kita yang mungkin menyimpan cerita kehidupan yang tidak bisa kita bayangkan.

Ada air mata dibalik setiap senyuman…
Ada kasih sayang dibalik setiap amarah…
Ada pengorbanan dibalik setiap ketidakpedulian…
Ada harapan dibalik setiap kesakitan…
Ada kekecewaan dibalik setiap derai tawa…

Semoga illustrasi kehidupan ini bermanfaat agar kita menjadi manusia dengan rasa maklum yang semakin luas dan selalu bersyukur atas buah kamma baik yang telah dirasakan dalam kehidupan ini.

INGAT, kita bukan satu-satunya manusia dengan segudang masalah…

Tersenyumlah ..
Senyum mampu membasuh setiap luka batin …

Maafkanlah…
Maaf mampu menyembuhkan semua rasa sakit dalam batin …

Berbahagialah.

Ia yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesa-gesa,
Tidak dapat dikatakan sebagai orang yang adil.
Orang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti
Mana yang benar dan mana yang salah.

Ia yang mengadili orang lain dengan tidak tergesa-gesa,
Bersikap adil dan tidak berat sebelah,
Yang senantiasa menjaga kebenaran,
Pantas disebut sebagai orang yang adil.
(Dhammapada XIX, 1 dan 2)

salam ceria...

Hidup Melarat Demi Kepentingan Orang Banyak


Sungguh mulia lelaki tua veteran perang di Taiwan ini. Dia rela hidup melarat, makan dan berpakaian seadanya, bahkan tidak memedulikan kesehatannya, demi menabung untuk disumbangkan ke fakir miskin.

Adalah Hong Zhong Hai, kakek 82 tahun yang pernah berlaga di perang saudara China, ditahbiskan masuk ke dalam jajaran 46 orang paling dermawan se-Asia Tenggara versi majalah Forbes. Bukannya tidak beralasan, kendati renta, dia rela berkorban demi kepentingan orang banyak.

Tahun lalu, kakek kelahiran Anhui Huoqiu, China, ini menyumbangkan tabungannya sebesar NT$6 juta atau sekitar Rp. 1,78 miliar pada mereka yang membutuhkan. Ia juga sering membantu menyokong hidup janda kawan-kawannya di medan perang.

Menurut kisah yang diungkapkan Peter Wey, seorang diplomat Taiwan di Jakarta, 7 Juli 2011, Hong tidak pernah merasa cukup menyumbang. Dia berpikir bahwa uang yang sudah dikeluarkannya itu masih belum cukup besar. “Saya ingin hidup lebih lama lagi, sehingga saya bisa memberi lebih,” kata Hong.

Keadaan Hong saat ini telah payah. Dia berjalan menggunakan skuter listrik sejak jatuh dari sepeda pada 2006 dan mengalami cedera tulang belakang pada 2011. Ia juga menderita penyakit pikun atau demensia dan mengalami kesulitan bicara. Namun, jika bicara soal sumbangan, dia bisa menjelaskan panjang lebar.

“Hidup saya sangat sederhana. Saya menghemat untuk diri sendiri, namun bersedia menyumbang.” Kata Hong.

Hong ikut wajib militer menggantikan sang kakak tahun 1945, saat usianya baru 16 tahun dan baru enam bulan menikah. Ia pun terjun dalam perang saudara, perang bom tahun 1958, dan sederet perang lainnya.

Saat pulang kampung untuk pertama kalinya pada 1987, Hong mendapati istrinya telah menikah dengan orang lain. Sejak itu ia tidak menikah lagi dan memilih untuk hidup sendiri. Hong telah pensiun dari dunia militer dan tinggal sendiri di kota Hualien, Taiwan Timur, terpisah dari saudara-saudara kandungnya.

Kehidupannya yang sederhana di rumah ini mencengangkan seorang perawat yang berkunjung ke rumahnya. “Saya melihat handuk yang sudah robek seperti sarang laba-laba, tetapi dia tidak ingin menggantinya. Ada pula sayur kubis yang dimasukan kedalam penanak nasi listrik sampai lunak, bersama ikan kalengan dan roti kukus dimakannya yang selama seminggu. Usai makan ia hanya mengonsumsi empat butir anggur.” ujar si perawat.

Perawat tersebut mengatakan biaya hidup Hong setiap bulan ternyata kurang dari NT$ 1000 (sekitar Rp. 297.000). Sebagian besar uang tunjangan pensiun Hong ditabung untk disumbangkan di kemudian hari.

Pernah ada seorang ibu dan anak yang pernah menerima bantuan Hong, datang dari dusun Xiulin membawa sup ikan untuk Hong sebagai bentuk terima kasih. Ketika menyuapkan sesendok sup kemulutnya, dengan terharu Hong berkata, “Sup ini adalah makanan paling lezat yang pernah saya cicipi.”

Hong menyatakan masih ingin menyumbangkan uangnya untuk membantu lebih banyak orang, namun pihak rumah sakit menyarankan Hong agar menggunakannya untuk kepentingan medisnya.

“Hong Zhong Hai masih membutuhkan perawatan, menyewa perawat sehingga kami menyarankan untuk sementara menyimpan uangnya. Ia sendiri susah berjalan, tetapi tidak bersedia membeli kursi roda listrik,” ujar pihak rumah sakit.

salam ceria...

Katthahari Jataka


Kisah ini diceritakan oleh Sang Bhagava ketika berdiam di Jetavana tentang kisah Vāsabha-Khattiyā, yang akan ditemukan di dalam Buku Kedua Belas dalam Bhaddasāla-Jataka. Tradisi memberitahukan kepada kita bahwa ia adalah putri dari Mahānāma Sakka dengan seorang budak wanita bernama Nāgamuṇḍā, dan bahwa ia kemudian menjadi permaisuri raja Kosala.

Ia mengandung seorang anak lelaki, tetapi raja ketika mengetahui asal-usul permaisurinya yang memiliki ibu seorang budak, menurunkan tahta permaisurinya, dan juga tahta anaknya Viḍūḍabha. Ibu dan anak tidak pernah ke luar istana.

Mendengar hal ini, Buddha pada saat awal fajar datang ke istana ditemani oleh lima ratus bhikkhu, dan sambil duduk di kursi yang telah disiapkan untuknya, Beliau berkata, “Yang Mulia, di mana Vāsabha-Khattiyā?”

Kemudian raja menceritakan apa yang terjadi.

“Yang Mulia, anak siapakah Vāsabha-Khattiyā?”

“Putri Raja Mahānāma, Tuanku.”

“Ketika ia datang kemari, kepada siapakah dia menjadi istri?”

“Bagi saya, Tuanku.”

“Yang Mulia, dia adalah putri raja, pada seorang raja jugalah ia menikah dan untuk seorang raja pula ia melahirkan seorang anak laki-laki.” Oleh karena itu, apakah anak itu tidak memiliki otoritas atas wilayah seperti yang dimiliki ayahnya? Pada jaman dahulu kala, seorang raja yang memiliki seorang putra yang tidak sah tetap memberikan kedaulatan-nya pada anaknya. “

Raja kemudian bertanya pada Sang Bhagava untuk menjelaskan hal ini. Sang Bhagava membuat jelas apa yang telah tersembunyi dari dirinya oleh kelahiran kembali.

Pada suatu waktu Brahmadatta bertahta sebagai raja di Benares. Setelah kehilangan kesenangannya, dia pergi mengembara mencari buah-buahan dan bunga-bunga sampai pada suatu ketika ia berjumpa dengan seorang perempuan yang bernyanyi riang sambil mengambil ranting-ranting di kebun.

Jatuh cinta pada pandangan pertama, raja kemudian menjadi lebih akrab dengannya, dan pada akhirnya Bodhisatta dikandung dalam rahim perempuan tersebut. Merasa tambah berat seakan-akan disambar oleh petir Indra, wanita itu mengetahui bahwa dia akan menjadi seorang ibu dan mengatakan hal itu kepada raja.

Raja memberinya cincin stempel dari jarinya dan memberinya dengan kata-kata berikut ini: – “Jika yang lahir adalah seorang gadis, gunakanlah cincin ini untuk membesarkannya, tetapi jika yang lahir adalah laki-laki, bawalah cincin dan anak itu kepada saya.”

Ketika waktunya tiba, wanita tersebut melahirkan Bodhisatta. Dan ketika Bodhisatta bisa berlari dan bermain di taman bermain, suara teriakan muncul, “Tidak – ayah telah memukul saya!” Mendengar ini, Bodhisatta lari kepada ibunya dan bertanya siapa ayahnya.

“Kamu adalah putra Raja Benares, anakku.”

“Apa bukti yang ada, ibu?”

“Anakku, raja pada saat meninggalkanku memberi ibu cincin stempel ini dan berkata, ‘Jika yang lahir adalah seorang gadis, gunakanlah cincin ini untuk membesarkannya, tetapi jika yang lahir adalah laki-laki, bawalah cincin dan anak itu kepada saya’.”

“Mengapa kemudian ibu tidak membawaku bertemu dengan ayah, ibu? “

Melihat bahwa pikiran anak itu telah mantap, ia membawa anaknya menuju pintu gerbang istana, dan meminta kedatangan mereka diberitahukan kepada raja. Pada saat dipanggil masuk, ia masuk dan membungkuk memberi salam pada rajanya dan berkata, “Ini adalah anakmu, Tuanku.”

Raja cukup tahu bahwa ini adalah kebenaran, tapi malu di depan semua pejabat pengadilan menjawab, “Dia bukan anakku.”

“Tapi di sini adalah cincin stempel Anda, Tuanku; Anda akan mengenali cincin ini.”

“Ini bukan cincin stempel saya.”

Lalu kata wanita itu, “Yang Mulia, saya sekarang tidak memiliki saksi untuk membuktikan kata-kata saya, kecuali kebenaran itu sendiri. Oleh karena itu, jika Anda adalah ayah dari anak saya, saya berdoa agar dia dapat melayang di udara, tetapi jika tidak, maka biarlah ia jatuh ke bumi dan terbunuh.”

Setelah mengatakan hal itu, ia memegang kaki Bodhisatta dan melemparkannya ke udara.

Duduk bersila melayang di udara, Bodhisatta dengan suara merdu mengulangi bait ini kepada ayahnya, yang menyatakan kebenaran: –

Anakmu adalah aku, raja yang besar; peluklah saya, Paduka!
Seorang Raja memeluk orang lain, tetapi memeluk jauh lebih erat anaknya sendiri.

Mendengar kata-kata Bodhisatta mengajarkan kebenaran kepada raja, raja segera mengulurkan tangan dan berseru, “Datanglah padaku, Nak! Tidak ada, tidak ada yang lainnya, tapi aku akan memeluk dan membesarkanmu!”

Seribu tangan terulur untuk menangkap Bodhisatta; tetapi hanya ke tangan raja sajalah Bodhisatta turun sambil duduk di pangkuan raja. Raja mengangkatnya menjadi raja muda, dan mengangkat ibunya menjadi permaisuri. Pada saat kematian ayahnya, ia datang memenuhi tahtanya dengan gelar Raja Kaṭṭhavāhana, dan setelah memerintah kerajaannya dengan benar, meninggal dunia untuk membayar sesuai dengan jasa-jasa kebajikannya.

Pelajarannya kepada raja Kosala berakhir, dan dari dua kisah berbeda di atas, Sang Bhagava membuat pertalian yang menghubungkan keduanya bersama-sama dan mengidentifikasikan kelahiran dengan mengatakan: – “Mahāmāyā adalah ibu dari masa itu, Raja Suddhodana adalah ayah, dan Saya sendiri Raja Kaṭṭhavāhana. “

salam ceria...

Jumat, 20 Juli 2012

Sang Dewa Reksa Arta


Dalam mitologi China, banyak tokoh yang dapat dijadikan panutan bagi pengembangan batin dan moralitas. Tak ada batasan strata maupun gender yang menjadi aral dalam pembentukan karakter bijaksana tersebut, Mereka dapat dari kalangan apa saja, Bangsawan ataupun jelata, Laki-laki maupun perempuan.

Sebab sosok demikian, murni lahir dan berangkat dari sebuah cita luhur. Maka dalam perkembangan zaman, mereka tidak pernah dapat dilupakan oleh rakyat. Menjadi legenda turun-temurun, diteladani dan disanjung setinggi langit. Mereka adalah maharesi yang mengisi dunia ini dengan cinta dan kasih. Mereka adalah manusia-manusia yang diradi Langit. Dan salah satunya adalah Zhao Gong Ming, Sang Dewa Reksa Arta.

Sesungguhnya ada dua sosok Sang Dewa Reksa Arta yang merupakan jelma jelata menjadi totem di Langit. Sosok pertama adalah Dewa Reksa Arta Wu dan yang kedua adalah, Dewa Reksa Arta Wen. Dalam kepercayaan masyarakat Tiongkok kuno, masing-masing ‘dewa’ tersebut memiliki tugas dan tanggung-jawab masing-masing. Pembedaan lainnya adalah, mereka secara ‘jasadi’ memiliki bentuk sosok yang lain di antara masing-masing figur.

Penggambaran Dewa Reksa Arta Wu misalnya, berwajah hitam mengenakan zirah besi khas bentara kekaisaran dengan tangan memegang ‘koin’ tipikal kuna Tionggoan. Ia kerap menunggangi seekor macan hitam sementara tangannya yang lain memegang cemerti sakti. Cikal bakal penembahan Dewa Reksa Arta Wu ini bermuasal dari moralitas dan dedikasi yang telah diaplikasikannya bagi lingkungan rakyat sekitarnya.


Tersebutlah Zhao Gong Ming. Ia merupakan salah satu jelata yang berasal dan lahir di Zhao Nan Shan, Tiongkok. Hampir sepanjang perjalanan semasa kecil dan mudanya, ia berkubang terus-menerus di dalam kemiskinan. Praktis Zhao Gong Ming muda menggantungkan hidupnya dari mengemis belas kasihan orang-orang.

Semua ini demi menghidupi ibunya yang sudah tua dan uzur. Legenda mengungkap bahwa ‘dewata’ di Langit tersentuh oleh baktinya yang demikian besar terhadap ibunya itulah, sehingga kemudian ia diberi anugerah rezeki melimpah. Pada suatu ketika, ketika rundungan kelaparan yang nyaris merenggut nyawa kedua ibu-beranak itu, maka ‘dewata’ menurunkan sebuah ‘mangkuk sakti’ yang dapat menghasilkan harta emas.

Maka, sejak saat itu, Zhao Gong Ming menjadi salah satu orang terkaya di desanya. Berbekal karunia ‘kekayaan’ dari Langit itu pula ia membantu penduduk miskin tanpa berpamrih dan tanpa pandang bulu. Ia menjadi satu-satunya dermawan yang tidak angkuh dan sombong. Ia disayangi oleh rakyat. Dan sejak saat itu pula namanya mulai melegenda.

Namun keberhasilannya senantiasa menangkup bagai jelaga awan hitam di atas langit. Zhao Gong Ming yang berpekerti baik dimusuhi oleh beberapa bangsawan dan saudagar jahat yang menganggapnya telah merenggut popularitas mereka. Simpati penduduk terhadap Zhao Gong Ming yang palamarta pula dianggap sebagai hal yang memalukan bagi mereka yang berstatus sosial tinggi. Sebab sudah turun-temurun keluarga mereka telah menjadi pandega dan pemuka masyarakat.


Maka pada suatu ketika, mereka berkonspirasi untuk melenyapkan nyawa Zhao Gong Ming. Mereka lalu membayar beberapa perewa untuk melakukan aksi tidak berperikemanusiaan tersebut.

Dan dalam sebuah skenario insiden pembunuhan, para perewa tersebut membakar tubuh Zhao Gong Ming sehingga jasadnya hancur mengarang dan wajah insan berbudi luhur itu menghitam—inilah penggambaran mengapa wajah Dewa Reksa Arta Wu Zhao Gong Ming adalah hitam.

Jiwa almarhum Zhao Gong Ming kemudian diangkat ke Nirwana oleh Kaisar Langit, Yi Huang Da Di, dan berangkat dari kebajikan dan kedermawanannya, maka ia dianugerahi sebagai Dewa Reksa Arta Wu.

Ia diberi amanat dan bertugas sebagai pemimpin ‘Asta Reksa Pengrajin Emas dan Perak’, yang melindungi harta para dermawan dari perampok atau saudargar hitam yang bersekutu dengan makhluk autotrop untuk mencuri. Ia pulalah yang mengatur kekayaan insan di dunia sesuai pahala dan budi baik yang mereka lakukan.

Mengemban tugas mulia dari Langit tersebut, Dewa Reksa Arta Wu Zhao Gong Ming diberi seekor macan hitam sebagai kendaraan tunggang yang loyal dan mengikutinya ke mana saja. Ia juga diberikan seekor burung Hong Emas—phoenix—yang dapat menempuh jarak mahapanjang, dan bertugas sebagai infois yang dapat membedakan insan batil maupun bajik.

Dari informasi burung Hong Emas itu pulalah maka ia dapat menimbang ‘pembagian’ harta bagi masing-masing pelaku kebajikan. Semakin besar pahala baik seseorang, maka makin besar pulalah rezeki dan harta yang akan diperolehnya.

Legenda tentang Dewa Reksa Arta Zhao Gong Ming sebenarnya beredar dalam berbagai versi. Namun yang paling populer selain kisah di atas tadi adalah pengisahan dirinya dalam cerita rakyat yang bernama Feng Shen Yan Yi—Kisah Wisesa Widyaiswara Hong Sin.


Tersebutlah seorang pertapa bernama Zhao Gong Ming yang tekun melatih dan mengasah pancacita demi pengembangan kehidupan rakyat yang lebih baik. Ia tulus bersemedi di sebuah gunung bernama Omei.

Pada akhir kekuasaan Dinasti Shang, ia diundang oleh Kaisar Zhou untuk menghadapi Jiang Zi Ya, yang merupakan tokoh penting antipemerintah rival utama Kekaisaran. Mengemban amar dari Sang Kaisar, ketika ia turun gunung untuk mencari Jiang Zi Ya, Zhao Gong Ming dihadang seekor macan berbulu hitam di sebuah hutan kaki gunung.

Pergulatan dengan binatang buas tersebut tak dapat dihindari. Berbekal kesaktiannya sebagai maharesi, maka dengan mudah Zhao Gong Ming dapat menaklukkan sang Macan Hitam itu. Selang berikutnya, ia dapat membudaki macan berbulu hitam tersebut sebagai kendaraan tunggangnya. Sejak saat itulah sang Macan Hitam bertubuh sebesar kuda itu menjadi abdi bagi Zhao Gong Ming.

Akhirnya, bersama sang Macan Hitam, Zhao Gong Ming terus mencecar dan memburu Jiang Zi Ya. Dalam sebuah pertemuan penuh amarah, mereka bertarung sengit. Berbekal cemeti saktinya, Zhao Gong Ming dapat mengalahkan Jiang Zi Ya. Nasib baik masih berpihak kepada Jiang Zi Ya, sebab ia dapat meloloskan dirinya dari sergapan Zhao Gong Ming yang hendak membunuhnya.


Dengan tubuh luka-luka dan berlumuran darah, ia melarikan diri dari cengkeraman sakratulmaut. Jiang Zi Ya yang tengah berputus asa bertemu dengan seorang rahib Tao sakti, yang berasal dari daerah perbukitan Khung Lung. Ia berguru ilmu pada maharesi itu. Dan setelah merasa sudah siap untuk bertarung, maka ia berangkat untuk mencari Zhao Gong Ming.

Suatu ketika mereka bertemu dan bertarung kembali. Dalam pertarungan tersebut, Jiang Zi Ya yang sudah memiliki kesaktian tinggi dapat membunuh Zhao Gong Ming.
Setelah pertarungan itu, alkisah, Jiang Zi Ya yang sesungguhnya seorang jelata berpekerti baik namun kontrapemerintah nan zalim, mendapat karunia dari Langit. Ia diberi kitab ‘Yu Fu Jin’ dari Kaisar Langit yang lebih lazim dikenal sebagai Yuan Shi Tian Cun.

Kitab tersebut merupakan madah sakti yang dapat mengangkat arwah seseorang menjadi ‘dewa’. Memanuti amar dan putusan Langit yang memprioritaskan ‘dewa’ berasal dari manusia berbudi luhur, maka tanpa dilandasi ‘perseteruan’-nya yang pernah terjadi dengan Zhao Gong Ming semasa mendiang masih hidup sebagai manusia, ia mengangkat arwah ‘musuh’-nya itu menjadi ‘Jin Long Ru Yi Zheng Yi Long Hu Xuan Tan Zhen Jun’ atau Dewa Reksa Arta yang memimpin dan mengatur kekayaan manusia pada Dunia Belahan Timur.

Kemudian, tidak lama berselang pada saat bersamaan, Jian Zi Ya pun menitahi Na Zhen Tian Cun Ji Bao, juga dewa bersetarata sama yang berasal dari manusia bajik, memimpin dan mengatur kekayaan manusia di Dunia Belahan Barat. Zhao Cai Shi Zhe Deng Jiu Gong yang bermuasal serupa mereka berdua tadi, memimpin dan mengatur kekayaan manusia di Dunia Belahan Selatan. Dan terakhir adalah, Xian Guan Tao Shao Si. Tugas salah satu dari empat Dewa Reksa Arta ini memimpin dan mengatur kekayaan manusia di Dunia Belahan Utara.


Itulah ihwal empat sosok Dewa Reksa Arta yang ditugasi mengatur kekayaan dan kemakmuran manusia. Kisah yang melegenda tersebut disikapi sebagian masyarakat Tionghoa sebagai pedoman dalam pengembangan pancacita: sebuah pencerahan batin dalam rangka pencapaian kebahagiaan, kemakmuran, kesejahteraan, kekayaan, dan kesehatan. Bersama Jiang Zi Ya, keempat dewa itu kerap disebut Wu Lu Cai Shen atau Dewa Reksa Arta Lima Penjuru.

Dan setiap penanggalan lunar imlek yang jatuh pada tanggal limabelas bulan tiga, masyarakat yang masih turun-temurun mereplikasi kebajikan jelata jelma ‘dewa’ tersebut pasti merayakan seremoni ‘ulangtahun’ yang mengacu pada hari kelahiran Zhao Gong Ming.

Bagi siapa yang membaca blog ini, silahkan berikan komentar khusus untuk mengetahui sejarah dari Zhao Gong Ming yang lebih detil, otentik dan informasi di daerah mana saja ada Vihara Zhao Gong Ming ini.



salam ceria...

11 Buddha Rupang Paling Terkenal di Dunia

1. Borobudur Buddha


Patung-patung Buddha di Borobudur adalah maha karya dari para seniman kuno Indonesia. Semua patung Buddha disini berada dalam posisi duduk tetapi dengan sikap tangan (mudra) yang berbeda. Dari awalnya terdapat 504 patung Buddha, 300 diantaranya rusak dan 43 hilang (sejak penemuan kembali candi ini, banyak kolektor gelap yang mencuri kepala patung Buddha).

2. Hussain Sagar Buddha


Patung Buddha ini terletak di tengah-tengah sebuah danau buatan di kota Hyderabad, India. Patung ini berdiri setinggi 17 meter dan seberat 320 ton. Ini merupakan patung monolitik terbesar di India, yang dipahat oleh para seniman hanya dari sebongkah batu besar. Tragisnya, pada saat pemasangan patung Buddha pada tahun 1992, patung ini jatuh ke dalam danau dan menyebabkan kematian 8 orang pekerja. Pemerintah kemudian memperbaiki patung dan sekarang menjadi salah satu daya tarik wisatawan di kota Hyderabad.

3. Tian Tan Buddha


Buddha Tian Tan terletak di Pulau Lantau, Hong Kong. Terbuat dari perunggu dan selesai tahun 1993. Patung ini merupakan daya tarik utama dari Vihara Po Lin, yang mensimbolkan harmonisasi antara manusia, alam, masyarakat dan agama.

Patung ini dinamakan Tian Tan karena bagian bawahnya merupakan replika dari Kuil Tian Tan (Kuil Surga) di Beijing. Patung dengan sikap duduk ini memiliki tinggi 34 meter dan mengambil postur yang melambangkan ketenangan.

4. Monywa Buddha


Monywa adalah sebuah kota di tengah Myanmar yang terletak di pinggiran Sungai Chindwin. Disini anda dapat melihat Monywa Buddha – patung Buddha berbaring terbesar di dunia. Patung ini memiliki total panjang 90 meter. Kepala patung ini memiliki tinggi 60 kaki.

Patung Buddha Monywa ini dibuat tahun 1991 dan berlubang didalamnya, sehingga pengunjung bisa masuk ke dalam.
Terdapat pula sebuah patung Buddha berdiri yang dibangun di atas Bukit Po Kaung. Dengan tinggi 132 meter, patung ini menjadi salah satu patung Buddha tertinggi di dunia.

5. Ayutthaya Buddha Head


Kota Ayutthaya di Thailand memiliki salah satu patung Buddha yang tidak biasa di dunia. Di antara reruntuhan Wat Mahathat (Vihara Relik Agung) terdapat sebuah patung yang seluruh badannya telah lenyap oleh waktu dan hanya tersisa kepalanya saja di antara belitan pepohonan. Ini adalah salah satu patung yang sangat indah tercipta oleh berlalunya waktu.

6. Gal Viharaya


Terletak di Sri Lanka, Polonnaruwa merupakan situs salah satu patung Buddha yang paling terkenal di dunia – Gal Viharaya. Vihara batu ini dibuat oleh Parakramabahu Agung di abad 12 Masehi. Di tengah-tengah vihara terdapat 4 patung Buddha berukuran besar. Di antara ke-4 patung Buddha ini adalah sebuah patung Buddha berbaring sepanjang 14 meter dan sebuah patung Buddha berdiri setinggi 7 meter.

7. Ushiku Daibutsu


Ushiku Daibutsu terletak di kota Ushiku, Jepang. Selesai tahun 1995, patung ini merupakan salah satu patung tertinggi di dunia, bediri setinggi 120 meter termasuk 10 meter pondasi dan 10 meter platform berbentuk teratai.

8. Temple of the Reclining Buddha


Terletak di Bangkok, Wat Pho terkenal dengan patung Buddha berbaringnya yang besar. Vihara ini merupakan salah satu vihara terbesar dan tertua di Bangkok, dibangun sekitar 200 tahun setelah Bangkok menjadi ibukota Thailand.

9. Great Buddha of Kamakura


Buddha Agung Kamakura atau dalam bahasa Jepang biasa disebut Daibutsu Kamakura merupakan sebuah patung perunggu monumental dari Amida Buddha (Buddha Amitabha) di kota Kamakura, Jepang.

Patung ini berdiri dengan damai di atas tanah Kotokuin yang merupakan sebuah kuil buddhis aliran Tanah Suci, dan patung Buddha ini menjadi salah satu ikon penting dalam pariwisata dan kehidupan sosial masyarakat Jepang.

Patung setinggi 13,35 meter dan berat 93 ton ini menjadi patung Buddha monumental terbesar kedua di Jepang (yakni setelah patung Buddha di Todaiji, Nara) dan bagi banyak orang, merupakan patung yang paling impresif.

Patung ini dibuat pada tahun 1252 di Kamakura dan pada mulanya berada di dalam kuil, sepertihalnya patung Buddha di Nara. Tetapi karena sebuah tsunami besar yang menghanyutkan semua bangunan dari kayu pada akhir abad ke-15, patung ini tetap dibiarkan berada di alam terbuka.

Patung Buddha Agung ini duduk dengan posisi teratai dan dengan tangan membentuk Dhyani Mudra, pola yang melambangkan konsentrasi/meditasi. Dengan sebuah ekspresi yang damai dan sebuah pemandangan bukit di belakangnya, Daibutsu jelas menawarkan sebuah pemandangan yang spektakular.

Daibutsu sendiri adalah Amida Buddha, yang merupakan fokus dalam ajaran Buddhisme Tanah Suci. Berasal dari Cina, aliran ini memperoleh banyak pengikut di Jepang sejak abad 12 Masehi dan masih sangat popular hingga saat ini.

Inti ajarannya adalah seputar rasa bhakti terhadap Amida Buddha, mengekspresikannya melalui mantra-mantra dan dengan setulus hati, seseorang akan pergi menuju Tanah Suci atau “Surga Barat” setelah kematian – sebuah keadaan yang mana akan mempermudah pencapaian Nirvana.

10. Temple of the Emerald Buddha


Vihara terkenal lain di Bangkok adalah Wat Phra Kaew, Vihara Buddha Zamrud. Di dalam vihara ini terdapat patung Buddha Zamrud, salah satu patung Buddha tertua dan paling terkenal di dunia.

Menurut legenda, patung ini dibuat di India sekitar 43 SM di kota Pataliputra dan berada disana selama 300 tahun. Pada abad ke-4 M, patung ini dibawa ke Sri Lanka oleh para biksu buddhis untuk menyelamatkannya dari peperangan yang terjadi. Kemudian patung ini dibawa ke Thailand dan dipindahkan ke Wat Phra Kaew di tahun 1779.

11. Leshan Giant Buddha


Patung Buddha raksasa Leshan adalah sebuah maha karya umat manusia. Patung Buddha dipahatkan di sebuah lembah yang langsung menghadap ke laut di Sichuan, bagian barat Cina.

Mulai dibuat selama Dinasti Tang tahun 713, patung ini baru selesai tahun 803 (90 tahun) dan melibatkan usaha dari ribuan seniman dan pemahat. Sebagai salah satu patung terbesar di dunia, patung ini juga disebut-sebut dalam puisi, lagu dan cerita.

salam ceria...

Buddha Emas Terkecil


MAGELANG, 23/4 - BUDHA EMAS TERKECIL. Cipto, 32 (berdiri) melakukan performance art bersama kelompok Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) sesaat sebelum menerima piagam MURI di areal taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng, Kamis (23/4). Cipto menerima penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai pencipta patung Budha terkecil berbahan emas murni dengan ukuran 3x4x8 milimeter.

salam ceria...

Kamis, 19 Juli 2012

Kisah Pan Gu


Dalam sejarah Tionghoa disebutkan seorang makhluk bernama(Pán Gu). Ia dikisahkan sebagai leluhur pembuka langit dan bumi yang dengan sekuat kemampuannya dan mengorbankan nyawanya sendiri untuk menggantikan keberadaan dunia ini.

“Pán Gu umumnya dilukiskan sebagai raksasa primitif berbulu dengan tanduk di kepalanya dan memakai pakaian dari bulu binatang,” ujar Sunanto Eddy Tamrin, seorang peminat budaya Tionghoa kepada Tribun belum lama ini.

Dengan kata lain, Pán Gu adalah wujud dari alam semesta, dalam legenda memisahkan langit dan bumi. Ia juga diyakni sudah menciptakan unsur kebudayaan, ilmu pengetahuan dan filosofi yang sangat kaya dan menarik. “Semangat dan kerja keras Pángu yang sampai mengorbankan diri untuk membentuk dunia merupakan semangat manusiawi yang paling luhur dan tinggi,” papar Sunanto.


“Selama ribuan tahun, legenda Pán Gu di atas dunia yang ia ciptakan dengan mengorbankan jiwanya tetap dikenang dan disebarluaskan dari generasi ke generasi. Tak pelak Pán Gu menjadi satu di antara mutiara dalam kebudayaan Tionghoa,” tambahnya.

Ketika alam semesta baru mulai, tak ada apapun di alam ini, kecuali suatu kekacauan tanpa bentuk. Tetapi kemudian kekacauan ini mulai bersatu dalam suatu kosmis berbentuk telur untuk waktu 18.000 tahun.
Di dalam kosmis itu, dengan sempurna terdapat prinsip Yin dan Yáng yang mulai menjadi seimbang sehingga Pán Gu muncul dan hidup (atau bangun) dalam telur tersebut.

Pán Gu langsung memulai tugas menciptakan dunia, antara lain memisahkan Yin dan Yáng dengan ayunan dari kampak raksasanya, menciptakan bumi (Yin yang suram, kuning telur) dan langit (Yáng yang bersih, putih telur). Untuk menjaga bumi dan langit tetap terpisah, Pán Gu berdiri di antara bumi dan langit dan mendorong langit ke atas. Tugas ini menghabiskan waktu selama 18 ribu tahun, di mana setiap hari langit naik 10 kaki lebih tinggi, bumi 10 kaki lebih luas, dan Pán Gu tumbuh 10 kaki lebih tinggi.


Dalam beberapa versi cerita ini, Pán Gu dalam tugas ini dibantu oleh empat binatang yang sangat terkenal dalam tradisi Tionghoa, yakni Xuánwu (Kura-kura), Qílín (Kirin), Fènghuáng (Phoenix), dan Lóng (Naga).

Setelah 18 ribu tahun berlalu, Pán Gu berbaring untuk istirahat. Hembusan nafasnya diyakini menjadi angin, suaranya menjadi guntur, mata kanannya menjadi matahari dan mata kirinya menjadi bulan. Badannya menjadi pegunungan, darahnya mengalir membentuk sungai, ototnya menjadi tanah yang subur, bulu mukanya menjadi gugusan bintang.

Bulu badannya menjadi hutan dan semak, tulangnya menjadi air mineral yang berharga, sumsum tulangnya menjadi intan yang suci, keringatnya jatuh sebagai hujan, dan makhluk kecil pada badannya yang dibawa oleh angin menjadi manusia di seluruh penjuru dunia.

Penulis pertama untuk catatan mistik Pán Gu adalah Xú Zheng pada zaman Periode Tiga Kerajaan atau periode Zhan Guo. Gunung Pán Gu Shan, yang terletak 15 kilometer arah selatan Mìyángxiàn Provinsi Hénán, China diyakini sebagai tempat di mana Pán Gu memisahkan langit dan bumi, menciptakan manusia dan segala makluk didunia ini.

salam ceria...

Dewi Nuwa


Dalam mitologi Cina, Nuwa adalah karakter mitologi terkenal karena menciptakan dan mereproduksi orang setelah bencana besar. Tradisi lain kemudian nama ini sebagai sebuah penciptaan mitos yang dikaitkan baik Pangu atau Yu Huang.

Nuwa di berbagai peran

Sebuah lukisan kuno Nuwa dan Fuxi digali di Xinjiang.Since Nuwa disajikan berbeda dalam mitos begitu banyak, tidak akurat untuk mengikat "dia" turun sebagai pencipta, perempuan ibu, dewi, atau bahkan. Tergantung pada mitos, "dia" bertanggung jawab untuk menjadi seorang istri, saudara perempuan, pria, pemimpin suku (atau bahkan kaisar), pencipta, pemelihara, dll Tidak jelas dari bukti-bukti yang pandangan datang lebih dulu. Terlepas dari asal-usul, mitos yang paling menyajikan Nuwa sebagai perempuan dalam peran prokreasi setelah bencana.

Nuwa sebagai sebuah repairer

Peran sastra awal tampaknya menjadi perawatan dan pemeliharaan Tembok Surga, yang runtuh akan melenyapkan segalanya. Perhatikan juga asosiasi untuk tradisi Deluge bawah ini.

Ada pertengkaran antara dua para dewa lebih kuat, dan mereka memutuskan untuk menetap dengan perkelahian. Ketika Falun Gong air dewa melihat bahwa ia kalah, ia menghancurkan kepalanya ke Gunung Buzhou , tiang mengangkat langit. Pilar runtuh dan menyebabkan langit untuk memiringkan ke arah barat laut dan bumi bergeser ke tenggara. Hal ini menyebabkan banjir besar dan penderitaan bagi rakyat.

Nuwa memotong kaki kura-kura raksasa dan menggunakannya untuk menggantikan pilar jatuh, mengurangi situasi dan menyegel langit rusak menggunakan batu dari tujuh warna berbeda, tapi ia tidak dapat sepenuhnya memperbaiki langit miring. Hal ini menjelaskan fenomena bahwa matahari, bulan, dan bintang-bintang bergerak menuju barat laut, dan sungai-sungai di tenggara aliran Cina ke Samudera Pasifik. (Akun ini mirip dengan rekening Huainanzi; itu ditambahkan sebagai The Pemeliharaan dan Perawatan Surga)

Versi lain dari cerita ini menggambarkan Nuwa naik ke surga dan mengisi kesenjangan dengan tubuhnya (ular setengah setengah manusia) dan dengan demikian menghentikan banjir. Menurut legenda ini beberapa minoritas di Barat Daya Cina hujan es Nuwa sebagai dewi mereka dan beberapa festival seperti 'Air-percikan Festival' adalah sebagian penghargaan untuk pengorbanan nya.


Nuwa sebagai pencipta

Peran utama berikutnya dari Nuwa adalah dewa pencipta. Namun, tidak banyak cerita menganggap penciptaan dirinya dari segala sesuatu, mereka biasanya membatasi dia untuk penciptaan manusia. Banyak dari umat manusia fitur cerita yang diciptakan atau dipulihkan setelah bencana.

Dikatakan yang Nuwa ada pada awal dunia. Dia merasa kesepian karena tidak ada hewan sehingga dia memulai penciptaan hewan dan manusia, yang berarti dia telah memberikan nama bagi hewan.

Pada hari pertama dia menciptakan ayam.
Pada hari kedua dia menciptakan anjing.
Pada hari ketiga dia menciptakan domba.
Pada hari keempat dia menciptakan babi.
Pada hari kelima dia menciptakan sapi.
Pada hari keenam dia menciptakan kuda.
Pada hari yang ketujuh ia mulai menciptakan manusia dari tanah liat kuning, patung satu per satu, namun setelah ia menciptakan ratusan tokoh dengan cara ini ia masih memiliki lebih untuk membuat namun telah tumbuh lelah dari proses melelahkan.

Ini adalah upacara mengantongi melahirkan anak.

Jadi, bukannya kerajinan tangan setiap gambar, dia mencelupkan tali di tanah liat dan menjentikkan sehingga gumpalan tanah liat mendarat di mana-mana; masing-masing gumpalan menjadi seseorang.

Ini melambangkan bahwa dia memiliki anak melalui seks dengan Fu-Xi.

Dengan cara ini, cerita berhubungan, adalah bangsawan dan rakyat jelata dibuat dari angka-angka kerajinan tangan dan gumpalan masing-masing. Variasi lain pada cerita ini menceritakan bahwa beberapa tokoh meleleh dalam hujan Nuwa sedang menunggu mereka untuk kering dan dengan cara ini penyakit dan kelainan fisik muncul.


Nuwa sebagai istri atau saudara perempuan

Oleh Dinasti Han, ia dijelaskan dalam literatur dengan Fuxi suaminya sebagai yang pertama dari Huang San, dan sering disebut "orang tua dari manusia". Namun, lukisan yang menggambarkan mereka bergabung sebagai orang setengah - setengah ular naga atau tanggal dengan periode Negara Perang.

"Dikatakan" dalam bentuk naga yang ia dan suaminya diukir sungai-sungai di dunia dan menguras banjir yang dihasilkan. Ini berarti bahwa mereka tahu bagaimana mencegah bahaya air.

salam ceria...

Tongtian Jiaozhu,Pemimpin Agung Para Siluman


Pendahuluan

Saat alam semesta baru saja terbentuk , tersebutlah 3 orang sesepuh dewata yaitu YuanShi TianZun, TaiShang LaoJun & TongTian JiaoZhu yg membagi Taoisme menjadi 2 aliran, yaitu;

-Aliran pegunungan (Chan) yg dipimpin oleh YuanSi TianZun & TaiShang LaoJun.
Pengikut dari aliran ini berasal dari orang2 suci yg mayoritas berwatak welas asih, sabar & suka menolong. (dewa2 macam Er Lang, Nacha, dewa petir, dewa pagoda dsb tergabung dalam aliran ini)

-Aliran kepulauan (Jie) yg dipimpin TongTian JiaoZhu.
Berkebalikan dg aliran pegunungan yg dihuni oleh orang2 suci, aliran kepulauan justru diisi oleh siluman2, baik yg berasal dari hewan, tumbuhan ato bahakan benda mati yg berwatak arogan, egois, pencemburu & gemar mengumbar hawa nafsu .

Karena sifatnya yg sangat bertolak belakang itulah kedua aliran ini tidak pernah akur & sering bentrok diberbagai kesempatan


Pertempuran para dewa

(disarikan dari novel FengShen YanYi bab 76-78 & 82-84)

Raja Zhou (Hokkian; Tiu Ong) dari dinasti Shang adl tiran terkejam dalam sejarah China yg terkenal suka menindas rakyat. Karena tidak tahan lagi dg kekejamannya maka rakyatpun ahirnya memberontak dibawah pimpinanan raja Wu (Hokkian; Bu Ong). Dalam peperangan itu pasukan raja Wu mendapat bantuan dari para dewa & calon dewa dari aliran Chan, sementara pasukan dinasti Shang didukung oleh para siluman2 dari aliran Jie. Karena dewa2 aliran Chan berada dipihak yg benar maka mereka selalu menang & mengalahkan murid2 aliran Jie.

Setelah melalui perjuangan yg panjang & melelahkan pasukan raja Wu yg dipimpin Jiang ZiYa (Hokkian; Kiang Cu Gee) sudah semakin dekat dg ibukota dinasti Shang, namun sesampainya dilintasan Jie Pai perjalanan mereka terpaksa terhenti karena dihadang oleh kabut merah yg sarat dg kekuatan jahat.

Dari balik kabut muncullah sesososk pertapa tua yg nampak sangat agung & berwibawa. "Salam paman guru, saya beserta seluruh murid2 aliran Chan memberi hormat pada paman" kata Jiang ZiYa sambil membungkuk hormat pada sang pertapa yg ternyata adl TongTian JiaoZhu, mahaguru dari aliran Jie.

"Hmmm, bagus kau masih mengenalku sebagai paman gurumu, tapi kenapa kalian seenaknya membunuhi murid2 aliran kami heh?" saut TongTian ketus.

"Sejak dulu guru selalu mengajari kami untuk menghormati aliran paman, sayang ada beberapa murid paman yg membela raja Zhou sehingga.......".

"Sehingga kalian boleh seenaknya membantai mereka karena aliran kalian aliran putih sementara aliranku inialiran sesat, begitu? bentak TongTian memotong kalimat JianZiya. "Sudah tidak perlu munafik lagi, dari dulu aku sudah tahu kalian memang selalu meremehkanku, tp CUKUP SAMPAI DISINI!" lanjutnya sambil mengibaskan tangannya menyibak kabut merah yg menutupi lintasan JiePai. Sekonyong2 nampaklah sebuah benteng pertahanan yg sangat kokoh & angker dilengakpi dg 4 pedang pusaka dikeempat gerbangnya.

"Yg ada dihadapan kalian adl Jiu Xian Zhen (formasi pemusnah dewata) ciptaanku & bila kalian ingin pergi keibukota Shang maka harus melewatinya dulu. Tapi kuperingatkan formasiku ini sangat sempurna & tidak punya kelemahan, sehingga tanggung sendiri akibatnya kalau kalian berani menerobosnya!" tantang sang mahaguru.

Melihat keangkeran Jiu Xian Zhen para dewa alrian Chan keder jg, apalagi merekapun mahfum dg kehebatan ilmu paman gurunya itu sehingga tidak berani bertindak sembarangan. Tiba2 muncullah seberkas sinar keemasn yg sangat indah dilangit disertai munculnya dua mahaguru aliran Chan yaitu YuanShi TianZun & TaiShang LaoJun.

"Hahaha adik TongTian kenapa kau galak sekali, lihat anak2 itu sampai ketakutan begitu. Bila kau memang ingin bermain2 bagaimana bila aku saja yg melayanimu" kata LaoJun santai seraya menggiring kerbaunya memasuki Jiu Xian Zhen. Begitu LaoJun tiba digerbang utama dy langsung disambut oleh pedang pusaka yg terbang menghujam kearahnya, namun sekonyong2 muncullah pagoda emas yg melindungi tubuh Lao Jun sehingga diapun dapat melewati Jiu Xian Zhen dg selamat tanpa terluka sedikitun.

"Nah bagaimana? Nampaknya formasi pemusnah dewamu itu tidak begitu hebat jg ya?" kata LaoJun meledek.

"Puih jangan melucu Li Er (2), kau baru melewati 1 gerbang & masih ada 3 yg tersisa! Kita lihat saja bagaimana kau mengatasi sisanya" saut TongTian geram.

"Wah masih ada 3 lagi? Aduh adik, tega benar kau pada kakek tua ini.... untunglah aku membawa beebrapa teman untuk membantuku" jawab LaoJun ringan seraya menunjuk 2 orang biksu India disampingnya yg bernama JieYin (3) & ZhunTi

Kini Tongtian baru sadar akan kehadiran Jie Yin & Zhun Ti yg merupakan mahaguru tertinggi Budhisme kala itu (4). "Mau apa kalian para biksu kesini, bukannya baik2 membaca sutra malah ikut campur urusan orang lain" gerutu TongTian.

Dengan tenang JieYn pun menjawabnya"Amithaba, kami para biksu memang biasanya menghindari kekerasan, sayangnya formasi pemusnah dewamu itu terlalu membahayakan umat manusia sehingga kami terpaksa ikut campur, apalagi LaoJun & YuanShi TianZun sudah berbaik hati mengijinkan kami menyebarkan Budhisme diTiongkok, sehingga kamipun harus membalas budi mereka".

"Terserah! Tapi jangan katakan aku menindas agama kalian bila kalian berdua tewas oleh formasiku" balas TongTian ketus.

Tanpa dikomando lagi keempat mahaguru; TaiShang LaoJun, YuanShi TianZun, Jie Yin & Zhun Ti segera memasuki Jiu Xian Zhen yg langsung disambut oleh keempat pedang pusaka & berbagai jebakan maut lainnya. Namun rupanya kedahsyatan Jiu Xian Zhen tidak ada apanya dibanding kesaktian 4 mahaguru ini sehingga dalam waktu singkat saja benteng pemusnah dewa itupun berhasil dijebol juga.

Melihat formasi kebanggaannya hancur lebur membuat TongTian sangat malu & murka sehinga dypun segera menggempur keempat mahaguru itu dg ganasnya. TongTian JiaoZhu sebenarnya memiliki kesaktian yg hampir tidak ada bandingannya didunia ini, tp karena pertarungan ini sangat tidak adil (4 lawan 1) sehingga lama2 dypun keteteran jg & ahirnya melarikan diri....

Setelah musnahnya Jiu Xian Zhen para dewa aliran Chan bernapas lega & mengira tidak akan ada lagi gangguan dari TongTian & murid2nya, saipa tahu sesampainya di lintasan mereka kembali menjumpai sebuah formasi iblis yg bahkan lebih angker dari Jiu Xian Zhen. "Aduuuuuh mau apa lagi sih kakek tua itu, apa dy belum puas dihajar sampai lari terkencing2 seperti dulu" gerutu NeZha kesal.

Tidak lama kemudain datanglah utusan TongTian yg memberitahu bahwa formasi itu bernama Wan Xian Zhen (formasi pembantai puluhan ribu dewa) & para dewa aliran Chan diundang memasukinya untuk beradu ilmu. Berbeda dg sebelumnya, pertempuran kali ini bukan hanya melibatkan para mahaguru tp jg mengadu murid2 senior dari kedua aliran, rincian singkat jalannya pertempuran adl sebagai berikut;

-Siluman kura2 berjanggut emas (aliran Jie) mengalahkan Guang Cheng Zi & Chi Jing Zi (aliran Chan) tp dy balik dikalahkan oleh Zhun Ti
-Siluman singa biru & gajah putih (Jie)ditaklukan dewa Wen Shu & Pu Xian (Chan), kedua siluman itu kemudian dijadikan tunggangan kedua dewa itu
-Jin Gong Xian (Jie) ditaklukan CiHang DaShi (Chan)
Setelah menaklukan ketiga siluman atas petunjuk JieYin. Wen Shu, Pu Xian & CiHang DaShi memutuskan pindah keagama Budha & menjadi Bodhisatwa Manjusri, Samanthabrada & Kwan Im.
-GuLing ShengMu (Jie) mati dihisap ratusan nyamuk yg emnhisap darahnya
-JinLing SheMu yg merupakan tangankanan TongTian membunuh putri pertama kaisar langit yg bernama putri LongJi & suaminya, para dewa aliran Chan kemudian mengeroyok JinLing ShengMu yg ahirnya tewas ditangan pertapa Ran Deng (5)
-28 dewa rasi bintang (Jie) dibantai habis oleh murid2 aliran Chan

Melihat gugurnya murid2nya membuat TongTian jadi mata gelap & hendak menggunakan bendera saktinya untuk memusnahkan para dewaaliran Chan, beruntung senjata pemunah masal itu sudah dicuri & disembunyikan oleh dewa kuping panjang (mantan murid TongTian yg membelot kealiran Chan). Mengetahui pengikutnya sudah hampir habis & senjatanya jg sudah tidak ada membuat TongTian kehilangan semangat bertempurnya sehingga ahirnya dapat diringkus dan dibawa pergi untuk disuruh bertapa kembali oleh gurunya yg bernama HongJun LaoRen.

(1) Meskipun sering digambarkan jahat dilegenda2 namun dalam Taoisme yg sebenarnya aliran Jie bukanlah aliran sesat
(2) TongTian senang memanggil TaiShang LaoJun dg sebutan LiEr
(3) Jie Yin konon merupakan cikal bakal/reinkarnasi sebelumnya dari Budha RuLai
(4) Dalam sejarah yg sebenarnya belum ada Budhisme pada dinasti Shang
(5) Pertapa Ran Deng adl guru dari dewa pagoda Li Jing

TongTian JiaoZhu dalam legenda2 lain

Selain dalam novel Feng Shen Bang, TongTian jg sering muncul sebagai antagonis dalam legenda2 lainnya. Misalnya dalam cerita 8 dewa TongTian murka karena murid kesayagannya yg bernama siluman kerang berpindah kealiran Chan. TongTian kemudian membuat kekacauan dihari pengagnkatan siluman kerang menjadi dewi, tp kemabli berhasil ditaklukan oleh TaiShang LaoJun & dewa2 lain. selain itu TongTian jg muncul dalam novel jendral DiQing (seorang jendral kenamaan dr dinasti Song), disini TongTian kembali meneggelar formasi iblisnya untuk mencelakai jendral DiQing yg didukung dewa2 aliran Chan.

salam ceria...

Kisah Uggasena


Setelah menikah dengan seorang penari dari suatu rombongan sirkus, Uggasena dilatih oleh ayah mertuanya yang merupakan seorang pemain akrobat, sehingga ia menjadi sangat ahli di bidang akrobatik. Suatu hari ketika ia sedang mendemonstrasikan keahliannya, Sang Buddha datang ke tempat itu.

Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Uggasena mencapai tingkat kesucian arahat, ketika ia sedang melakukan atraksi yang hebat sekali di puncak dari sebatang galah bambu yang panjang.

Setelah itu, ia turun dari galah dan memohon dengan sangat kepada Sang Buddha untuk menerimanya sebagai seorang bhikkhu dan kemudian ia diterima dalam pasamuan bhikkhu.
Suatu hari, ketika pada bhikkhu yang lain menanyakan padanya apakah ia tidak mempunyai segala macam perasaan takut ketika sedang turun dari tempat yang amat tinggi (sekitar sembilan puluh kaki), ia mengatakan tidak.

Para bhikkhu tersebut menanggapi dan mengartikan hal itu sebagai cara Uggasena untuk menyatakan diri telah mencapai tingkat kesucian arahat.
Oleh karena itu, mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, “Bhante! Uggasena menyatakan diri sebagai seorang arahat; dia pasti mengatakan suatu kebohongan”.

Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, seseorang yang telah memotong semua belenggu, seperti murid-Ku Uggasena, tidak lagi memiliki ketakutan”.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 397 berikut:

Ia telah memotong semua belenggu, tidak lagi gemetar, yang bebas dan telah mematahkan semua ikatan, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’.

salam ceria...

Kisah Patipujika Kumari


Patipujika Kumari adalah seorang wanita dari Savatthi. Dia menikah pada usia 16 tahun dan mempunyai empat orang putra. Patipujika Kumari merupakan seorang wanita yang baik budi dan murah hati, suka memberikan dana makanan dan kebutuhan lain kepada para bhikkhu.

Dia juga sering pergi ke vihara dan membersihkan halaman, mengisi tempat air, dan memberikan bantuan lainnya. Patipujika juga mempunyai kemampuan “Jatissara”, yaitu kemampuan batin untuk mengingat kehidupannya yang lampau dimana dia adalah salah seorang istri Malabhari, yang tinggal di alam dewa Tavatimsa.

Dia juga ingat bahwa dia telah meninggal dunia di Tavatimsa ketika mereka para dewa dewi sedang berjalan-jalan dan menikmati kesenangan di taman, dan memetik bunga-bunga.

Maka, setiap saat dia berdana kepada para bhikkhu atau melakukan perbuatan-perbuatan baik lainnya, dia berharap dapat dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa sebagai istri Malabhari, suaminya terdahulu.

Suatu hari, Patipujika jatuh sakit dan meninggal dunia pada sore itu juga. Seperti apa yang dia inginkan, dia dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa sebagai istri Malabhari. Seratus tahun di alam manusia sama dengan satu hari di alam Tavatimsa, Malabhari dan istri-istrinya yang lain masih bermain-main di taman; dan kepergian Patipujika hampir tidak dirasakan oleh mereka.

Maka, ketika dia kembali bergabung dengan mereka, Malabhari menanyakan ke mana Patipujika pagi hari tadi. Dia kemudian menceritakan kematiannya di alam Tavatimsa dan kelahirannya kembali di alam manusia. Pernikahannya dengan seorang manusia dan juga tentang bagaimana dia telah mempunyai empat orang putra. Kematiannya di alam manusia dan lahir kembali di alam Tavatimsa.

Ketika para bhikkhu mendengar kematian Patipujika, mereka bersedih. Kemudian mereka menghadap Sang Buddha dan melaporkan kematian Patipujika, orang yang sering memberikan dana makanan pada pagi hari, telah meninggal pada sore hari.

Sang Buddha menjawab bahwa kehidupan suatu makhluk sangat singkat; dan sebelum mereka puas dengan kesenangan-kesenangan indrianya, kematian telah menguasainya.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

“pupph?ni h’eva pacinanta? vy?sattamanasa? nara?
atitta? yeva k?mesu antako kurute vasa?”

Orang yang mengumpulkan bunga-bunga kesenangan indria,
yang pikirannya melekat padanya
sebelum terpuaskan dalam nafsu kenikmatan indria,
kematian telah menguasainya.

salam ceria...

32 Tanda Pada Diri Sidharttha Gotama

1. Telapak kaki rata (suppatitthita-pado).
2. Pada telapak kakinya terdapat cakra dengan seribu ruji, lingkaran dan pusat dalam bentuk sempurna.
3. Tumit yang bagus (ayatapanhi).
4. Jari-jari panjang (digha-anguli).
5. Tangan dan kaki yang lembut serta halus (mudutaluna).
6. Tangan dan kaki bagaikan jala (jala-hattha-pado).
7. Pergelangan kaki yang agak tinggi (ussankha-pado).
8. Kaki yang bagaikan kaki kijang (enijanghi).
9. Kedua tangan dapat menyentuh atau menggosok kedua lutut tanpa membungkukkan badan.
10. Kemaluan terbungkus selaput (kosohitavattha-guyho).
11. Kulitnya bagaikan perunggu berwarna emas (suvannavanno).
12. Kulitnya sangat lembut dan halus, sehingga tidak ada debu yang dapat melekat pada kulit.
13. Pada setiap pori kulit ditumbuhi sehelai bulu roma.
14. Rambut yang tumbuh pada pori-pori berwarna biru-hitam.
15. Potongan tubuh yang agung (brahmuiu-gatta).
16. Tujuh tonjolan (sattussado), yaitu pada kedua tangan, kedua kaki, kedua bahu dan badan.
17. Dada bagaikan dada singa (sihapubbaddha kayo).
18. Pada kedua bahunya tak ada lekukan (citantaramso).
19. Tinggi badan sama dengan panjang rentangan kedua tangan, bagaikan Pohon Nigroda (beringin).
20. Dada yang sama lebarnya (samavattakkhandho).
21. Indria perasa sangat peka (rasaggasaggi).
22. Rahang bagaikan rahang singa (siha-banu).
23. Empat puluh buah gigi (cattarisa-danto).
24. Gigi-gigi yang sama rata (sama-danto).
25. Antara gigi-gigi tak ada celah (avivara-danto).
26. Gigi putih bersih (susukka-datho).
27. Lidah sangat panjang (pahuta-jivha).
28. Suara bagaikan suara brahma, seperti suara Burung Karavika.
29. Mata biru (abhinila netto).
30. Bulu mata lentik, bagaikan bulu mata sapi (gopakhumo).
31. Di antara alis-alis mata, tumbuh sehelai rambut halus, putih bagaikan kapas yang lembut.
32. Kepala bagaikan berserban (unhisasiso).

salam ceria...

wafatnya Raja Bimbisara


Ketika itu, anak Raja Bimbisara, bernama Pangeran Ajatasattu, telah dewasa. Ia dipengaruhi oleh Devadatta Thera, yang membujuknya untuk merampas takhta kerajaan dan membunuh ayahnya.

Pangeran Ajatasattu lalu merencanakan untuk menggulingkan takhta kerajaan ayahnya, tetapi Raja Bimbisara yang mengetahui rencana anaknya yang jahat itu, tidak menghukumnya, malahan Beliau menyerahkan takhta kerajaan itu seperti yang diinginkan anaknya itu.

Tetapi Pangeran Ajatasattu yang jahat itu tidak puas, ia lalu menangkap dan memasukkan ayahnya ke dalam penjara. Ia memerintahkan supaya ayahnya tidak diberi makan, ia ingin agar ayahnya menderita sampai mati. Ia hanya mengijinkan ibunya yang bebas mengunjungi ayahnya di penjara. Sang Ibu yang berbudi itu selalu membawakan makanan untuk suaminya dengan menyembunyikannya di balik baju.

Setelah Pangeran mengetahuinya, ia lalu melarang ibunya membawakan makanan untuk ayahnya. Kemudian dengan diam-diam, ia membawa makanan yang disembunyikan di dalam kondenya. Tidak lama kemudian Pangeran mengetahuinya dan ia melarang dengan keras ibunya membawakan makanan untuk ayahnya.

Sang ibu lalu mencari siasat lain. Ia lalu membaluri tubuhnya dengan campuran madu, keju, mentega dan gula cair. Bimbisara lalu menjilati tubuh isterinya, sehingga ia dapat bertahan hidup.

Raja Ajatasattu setelah mengetahui apa yang dilakukan ibunya, lalu melarang ibunya datang mengunjungi ayahnya. Hatinya hanya dipenuhi keinginan untuk melihat ayahnya menderita dan mati karena penderitaannya itu.

Bimbisara yang tidak lagi mempunyai makanan untuk mempertahankan hidupnya, lalu berlatih meditasi berjalan. Setiap hari ia selalu mengingat ajaran Sang Buddha dan berlatih meditasi dengan rajin, akhirnya ia mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapanna), batinnya tetap tenang dan bahagia.

Anak yang kejam itu heran, mengapa ayahnya belum mati juga. Setelah ia mengetahui ayahnya selalu melatih meditasi berjalan, ia lalu mengirim tukang cukur untuk menyayat-nyayat telapak kaki ayahnya, dan melumurinya dengan garam dan minyak lalu dipanggang di atas bara api.

Bimbisara yang melihat tukang cukur datang, amat senang karena ia berpikir bahwa anaknya mungkin sudah sadar dan menyesali perbuatannya yang jahat dan keji itu. Ia lalu mengirim tukang cukur untuk memangkas rambut dan jenggotnya yang sudah panjang, sebelum membebaskannya.

Tetapi harapan Bimbisara keliru, ia harus mengalami penderitaan yang luar biasa hebatnya. Tukang cukur itu yang atas perintah Raja Ajatasattu, menyayat-nyayat telapak kakinya dan melumurinya dengan garam dan minyak serta memanggangnya di atas bara api. Bimbisara yang sudah amat lemah itu, tidak tahan lagi sehingga meninggal dunia. Bimbisara meninggal karena penderitaannya di luar batas peri-kemanusiaan lagi, dan ia meninggal atas perintah anak kandungnya sendiri.

salam ceria...

Jumat, 13 Juli 2012

Sundari


Pada saat jumlah orang-orang yang menghormat Sang Buddha meningkat, pertapa-pertapa bukan Buddhis mendapatkan jumlah pengikut mereka semakin berkurang. Oleh karena itu mereka menjadi sangat iri hati terhadap Sang Buddha. Mereka juga takut bahwa keadaan akan semakin buruk jika mereka tidak melakukan sesuatu untuk merusak nama baik Sang Buddha.

Kemudian mereka mengundang Sundari, dan berkata kepadanya, "Sundari, kamu adalah seorang wanita muda yang cantik dan pintar. Kami menginginkan kamu membuat malu Samana Gotama dengan mengatakan kepada banyak orang bahwa kamu telah berhubungan kelamin dengannya. Dengan melakukan hal ini citra baiknya akan rusak, pengikutnya akan berkurang sehingga banyak orang yang akan datang kepada kita. Buatlah penampilan yang terbaik dan pandai-pandailah".

Sundari mengerti apa yang diharapkan darinya. Kemudian pada malam hari, dia pergi ke Vihara Jetavana.

Ketika dia ditanya kemana hendak pergi, dia menjawab, "Saya pergi mengunjungi Samana Gotama, saya tinggal bersamanya di kamar harum (Gandha Kuti) di Vihara Jetavana". Setelah mengatakan hal ini, dia pergi ke tempat pertapa-pertapa bukan Buddhis.

Pagi-pagi sekali keesokan harinya dia kembali ke rumahnya. Jika orang-orang menanyakan dia dari mana, dia akan menjawab, "Saya baru dari kamar harum (Gandha Kuti) setelah bermalam semalam dengan Samana Gotama".

Wanita itu terus mengatakan hal ini selama dua hari. Pada akhir hari ketiga, pertapa-pertapa menyuruh beberapa pemabuk untuk membunuh Sundari dan meletakkan jenazahnya ditumpukan sampah dekat Vihara Jetavana.

Hari berikutnya, para pertapa menyebarkan berita mengenai hilangnya pertapa wanita pengembara (Paribbajika) Sundari. Mereka pergi menghadap raja untuk melaporkan kecurigaan mereka. Raja mengizinkan mereka untuk menyelidiki di tempat yang mereka perkirakan. Ketika menemukan jenazah di dekat Vihara Jetavana, mereka membawanya ke istana.

Kemudian mereka berkata kepada raja, "O raja. Pengikut-pengikut Gotama telah membunuh Paribbajika Sundari dan membuang jenazahnya di tumpukan sampah dekat Vihara Jetavana, untuk menutupi kesalahan guru mereka".

Kepada mereka raja menjawab, "Dalam kasus ini kalian boleh berkeliling kota dan mengumumkan bukti-bukti tersebut".

Mereka lalu mengelilingi kota membawa jenazah Sundari dan berteriak, "Lihat! Apa yang telah dilakukan oleh pengikut-pengikut Gotama! Lihat bagaimana mereka mencoba menutupi kesalahan Gotama!"

Arak-arakan tersebut kemudian kembali ke istana. Para bhikkhu yang tinggal di Vihara Jetavana mengatakan kepada Sang Buddha apa yang telah dilakukan oleh pertapa-pertapa untuk merusak nama baik dan merusak citra Sang Buddha.

Tetapi Sang Buddha hanya berkata, "Anak-anakKu, kalian harus memberitahukan mereka mengenai hal ini", kemudian Beliau membabarkan syair 306 berikut ini:

Orang yang selalu bicara tidak benar, dan juga orang yang setelah berbuat kemudian berkata, "Aku tidak melakukannya", akan masuk ke neraka. Dua macam orang yang mempunyai kelakuan rendah ini, mempunyai nasib yang sama dalam dunia selanjutnya.

Sementara itu, raja memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki lebih lanjut pembunuhan Sundari. Dari penyelidikan itu mereka menemukan Sundari meninggal dunia di tangan pemabuk-pemabuk.

Kemudian para pemabuk dibawa menghadap raja.
Ketika ditanya, para pemabuk mengakui bahwa mereka disuruh oleh pertapa-pertapa untuk membunuh Sundari dan meletakkan jenazahnya di dekat Vihara Jetavana.

Raja memanggil pertapa-pertapa bukan Buddhis dan akhirnya pertapa-pertapa itu mengakui rencana mereka dalam pembunuhan Sundari. Raja memerintahkan mereka untuk pergi berkeliling kota, mengakui kesalahan mereka pada umum.

Mereka berkeliling kota dan berkata, "Kami adalah orang-orang yang membunuh Sundari, kami telah bersalah menuduh pengikut Gotama hanya untuk memalukan Gotama. Pengikut-pengikut Gotama tidak bersalah, kamilah yang bersalah atas kejahatan ini".
Sebagai kesimpulan dari peristiwa ini, kekuatan, keagungan dan keberuntungan Sang Buddha sangatlah tinggi

salam ceria...

Menaklukkan Yakkha Alavaka


Mãrãtireka mabhiyujjhita sabbarattim
Gorampanãlavaka makkhamathaddha yakkham
Khanti sudhanta vidhinã jitavã munindo
Tan tejasã bhavatu te jayamangalãni

Lebih dari Mara yang membuat onar sepanjang malam
Adalah Yakkha Alavaka yang menakutkan, bengis dan congkak
Raja para Bijaksana menaklukkannya, menjinakkan dengan kesabaran
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.

Sudah menjadi kebiasaan Raja Alava, ketika sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi peperangan yang melelahkan, ia selalu menghibur diri dengan pergi berburu ke hutan selama tujuh hari tanpa henti. Pada saat itu, ketika sedang mengepung binatang buruannya di sebuah hutan, raja memerintahkan kepada para pengawalnya, untuk menjaga agar tidak seekor binatang pun yang dapat meloloskan diri.

Namun seekor rusa dapat menerobos penghalang yang berada di dekat raja. Raja mengejar rusa itu seorang diri, sesudah mengejar rusa itu cukup jauh, akhirnya ia dapat membunuh rusa itu. Ia memang tidak membutuhkan daging rusa itu tetapi untuk menunjukkan kehebatannya di hadapan para pengawalnya, ia memotong rusa itu menjadi dua bagian. Lalu ia mengikatkannya pada sepotong kayu. Raja lalu berjalan kembali ke tempat ia telah meninggalkan para pengawalnya.

Dalam perjalanan kembali ke tempat para pengawal yang menunggunya, raja tiba di bawah sebuah pohon Banyan , di perempatan sebuah jalan. Karena ia amat lelah, maka ia berhenti sejenak untuk beristirahat di bawah pohon tersebut. Pohon Banyan ini adalah tempat kediaman Yakkha Alavaka (raksasa) yang mempunyai kebiasaan untuk membunuh orang-orang yang mendekati pohon tersebut.

Yakkha Alavaka menangkap raja yang sedang berteduh di bawah pohon itu. Raja amat ketakutan dan berjanji apabila Yakkha Alavaka tidak membunuh dan melepaskannya, maka ia akan mempersembahkan korban sebagai pengganti dirinya, seorang manusia dan sepiring nasi setiap hari.

Tetapi Yakkha Alavaka menjawab :

"Kalau kamu kembali ke istana, kamu pasti akan melupakan janjimu ini. Saya hanya dapat menangkap orang-orang yang mendekati pohon ini, oleh karena itu saya tidak akan melepaskanmu."

Raja berkata dengan amat ketakutan, bahwa apabila suatu hari ia ingkar janji, Yakkha Alavaka dapat mendatangi istana untuk mengambil korbannya. Setelah menerima janji dari raja ini, Yakkha Alavaka lalu melepaskan raja untuk kembali pulang ke istana.

Setibanya di istana, raja memanggil walikota dan menceritakan apa yang telah terjadi. Walikota bertanya kepada raja; apakah ketika berjanji kepada Yakkha Alavaka, raja menyebutkan kapan berakhirnya persembahan korban itu. Raja mengatakan, ia tidak menyebutkannya. Walikota menyesali karena raja telah melakukan suatu kesalahan besar, namun ia berjanji untuk mengatasi bencana ini, tanpa menyusahkan raja.

Kemudian walikota pergi ke penjara, dan berkata bahwa narapidana yang telah dijatuhi hukuman mati karena membunuh, akan dibebaskan apabila mereka membawa sepiring nasi dan mempersembahkannya di bawah pohon Banyan. Para pembunuh menyambut gembira usul ini, tetapi ketika mereka mendekati pohon Banyan tersebut, mereka ditangkap dan dibunuh oleh Yakkha Alavaka. Setelah narapidana sudah habis, perintah ini dialihkan kepada para pencuri dan merekapun dibunuh oleh Yakkha Alavaka, sehingga penjara akhirnya kosong.

Lalu perintah ini diteruskan kepada orang yang tidak bersalah, yang dituduh melakukan kesalahan yang tidak mereka lalukan. Karena cara ini akhinya tidak berhasil, perintah ini lalu dialihkan kepada orang-orang yang berusia lanjut. Orang-orang tua ini diambil dari rumah lalu dibawa ke pohon Banyan tersebut. Raja lalu memberitahukan kepada walikota bahwa rakyat mengeluh karena kakek nenek mereka diambil dari rumah mereka.

Raja lalu memerintahkan cara lain untuk memenuhi janjinya kepada Yakkha Alvaka. Walikota lalu berkata apabila ia tidak diijinkan untuk mengorbankan orang-orang berusia lanjut, ia harus mengorbankan bayi-bayi. Ketika penduduk mengetahui hal ini, sebagian dari mereka terutama ibu-ibu yang mempunyai bayi ataupun yang sedang hamil pindah ke negara lain.

Kejadian ini berlangsung selama dua belas tahun lamanya. Sehingga tidak ada lagi anak kecil yang tersisa, kecuali putera raja sendiri. Karena tidak ada jalan lain, maka raja dengan terpaksa merelakan puteranya sendiri untuk dipersembahkan kepada Yakkha Alavaka. Ratu dan selir-selir raja menangis tersedu-sedu, ketika raja memerintahkan agar membawa puteranya untuk dipersembahkan kepada Yakkha Alavaka.

Di pagi hari yang sama, Sang Buddha ketika itu sedang bersemayam di Vihara Jetavana. Beliau melihat dengan Mata BuddhaNya, bahwa Pangeran Alava mempunyai karma baik, ia dapat mencapai Tingkat Kesucian Anagami. Demikian pula Yakkha Alavaka, ia masih mempunyai karma baik karena ia dapat mencapai Tingkat Kesucian Sotapanna. Kemudian Sang Buddha membawa mangkuk pindapatta dan meninggalkan Vihata Jetavana menuju ke pintu kediaman Yakkha Alavaka.

Penjaga pintu memperingatkan Sang Buddha, untuk jangan mendekat karena berbahaya. Majikannya sangat kejam, bahkan kepada orang tuanya sendiri dia tidak pernah menaruh hormat. Sang Buddha berkata, bahwa tidak akan terjadi apapun terhadap diriNya, asalkan Beliau diijinkan untuk menetap semalam di tempat itu.

Penjaga pintu kemudian mengatakan bahwa majikannya akan mencabut jantung siapapun yang datang mendekat dan akan mengoyak tubuh korbannya menjadi dua bagian. Sang Buddha tetap mendesak untuk tinggal di sana satu malam. Akhirnya penjaga itu berkata ia akan meminta ijin dahulu kepada majikannya di Hutan Himala.

Setelah penjaga itu pergi, Sang Buddha lalu memasuki tempat tinggal Yakkha Alavaka dan duduk di singgasana, tempat yang biasa diduduki oleh Yakkha Alavaka. Para selir dari istana datang dan memberi hormatnya kepada Sang Buddha. Sang Guru lalu membabarkan Dhamma kepada mereka, mengajarkan untuk mengasihi semua mahluk dan tidak menyakiti siapapun. Setelah mendengarkan Dhamma mereka mengucapkan "Sadhu".

Ketika gandrabbha atau pengawal memberitahukan kepada Yakkha Alavaka bahwa Sang Buddha sedang berada di tempat kediamannya, ia sangat marah dan berkata dengan suara keras; bahwa Bhikkhu Gotama akan sangat menderita karena telah memasuki tempat tinggalnya.

Ketika itu para Yakkha yaitu Satagira dan Hemavata bersama para pengikutnya sedang dalam perjalanan menuju ke suatu pertemuan. Para Yakkha ketika terbang di angkasa harus menghindari jalur yang biasa dilewati para Dewa. Tempat tinggal Yakkha Alavaka dikelilingi pagar besi dan di atasnya dilindungi jala emas.

Kedua Yakkha tersebut harus melintasi tempat ini dari dekat, dan karena para Yakkha tidak diperkenankan untuk mendekati Sang Buddha (kecuali untuk memberi penghormatan kepada Beliau), mereka tertangkap dan ketika ingin mencari penyebabnya, mereka menemukan Sang Guru Agung sedang duduk di tahta Yakkha Alavaka, keduanya lalu menghampiri dan menghormati Beliau.

Setelah itu mereka pergi ke Hutan Himalaya. Pada saat itu, mereka bertemu dengan Yakkha Alavaka dan memberitahukan bahwa suatu kejadian yang menguntungkan telah terjadi padanya. Karena Sang Buddha sedang berada di tempat kediamannya, dan dia harus pergi untuk menyambut Beliau. Mendengar hal ini, Yakkha Alavaka menjadi gelisah dan bertanya :

"Siapakah Sang Buddha ini yang telah berani memasuki tempat tinggalku?"

Kedua Yakkha menjawab :

"Apakah kamu tidak mengenal Sang Buddha, Penguasa ke Tiga Alam [5]?"
Yakkha Alavaka berkata bahwa siapapun Beliau, ia akan mengusirnya dari tempat kediamannya.

Kemudian kedua temannya itu berkata :

"Yakkha Alavaka, kamu hanyalah bagaikan seekor anak kerbau yang baru lahir di dekat seekor kerbau dewasa. Bagaikan gajah kecil di dekat raja pemimpin suku. Bagaikan seekor serigala tua di dekat seekor singa yang perkasa. Apa yang dapat kamu perbuat?"

Yakkha Alavaka berdiri dari tempat duduknya dengan penuh kemarahan, ia lalu menaruh kakinya di puncak Gunung Ratgal, ia tampak seperti kobaran api dan berkata: "Sekarang kita lihat, siapakan yang lebih kuat."

Yakkha Alavaka dengan penuh kemarahan menendang Gunung Kailasa, yang menimbulkan percikan api seperti besi panas yang dipukul dengan palu. Sekali lagi ia berteriak dengan kerasnya : "Saya adalah Yakkha Alavaka .........!" Dan suaranya menggema ke seluruh Jambudwipa (India).

Tanpa menunda lagi, Yakkha Alavaka pergi ke tempat kediamannya dan berusaha keras untuk mengusir Sang Buddha. Ia menciptakan badai hebat yang didatangkan dari empat penjuru, yang dapat menumbangkan pohon dan bukit karang berukuran besar. Tetapi dengan kekuatan cinta kasih Sang Buddha, semua itu tidak dapat melukai Beliau. Setelah itu terjadi hujan lebat, hujan senjata, hujan pasir, arang, abu dan kegelapan.

Namun tidak ada satupun yang dapat melukai Sang Buddha. Kemudian Yakkha Alavaka mengubah wujudnya menjadi mahluk yang sangat menyeramkan, namun Sang Buddha tidak menghentikannya dan membiarkan Yakkha Alavaka melakukannya sepanjang malam, sehingga ia menjadi amat lelah.

Kemudian ia melemparkan senjatanya yang amat sakti, namun tidak berhasil juga. Ketika itu para Dewa mulai berkumpul untuk menyaksikan pertandingan ini. Yakkha Alavaka sangat heran menyaksikan senjata andalannya tidak berdaya, dan mencari penyebabnya.

Ia menemukan bahwa semua itu adalah karena cinta kasih dan kasih sayang Sang Buddha yang amat besar. Cinta kasih hanya dapat ditaklukkan dengan cinta kasih, bukan dengan kemarahan.

Kemudian Yakkha Alavaka meminta dengan lemah lembut kepada Sang Buddha untuk meninggalkan tempat kediamannya dan Sang Buddha yang telah mengetahui bahwa kemarahannya telah ditaklukkan dengan kelembutan. Beliau berdiri dan meninggalkan tempat tersebut.

Melihat hal ini, Yakkha Alavaka berpikir :
"Saya telah menentang Pertapa ini sepanjang malam dengan tanpa membawa hasil, dan sekarang hanya dengan satu kata Beliau meninggalkan tempat ini."

Melihat hal ini hatinya menjadi lembut. Namun demikian ia berpikir, akan lebih baik lagi apabila ia mengetahui apakah Sang Buddha pergi karena kemarahan atau ketidakpatuhan, ia lalu memanggil Beliau :

"Yang Mulia, silakan masuk," kata Yakkha Alavaka. Sang Buddha lalu masuk menghampirinya. Tiga kali hal tersebut diulangi, namun ketika Yakkha Alavaka berkata untuk yang keempat kalinya, supaya Sang Buddha meninggalkan kediamannya, Sang Buddha menolak dan menanyakan apa yang dapat Beliau lakukan untuknya.

"Baiklah Yang Mulia, saya akan mengajukan sebuah pertanyaan," kata Yakkha Alavaka.
Sudah menjadi kebiasaan Yakkha Alavaka untuk menangkap para pertapa dan bhikkhu yang datang ke tempat kediamannya dan bertanya kepada mereka, jadi ia berpikir ia akan melakukan hal yang sama terhadap Sang Buddha.

Lalu ia berkata :

"Apabila Anda tidak mau menjawab pertanyaan saya, saya akan mengacaukan pikiran Anda, atau membelah jantung Anda, atau memegang kedua kaki dan melemparkan Anda ke seberang Sungai Gangga."

Sang Buddha menjawab :

"Tidak saudara, Saya melihat tidak ada satupun mahluk di dunia ini maupun di alam dewa, di alam Brahma, para pertapa, brahmana, para dewa dan manusia yang dapat mengacaukan pikiran Saya, membelah jantung ataupun memegang ke dua kaki dan melemparkan Saya ke seberang Sungai Gangga. Tetapi saudara, tanyakanlah yang ingin kamu ketahui."

Yakkha Alavaka kemudian menanyakan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

"Apakah milik manusia yang paling berharga?
Praktek apakah yang membawa kebahagiaan?
Apakah yang paling manis dari semua rasa?
Bagaimana cara yang terbaik dalam menjalani kehidupan ini?"

Sang Buddha menjawab:

"Keyakinan adalah milik manusia yang paling berharga.
Dhamma yang dipraktekkan dengan benar akan menghasilkan kebahagiaan.
Kebenaran adalah yang termanis dari semua rasa.
Kehidupan yang dijalani dengan pengertian adalah yang terbaik."

Kemudian Yakkha Alavaka bertanya lagi :

"Bagaimanakah seseorang menyeberangi arus?
Bagaimanakah seseorang menyeberangi laut?
Bagaimanakah seseorang mengatasi penderitaan?
Bagaimanakah seseorang disucikan?"

Yang Maha Sempurna menjawab :

"Dengan keyakinan seseorang menyeberangi arus.
Dengan perhatian benar seseorang menyeberangi laut.
Dengan usaha seseorang mengatasi penderitaan.
Dengan kebijaksanaan seseorang disucikan.

Yakkha Alavaka bertanya kembali :

"Bagaimanakah kebijaksanaan diperoleh?
Bagaimanakah kekayaan didapatkan?
Bagaimanakah ketenaran diperoleh?
Bagaimanakah mempererat persahabatan?
Ketika meninggalkan dunia ini menuju ke dunia lain, bagaimana agar orang tidak bersedih?"

Sang Guru Agung menjawab :

"Orang yang memiliki keyakinan, perhatian dan pandai memperoleh kebijaksanaan dengan mendengarkan Dhamma dari Para Suci, Yang membimbing ke Nibbana. Dia yang melaksanakan apa yang pantas dilaksanakan, tidak tergoyahkan dan giat berusaha, memperoleh kekayaan. Dengan kebenaran seseorang memperoleh ketenaran. Kedermawanan mempererat persahabatan.

Perumah tangga setia yang memiliki keempat kebajikan ini : kejujuran, moral yang baik, semangat dan kedermawanan, tidak akan menderita setelah meninggal dunia. Tanyakanlah kepada para pertapa dan brahmana yang lain, apakah ada yang lebih hebat dari pada kejujuran, pengendalian diri, kedermawanan dan kesabaran."

Setelah mengerti dengan baik maksud dari sabda Sang Buddha, Yakkha Alavaka berkata :
"Yang Mulia, bagaimana saya dapat bertanya kepada para pertapa dan brahmana yang lain? Hari ini saya telah mengetahui rahasia dari kebahagiaan saya di masa yang akan datang. Untuk kebaikan saya sendiri, Sang Tathagata telah datang ke Avali.

Hari ini telah saya ketahui di mana timbunan jasa yang menghasilkan buah yang berlimpah. Dari desa ke desa, dari kota ke kota, saya akan mengembara memberikan penghormatan kepada yang Maha Sempurna dan kepada Dhamma Yang Mulia."

Pada saat Yakkha Alavaka mengucapkan hal ini, Pangeran Alava sedang diantarkan ke tempat kediamannya. Ketika para pengawal mendengarkan kata "Sadhu", mereka mengetahui bahwa kata ini tidak pernah diucapkan kecuali di hadapan Sang Buddha, oleh karena itu mereka mendekat tanpa rasa takut.

Ketika memasuki tempat kediaman Yakkha Alavaka, mereka melihat Yakkha Alavaka sedang bernamaskara, menghormat kepada Sang Buddha. Para pengawal mengatakan bahwa hari ini mereka datang untuk membawa Pangeran Alava yang akan dipersembahkan sebagai korban kepada Yakkha Alavaka, ia dapat memakan dagingnya dan meminum darahnya atau melakukan apa saja yang diinginkannya.

Yakkha Alavaka merasa amat malu mendengar pernyataan ini, ia lalu mempersembahkan Pangeran kepada Sang Buddha. Sang Guru Agung memberkati Pangeran Alava dan menyerahkannya kembali kepada para pengawal yang menyambutnya dengan sukacita. Sejak saat itu Pangeran Alava diberi nama Hatthalavaka.

Penduduk desa amat ketakutan ketika melihat Pangeran Alava dibawa pulang kembali ke istana. Ketika mereka mendengar apa yang telah terjadi, mereka serentak berseru :
"Sadhu, Sadhu, Sadhu."

Kemudian Sang Buddha meninggalkan tempat kediaman Yakkha Alavaka, pergi ke desa untuk berpindapatta. Setelah Sang Buddha selesai bersantap, Beliau duduk di bawah pohon. Raja dan para penduduk berduyun-duyun menemui dan memberikan hormatnya dengan bernamaskara. Sang Guru Agung menjelaskan kepada mereka tentang Alava Sutta, yang menyebabkan ribuan di antara mereka mencapai Tingkat Kesucian.

Ketika Pangeran Alava dewasa, ayahnya memberitahukan bahwa ia diselamatkan dari kematian oleh Sang Buddha, maka ia harus pergi menemui, memberikan hormat dan melayani Beliau. Pangeran melakukan apa yang dikatakan oleh ayahnya dan bersama dengan lima ratus orang pengikutnya mencapai tingkat kesucian.

salam ceria...

Menaklukkan Dewa Brahma Baka


Duggahaditthi bhujagena sudattha hattham
Brahmam visudhi jutimiddhi bakabhidhanam
Nanagadena vidhina jitava munindo
Tan tejasa bhavatu te jayamangalani

Bagaikan ular yang melilit pada lengan,
Demikian pandangan salah dimiliki oleh Baka, Dewa Brahma yang memiliki sinar dan kekuatan
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan obat pengetahuan
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna

Ketika Sang Buddha sedang bersemayam di Vihara Jetavana, Beliau mengetahui bahwa Dewa Brahma Baka, mempunyai pandangan yang salah. Ia berpendapat bahwa Brahma-loka (=Alam Brahma) adalah kekal, tetap untuk selama-lamanya, abadi, tidak berubah; selain di alam Brahma tidak ada penyelamatan atau pembebasan secara menyeluruh.

Di dalam kelahirannya yang terdahulu, Dewa Brahma Baka yang berlatih meditasi, terlahir kembali di Surga Vehapphala. Beliau berada di sana selama lima ratus kalpa 2), lalu terlahir kembali di Surga Subhakinna. Sesudah berada di sana selama enam puluh empat kalpa, ia terlahir kembali di Surga Abhassara, di sana ia berada selama delapan kalpa.

Di Surga Abhassara inilah ia mempunyai pandangan salah. Ia lupa bahwa ia pindah dari Alam Brahma yang tertinggi dan terlahir di Alam Surga yang lebih rendah yaitu Surga Abhassara.

Sang Buddha mengetahui pandangan yang salah ini. Beliau lalu menghilang dari Vihara Jetavana dan muncul di Alam Brahma. Vasavatti Mara mengetahui maksud Sang Guru Agung ini; dan ia berniat untuk menghalangi, ia lalu pergi ke Alam Brahma yang sama.

Ketika Sang Buddha mulai berbicara dengan Dewa Brahma Baka, Mara menyela pembicaraan dengan mengatakan bahwa Dewa Brahma Baka amat bijaksana dan mempunyai kekuatan terhadap Dewa Brahma lainnya.

Bahwa ialah yang menciptakan dunia ini, menciptakan Gunung Maha Meru (nama gunung tertinggi di dunia ini), dan menciptakan dunia-dunia lain; ia pula yang menentukan kasta atau tingkatan suatu mahluk; ia pula yang menciptakan bermacam-macam binatang.

Mara berkata kepada Sang Buddha :

"Tidak ada seorang pertapapun sebelum Kamu yang berpikir bahwa dunia ini tidak abadi. Dan sesudah mempelajari bahwa segala sesuatu itu tidak abadi, mereka langsung masuk ke neraka. Ada beberapa Dewa Brahma yang menyangkal hal ini, mereka menyatakan bahwa segala sesuatu adalah abadi, maka mereka terlahir kembali di Alam Brahma.

Karena itu, lebih baik Kamu mengajarkan hal yang sama, seperti yang para Dewa Brahma lakukan. Saya memberiMu nasehat ini, kalau Kamu mengajarkan doktrin yang sama, maka Kamu akan memperoleh hadiah yang sama pula; tetapi kalau Kamu menyangkalnya maka Kamu akan hancur."

Tetapi Sang Buddha menjawab :

"Saya tahu siapa kamu ini. Kamu adalah Mara si Penggoda, janganlah kamu berpikir kamu dapat mengelabuiKu."

Kemudian Dewa Brahma Baka berkata bahwa Alam Brahma selalu ada, di mana tidak ada kehancuran ataupun kematian. Tidak ada perpindahan dari satu alam ke alam lain; segala sesuatunya selalu kekal, tetap, abadi, mutlak dan tidak berubah; selain di Alam Brahma tidak ada keselamatan.

Dan banyak Para Buddha sebelum Buddha Gotama, kemanakah mereka lenyap? Tidak ada seorangpun yang dapat mengatakan mereka pergi kemana; dan akan lebih baik apabila Buddha Gotama merasa malu dengan doktrinNya, dan lebih baik menerima doktrin yang sama dengan para Dewa Brahma.

Tetapi Sang Buddha Gotama memperlihatkan kemampuanNya yang luar biasa kepada Dewa Brahma Baka, dengan menjelaskan tentang enam kelahiran Dewa Brahma Baka yang terdahulu, dimana Beliau sendiri menghilang tanpa diketahui berada di mana.
Sang Buddha lalu menjelaskan :

Dalam salah satu kelahirannya, Dewa Brahma Baka adalah seorang pertapa yang bertempat tinggal di tepi sungai. Pada waktu itu, ada lima ratus orang pedagang datang dengan membawa keretanya ke tempat yang sama pula, mereka amat sopan dan ramah. Tidak lama kemudian, sapi jantan pertama yang menarik kereta, pulang kembali ke rumah dan diikuti sapi-sapi jantan lainnya.

Keesokan paginya, para pedagang itu tidak mempunyai minyak, makanan ataupun air minum, mereka amat kelaparan dan kehausan. Mereka amat lemas, hanya berbaring saja dengan berpikir mereka akan mati di sana. Tetapi pertapa yang melihat mereka dalam kesulitan membawakan air minum, sehingga para pedagang itu selamat dari kematian.

Pada lain waktu, beberapa pencuri mencuri di suatu desa, mereka mengambil barang yang mereka sukai. Si Pertapa yang mengetahui perbuatan para pencuri itu, lalu menciptakan suara-suara dari barang-barang yang mereka curi itu, dalam lima tangga nada yang cukup keras, sehingga para pencuri itu terkejut dan membuang barang-barang yang mereka curi.

Dengan ketakutan mereka melarikan diri, karena mengira raja datang. Pada kesempatan lain, penduduk dari dua desa yang bersisian di tepi sebuah sungai setuju pergi bersama-sama naik sebuah kapal untuk berdagang. Kepergian mereka diketahui oleh Naga jahat yang berniat ingin menghancurkan mereka, tetapi pertapa yang mengetahui niat jahat Naga itu lalu menampakkan dirinya sebagai garuda raksasa.

Garuda itu menakut-nakuti dan menyerang Naga jahat itu, sehingga Naga tersebut terbang ketakutan tanpa menyentuh para pedagang. Mereka selamat dari mara bahaya.
Karena tindakan-tindakannya yang penuh dengan cinta kasih kepada mahluk lain inilah, yang menyebabkan pertapa itu terlahir kembali di Alam Brahma.

Sang Buddha Gotama menunjukkan kemampuanNya yang luar biasa sebagai seorang Buddha dalam membabarkan Dhamma, menjelaskan tentang Empat Kesunyataan Mulia. Sehingga pada akhirnya pikiran dari seribu dewa di Alam Brahma terbebas dari kemelekatan dan pandangan keliru.

Dewa Brahma Baka mengakui bahwa apa yang Sang Buddha Gotama katakan adalah benar, dan mengakui pengetahuan Sang Guru Agung yang luar biasa, sehingga ia menyatakan diri berlindung kepada Sang Tri Ratna, demikian pula para Dewa Brahma lainnya. Sang Buddha lalu pulang kembali dari Alam Brahma ke Vihara Jetavana.

salam ceria...
maaf sxlg maaf © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute