Sabtu, 19 November 2011

PENYIKSAAN DIRI (DUKKARACARIYA) SELAMA ENAM TAHUN

BODDHISATTA MENGUNJUNGI URUVELA DAN MEMPRAKTIKKAN PENYIKSAAN DIRI (DUKKARACARIYA) SELAMA ENAM TAHUN

Boddhisatta tiba di Uruvela Senanigama dan mulai mempraktikkan praktik penyiksaan diri

Setelah meninggalkan Udaka, si pemimpin aliran, Bodhisatta bepergian di Negeri Magadha dalam usaha mencapai Nibbàna dan akhirnya tiba di Kota Sena. Di dekat Kota Sena terdapat sebuah hutan bernama Uruvelà. Hutan yang kondisi tanahnya secara alamiah menyenangkan hati orang-orang bijak dan mulia; hutan itu sendiri sangat indah; Sungai Neranjarà memiliki pantai yang menarik, bebas dari lumpur dan sampah; dengan pasir-pasir pantainya yang bagaikan lembaran-lembaran perak yang membentang; dengan arus yang jernih dan bersih penuh dengan ikan-ikan dan kura-kura, sungai tersebut mengalir terus-menerus; terdapat sebuah desa kecil di mana petapa-petapa hutan berdiam dan mengumpulkan dàna makanan. Ketika Bodhisatta melihat situasi ini, Beliau memerhatikan dengan saksama, dan muncul pikiran, “Ini adalah tempat yang tepat untuk putra-putra dari keluarga-keluarga yang baik yang mencari Nibbàna untuk mempraktikkan meditasi.”

Selanjutnya, Beliau membangun sebuah tempat tinggal kecil dari kayu-kayu kering dan daun-daunan dan tinggal di dalam Hutan Uruvelà tersebut dan berlatih meditasi.
TIGA PERUMPAMAAN UNTUK BODDHISATTA
Memulai Praktik Dukkaracariya
Memulai Praktik Dukkaracariya

Kemudian muncul dalam pikiran Bodhisatta tiga perumpamaan sebagai berikut:
(1) Untuk membuat api, sekeras apa pun seseorang menggosokkan kayu api dengan sepotong kayu api yang basah yang direndam dalam air, ia tidak akan dapat menghasilkan api dan hanya akan mengalami penderitaan karena kegagalan. Demikian pula di dunia ini, mereka yang disebut petapa dan brahmana yang masih memiliki nafsu indria yang basah dan belum dikeringkan dan yang belum menghindari diri dari objek-objek indria atau tidak dapat menembus Jalan dan Buahnya, hanya akan mendapat penderitaan sekeras apa pun mereka berusaha untuk melenyapkan kotoran batin. Ini adalah perumpamaan pertama sehubungan dengan Bodhisatta.

(2) Untuk membuat api, sekeras apa pun seseorang menggosok kayu api dengan sepotong kayu api yang basah yang meskipun jauh dari air, ia tetap tidak bisa menyalakan api karena kayu yang basah itu; sebaliknya ia justru akan menjadi menderita. Demikian pula di dunia ini, mereka yang disebut petapa dan brahmana yang masih memiliki unsur-unsur menipu berupa objek-objek indria yang belum dikeringkan tidak akan menembus Jalan dan Buahnya namun hanya akan menjadi lebih menderita sekeras apa pun mereka berusaha menjauhkan diri dari air objek-objek indria secara fisik maupun batin. Ini adalah perumpamaan kedua sehubungan dengan Bodhisatta.

(3) Untuk membuat api, jika seseorang menggosok sepotong kayu dengan kayu kering yang jauh dari air, ia akan dengan mudah menyalakan api karena kayu itu berada di daratan yang jauh dari air dan kering. Demikian pula di dunia ini mereka yang disebut petapa dan brahmana yang nafsu-nafsu indria telah kering dan telah menjauhkan diri dari objek-objek indria secara fisik maupun batin dapat menembus Jalan dan Buahnya jika mereka mempraktikkan cara pertapaan yang benar, sulit maupun mudah. Ini adalah perumpamaan ketiga sehubungan dengan Bodhisatta. (Perumpamaan ini harus dipahami dengan cara yang dijelaskan sebelumnya. Perumpamaan ini menjelaskan pertapaan yang dijalankan oleh Bodhisatta sendiri.)


KELOMPOK LIMA PETAPA DATANG DAN MELAYANI BODDHISATTA
Boddhisatta mempraktikkan dukkaracariya ditemani 5 petapa disaksikan
Boddhisatta mempraktikkan dukkaracariya ditemani 5 petapa disaksikan

Kelompok lima petapa yang telah menjalani hidup bertapa bahkan sejak kelahiran Bodhisatta seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bertanya-tanya apakah Bodhisatta Pangeran telah melepaskan keduniawian dan menjadi petapa atau belum; mendengar bahwa Bodhisatta telah menjadi petapa mereka mulai mengunjungi desa-desa, kota-kota, dan lain-lain satu demi satu, untuk mencari Bodhisatta dan akhirnya bertemu di Hutan Uruvelà. Berharap bahwa “Tidak lama lagi, Beliau akan menjadi seorang Buddha! Tidak lama lagi Beliau akan menjadi seorang Buddha!” Mereka melayani-Nya dalam menjalani penyiksaan diri (dukkaracariya) selama enam tahun; mereka bergerak ke sana ke sini memenuhi kewajiban mereka seperti menyapu, mengambil air panas, dingin, dan lain-lain.

PRAKTIK DUKKARACARIYA BODDHISATTA, USAHA YANG KERASA

Usaha keras ini dijelaskan dalam empat tingkat yaitu (1) “Meskipun yang tersisa tinggal kulit,” (2) “Meskipun yang tersisa tinggal urat,” (3) “Meskipun yang tersisa tinggal tulang,” dan (4) “Meskipun daging dan darah-Ku menguap yang disebut padhàna-viriya. Praktik yang akan dijelaskan ini disebut Usaha Keras (padhàna) yang dilakukan dengan padhàna-viriya. Praktik ini juga disebut dukkaracariya karena sulit bagi orang-orang biasa untuk menjalaninya.

(a) Setelah mengunjungi Kota Senà untuk mengumpulkan dàna makanan, Bodhisatta menghabiskan waktu berhari-hari berlatih meditasi untuk mengembangkan cinta kasih (Mettà-bhavanà). Kemudian Beliau berpikir, “Apa untungnya bagi-Ku bergantung dengan makanan-makanan kasar ini? Dengan memakan makanan demi kepuasan-Ku dan mengembangkan cinta kasih, Aku tidak akan mencapai Kebuddhaan yang menjadi tujuan-Ku.” Kemudian Beliau berhenti mengumpulkan dàna makanan dan hidup hanya dari buah-buahan yang besar maupun kecil yang jatuh dari atas pohon di Hutan Uruvelà. Tidak berhasil mencapai Kebuddhaan dengan cara demikian, Beliau berpikir lagi, “Makanan ini yang berupa buah-buahan besar maupun kecil juga masih kasar. Mencari-cari buah-buahan merupakan rintangan (palibodha).” Selanjutnya Beliau bertahan hidup hanya dengan buah yang jatuh dari pohon tempat di mana Beliau tinggal.

(b) Kemudian Bodhisatta mempertimbangkan, “Adalah baik jika Aku menggemeretakkan gigi dan mendecakkan lidah.” Untuk menekan kesadaran-kesadaran yang tidak baik yang berhubungan dengan pikiran-pikiran buruk, misalnya nafsu-nafsu indria dan lain-lain, dengan kesadaran yang baik yang berhubungan dengan pikiran yang baik pula. “Adalah lebih baik lagi jika Aku melenyapkannya. Lebih baik lagi jika Aku menghilangkannya dengan api semangat.” Demikianlah Beliau menggemeretakkan gigi dan mendecakkan lidah untuk menekan kesadaran-kesadaran yang tidak baik dengan kesadaran yang baik. Beliau tidak membiarkannya muncul tapi melenyapkannya. Beliau melenyapkannya dari dalam diri-Nya melalui api semangat. Keringat bercucuran dari ketiak-Nya. Misalnya, seperti keringat yang bercucuran dari ketiak seorang yang lemah ketika seseorang yang kuat mencengkeram kepala atau bahunya dan menekannya ke bawah. Pada waktu itu usaha Bodhisatta sangatlah besar, tidak berkurang sama sekali. Perhatian-Nya sangat jernih dan kokoh, tidak pernah sekalipun Beliau kehilangan perhatian-Nya. Namun usaha-Nya yang keras itu berlangsung terus menerus, hingga seluruh tubuh-Nya menjadi panas dan tidak tertahankan. Meskipun Beliau terus menerus dalam situasi yang menyedihkan, kemauan-Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.

(c) Kemudian Bodhisatta berpikir, “Akan lebih baik jika Aku mengembangkan Appanàka-Jhàna, dengan tidak menarik napas atau mengeluarkan napas.” Jadi, dengan usaha yang terus menerus Beliau menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut atau hidung sehingga udara tidak dapat masuk atau keluar. Kemudian udara terkumpul dan keluar melalui telinga, melalui mulut, dan hidung. Bunyi yang dihasilkan oleh angin yang keluar itu sangat keras bagaikan suara ketel air mendidih. Pada waktu itu usaha Bodhisatta sangatlah keras, tidak berkurang sama sekali, perhatian-Nya sangat jernih dan kokoh, tidak pernah sekalipun Beliau kehilangan perhatian-Nya. Namun usaha-Nya yang sangat keras itu berlangsung terus menerus, hingga seluruh tubuh-Nya menjadi panas dan tidak tertahankan. Meskipun Beliau terus menerus dalam situasi yang menyedihkan, kemauan-Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.

(d) Kemudian Bodhisatta berpikir, “Lebih baik jika Aku mengembangkan Appanàka-Jhàna.” Jadi dengan usaha terus menerus Beliau menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut, hidung, dan telinga. Karena tidak dapat keluar melalui mulut, hidung, dan telinga, udara memaksa keluar menembus kepala. Misalnya, seperti seorang yang kuat melubangi kepala dengan bor yang tajam. Bahkan pada saat itu, semangat-Nya masih sebesar sebelumnya, tidak menurun sama sekali. Perhatian-Nya juga masih kokoh dan jernih, tidak pernah kehilangan perhatian-Nya. Namun usaha-Nya yang sangat keras itu berlangsung terus menerus, hingga seluruh tubuh-Nya menjadi panas dan tidak tertahankan. Meskipun Beliau terus menerus dalam situasi yang menyedihkan, kemauan-Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.

(e) Selanjutnya Bodhisatta berpikir, “Lebih baik jika Aku mengembangkan Appanàka-Jhàna.” Jadi dengan usaha terus menerus Beliau menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut, hidung, dan telinga. Pada saat itu angin keras mendesak keluar dari kepala-Nya dan akhirnya Beliau menderita sakit kepala yang dahsyat, seperti seseorang yang menderita sakit kepala karena kepalanya diikat dengan tali kulit oleh seorang yang kuat. (Anda, para pembaca, bayangkan seseorang yang sangat kuat melingkari kepala Anda dengan tali kulit dan dengan sebatang tongkat yang diputar untuk mengencangkan ikatan tali itu. Seperti itulah.) Pada waktu itu juga, semangat-Nya masih sama seperti sebelumnya tidak berkurang sedikit pun, perhatian-Nya sangat jernih dan kokoh, tidak pernah sekalipun Beliau kehilangan perhatian-Nya. Namun usaha-Nya yang sangat keras itu berlangsung terus menerus, hingga seluruh tubuh-Nya menjadi panas dan tidak tertahankan. Meskipun Beliau terus menerus dalam situasi yang menyedihkan, kemauan-Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.

(f) Lagi, Bodhisatta berpikir, “Lebih baik jika Aku mengembangkan Appanàka-Jhàna.” Jadi dengan usaha terus menerus Beliau menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut, hidung, dan telinga seperti sebelumnya. Dan pada saat itu angin yang sangat kuat melukai seolah-olah menerobos keluar. Seperti seorang tukang daging yang ahli membelah perut dengan pisau daging yang tajam. Pada waktu itu juga, semangat-Nya masih sama seperti sebelumnya tidak berkurang sedikit pun, perhatian-Nya sangat jernih dan kokoh, tidak pernah sekalipun Beliau kehilangan perhatian-Nya. Namun usaha-Nya sangat keras itu berlangsung terus menerus, hingga seluruh tubuh-Nya menjadi panas dan tidak tertahankan. Meskipun Beliau terus menerus dalam situasi yang menyedihkan, kemauan- Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.

(g) Sekali lagi, Bodhisatta berpikir, “Adalah lebih baik jika Aku mengembangkan Appanàka-Jhàna.” Jadi dengan usaha terus menerus Beliau menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut, hidung, dan telinga seperti sebelumnya. Dan pada saat itu seluruh tubuh-Nya mengalami dàharoga (luka bakar) yang sangat parah seperti luka yang diderita oleh seorang yang lemah dibakar di dalam api yang berkobar-kobar oleh dua orang kuat yang masing-masing memegang lengan kanan dan kirinya. Pada waktu itu seluruh tubuh Bodhisatta panas terbakar. Pada waktu itu semangat-Nya tidak berkurang sedikit pun, tapi tetap kuat seperti sebelumnya. Perhatian-Nya juga masih jernih dan kokoh. Sehubungan dengan luka yang diderita-Nya (padhàna) Beliau tidak mendapatkan kedamaian. Namun demikian keinginan-Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.

BODDHISATTA PINGSAN DAN JATUH TERDUDUK SELAGI BERJALAN

Mengalami panas yang luar biasa di seluruh tubuh-Nya, Bodhisatta pingsan dan jatuh terduduk selagi berjalan. (Beliau tidak jatuh terjerembab seperti orang pada umumnya. Karena Beliau memiliki perhatian yang sangat kuat, Beliau hanya jatuh terduduk). Ketika Bodhisatta jatuh dalam posisi demikian, para dewa yang berada di dekat sana mengucapkan tiga pendapat:
(1) Para dewa berkata, “Samana Gotama telah mati.”
(2) Beberapa dewa lain berkata, “Samana Gotama belum mati. Beliau sekarat.”
(3) Beberapa dewa lain berkata, “Samana Gotama tidak mati ataupun sekarat; Samana Gotama telah menjadi Arahanta; dalam postur demikianlah biasanya seorang Arahanta duduk.”

Di antara pada dewa yang berkomentar. Mereka yang mengatakan “Samana Gotama telah mati” pergi menemui Raja Suddhodana dan memberitahukan, “Putramu telah mati.” Sewaktu raja bertanya, “Apakah putraku mati sebelum atau sesudah mencapai Kebuddhaan?” Mereka menjawab, “Putramu tidak berkesempatan menjadi Buddha; dalam usahanya Beliau terjatuh dan mati pada saat berjalan.” “Aku tidak memercayai kata-katamu. Sebelum mencapai Kebuddhaan, anakku tidak mungkin mati” jawab raja.

BODDHISATTA MENGURANGI MAKANAN-NYA HINGGA KURUS KERING

Ketika Beliau bangun dari pingsan-Nya. Bodhisatta berpikir, “Adalah lebih baik jika Aku berlatih tanpa memakan makanan sama sekali.” Dan pada waktu itu para dewa berkata kepada-Nya, Oh, Bodhisatta, Samana Mulia! Jangan tidak makan sama sekali. Oh, Bodhisatta, Samana Mulia! Jika Engkau tidak makan sama sekali, kami akan memasukkan makanan dewa melalui pori-pori-Mu. Dan dengan makanan itu Engkau akan tetap hidup.” Kemudian Bodhisatta berpikir lagi, “Jika Aku tidak makan sama sekali dan jika para dewa memberikan makanan melalui pori-pori-Ku, dan jika Aku tetap hidup meskipun Aku menyatakan Aku berpuasa secara total, hidup-Ku dengan makanan dewa ini akan melawan diri-Ku sendiri sehingga menjadi saling berlawanan,” Kemudian Beliau berkata kepada para dewa, “Oh, dewa, jangan memasukkan makanan dewa melalui pori-pori-Ku. Aku akan makan secukupnya untuk hanya mempertahankan hidup-Ku.”

Sejak saat itu, Bodhisatta tidak lagi berpuasa total tetapi makan sedikit demi sedikit. Untuk makan selama satu hari kadang-kadang Ia mengambil segenggam nasi, kadang-kadang sesuap sup kacang, segenggam bubur, dan sesuap sup ercis.
Dengan memakan hanya makanan demikian, bentuk tubuh Bodhisatta terlihat sangat kurus dan lemah.
Boddhisatta menyiksa diri hingga tubuh-Nya kurus kering
Boddhisatta menyiksa diri hingga tubuh-Nya kurus kering

Karena Bodhisatta hanya makan sangat sedikit makanan, bagian tubuh-Nya yang besar maupun kecil menonjol di tiap-tiap sendi tulang-Nya dan kurus serta seperti ditekan pada bagian-bagian lainnya seperti buku-buku tanaman menjalar àsitika dan kàla.
Bokong Bodhisatta bagaikan kuku unta dengan anus yang seperti ditekan.
Punggung-Nya (tulang punggung) Bodhisatta menonjol keluar dan menjorok ke dalam seperti butiran tasbih.
Daging di antara tulang-tulang rusuk-Nya menjorok ke dalam memperlihatkan pemandangan yang sangat menakutkan seperti rangka atap rumah seorang petapa.
Bola mata-Nya juga terlihat menjorok ke dalam rongga mata-Nya seperti gelembung-gelembung air dari mata air yang dalam.
Kulit kepala-Nya keriput dan kering bagaikan buah labu yang dijemur.
Kulit perut-Nya menempel ke tulang punggung-Nya, tulang punggung-Nya dapat terasa jika kulit perut-Nya disentuh, dan kulit perut-Nya dapat dirasakan kalau tulang punggung disentuh.

Ketika duduk untuk menjawab panggilan alam (buang air), air seni tidak keluar seluruhnya karena tidak tersedia cukup cairan di dalam perut-Nya untuk diubah menjadi air seni. Sedangkan tinja-Nya, berupa satu atau dua bola keras seukuran biji kacang yang dikeluarkan dengan susah payah. Keringat bercucuran di sekujur tubuh-Nya. Dia jatuh di tempat itu juga dengan wajah tertelungkup.

Ketika Bodhisatta mengusap tubuh-Nya dengan tangan untuk mendapatkan perasaan nyaman, bulu-bulu badan-Nya, yang akarnya tidak pernah mendapatkan nutrisi dari daging dan darah-Nya, berguguran dari tubuh-Nya dan menempel di tangan-Nya.

Warna kulit Bodhisatta yang kuning cerah seperti warna emas murni, siïginikkha. Namun bagi mereka yang melihat-Nya selama Beliau menjalani penyiksaan diri, beberapa orang berkata, “Samana Gotama berkulit hitam.” Beberapa orang berkata, “Samana Gotama bukan berkulit hitam, Ia berkulit cokelat.” Beberapa orang lain lagi mengatakan, “Samana Gotama bukan berkulit hitam atau cokelat, kulitnya berwarna abu-abu seperti ikan lele.”


MARA DATANG DAN BERPURA-PURA BAIK UNTUK MENCEGAH BODDHISATTA

Bahkan pada waktu Bodhisatta pergi melepaskan keduniawian, Màra mencoba mencegah-Nya dengan mengatakan, “Oh, Pangeran Siddhattha, pada hari ketujuh sejak hari ini roda pusaka akan muncul. Jangan pergi.” Tetapi Bodhisatta menjawab dengan tegas, “Oh, Màra, Aku tahu bahwa roda pusaka akan datang kepada-Ku. Tetapi, Aku tidak ingin menjadi raja dunia. Pergilah Engkau! Jangan datang lagi! Aku akan berusaha mencapai Kebuddhaan, dan mengguncangkan sepuluh ribu alam semesta.” Sejak saat itu, Màra mengikuti Bodhisatta selama enam tahun mencari kesempatan untuk menyingkirkan-Nya dengan pikiran, “Jika pikiran-pikiran indria kàma vitakka atau pikiran-pikiran kebencian vyàpàda vitakka, atau pikiran-pikiran kejam vihiÿsà vitakka, muncul dalam batin-Nya, aku akan membunuh-Nya pada saat itu juga.”

Namun sampai saat ini, selama enam tahun, Màra tidak berhasil menemukan pikiran-pikiran seperti ini dalam diri Bodhisatta.

Setelah enam tahun berlalu, Màra berpikir, “Pangeran Siddhattha memiliki semangat yang sangat tinggi. Dukkaracariya yang Beliau praktikkan juga sangat keras. Setiap saat Beliau dapat menjadi Buddha. Bagaimana jika aku mendekati-Nya dan memberikan nasihat, supaya Beliau berhenti latihan.” Kemudian Màra mendekati Bodhisatta dan menasihati-Nya. (Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, Buddha memberikan khotbah kepada para bhikkhu, khotbah yang berjudul Padhàna Sutta, menjelaskan bagaimana Màra membujuk-Nya dengan cara berpura-pura baik dan bagaimana Bodhisatta dengan tegas mengusirnya.)

Mendekati Bodhisatta yang terus menerus mengembangkan appànaka Jhàna di Hutan Uruvelà di dekat Neranjarà dengan cita-cita mencapai Nibbàna, Màra berkata:

“O Sahabatkku Pangeran Siddhattha, seluruh tubuh-Mu begitu kurus karena kehilangan daging dan darah. Kecantikan dan warna kulitnya telah memudar. Kematian-Mu telah mendekat; kesempatan untuk tetap hidup sangatlah kecil, hanya satu dibandingkan seribu. O Pangeran Siddhattha, mohon Engkau menjaga diri-Mu sehingga Engkau dapat berumur panjang. Umur yang panjang adalah hal yang paling berharga. Jika Engkau berumur panjang. Engkau dapat banyak melakukan kebajikan. Engkau dapat mengembangkan kebajikan dengan menjalani sãla atau melakukan upacara-upacara pengorbanan. Apalah gunanya menjalani hidup seperti ini di dalam hutan dan mempraktikkan penyiksaan diri dengan begitu menderita dan begitu lemah tanpa mengetahui apakah Engkau dapat bertahan hidup atau mati. (Tidak ada manfaatnya bagi-Mu). Untuk mencapai tujuan-Mu, Nibbàna, cara-cara tradisional sangat sulit dijalani; dan tidaklah layak menjalani jalan seperti itu.”

Demikianlah Màra berkata, terlihat seolah-olah penuh welas asih, seolah-olah ia berniat baik kepada Bodhisatta, dan seolah-olah ia mengasihani Bodhisatta. (Orang biasa pasti termakan oleh bujukan Màra.)

Namun, mendengarkan kata-kata yang penuh welas asih dari Màra, Bodhisatta berkata dengan tegas kepada Màra; sebagai berikut:
“Wahai Màra, Engkau yang mengikat para makhluk—dewa, brahmà, dan manusia—agar mereka tidak dapat terbebaskan dari samsàra! Engkau datang demi keuntunganmu pribadi dan dengan maksud-maksud tersembunyi bertujuan untuk mengganggu dan mencelakakan makhluk-makhluk lain.” (Dengan kata-kata ini Bodhisatta mengusir Màra yang bermaksud jahat terhadap-Nya.)

“Aku tidak berkeinginan sedikit pun untuk melakukan kebajikan-kebajikan yang mengarah kepada lingkaran penderitaan, vattagàmi. Engkau boleh berkata begitu kepada mereka yang menginginkan jasa-jasa vattagàmi. (Dengan kata-kata ini Bodhisatta menjawab pernyataan Màra, “Jika Engkau berumur panjang, Engkau dapat melakukan banyak kebajikan.)

“Wahai Màra, ada makhluk-makhluk yang tidak memiliki keyakinan (saddhà) sama sekali terhadap Nibbàna; ada yang memiliki keyakinan tetapi usahanya (viriya) lemah; ada yang memiliki keyakinan dan usaha yang kuat tetapi tidak memiliki kebijaksanaan (pannà), Engkau sebaiknya berbicara kepada mereka dan mendorong mereka untuk berumur panjang. Sedangkan Aku, Aku memiliki keyakinan bahwa, jika Aku berusaha keras, Aku akan mencapai Nibbàna bahkan dalam kehidupan ini juga ketika jasmani-Ku lenyap. Aku memiliki api semangat yang berkobar-kobar yang mampu membakar rumput-rumput kering dan sampah-sampah kotoran batin menjadi abu. Aku memiliki kebijaksanaan yang seperti bom milik Sakka yang dapat menghancurkan gunung karang kebodohan (avijjà) menjadi berkeping-keping. Aku juga memiliki perhatian (sati) dan konsentrasi (samàdhi), perhatian yang memungkinkan Aku untuk menjadi Buddha yang tidak lupa akan apa yang pernah dilakukan dan diucapkan di waktu-waktu lalu; dan konsentrasi yang tetap berdiri kokoh dalam menghadapi angin badai, bagaikan pilar batu berukir yang tidak tergoyahkan oleh badai.

Dengan memiliki lima kualitas, Aku akan mencapai pantai seberang Nibbàna. Aku bekerja keras bahkan dengan mempertaruhkan hidup-Ku. Kepada orang seperti Aku, untuk apakah Engkau membicarakan mengenai umur panjang dan untuk apa membujuk-Ku untuk hidup lebih lama? Sebenarnya, tidak ada gunanya hidup bahkan selama satu hari sebagai manusia bagi mereka yang berusaha dengan rajin dan tidak pernah menyerah, yang memiliki Pandangan Cerah melalui Appanà samàdhi dan yang melihat dengan jelas timbul dan lenyapnya kelompok-kelompok jasmani dan batin.”
(Dengan kata-kata ini Bodhisatta melawan Màra yang menakut-nakuti-Nya dengan mengatakan, “O Pangeran Siddhattha, kematian-Mu sudah mendekat, kesempatan-Mu untuk tetap hidup sangatlah kecil, hanya seperseribu.)

“Wahai Màra. Angin di dalam tubuh-Ku ini yang disebabkan oleh latihan appànaka Jhàna mampu mengeringkan air di Sungai Gangà, Yamunà, dan lain-lain, bagaimana mungkin tidak dapat mengeringkan sedikit darah di dalam diri-Ku, dengan pikiran yang terpusat ke Nibbàna? Sebenarnya, cukup kuat untuk mengeringkannya. Ketika darah dalam tubuh-Ku, yang banyaknya kira-kira empat ambana, mengering karena tiupan angin dalam latihan meditasi untuk mencapai Nibbàna, cairan-cairan empedu yang terdiri dari dua jenis, yang tercampur (baddha) dan tidak tercampur (abaddha); dan dahak, yang juga banyaknya empat ambana yang membungkus segala yang dimakan dan ditelan sehingga tidak menimbulkan bau-bau yang menjijikkan; dan air seni dan unsur-unsur gizi, yang juga lebih kurang empat ambana, akan mengering. Jika darah, cairan-cairan empedu, dahak, air seni, dan unsur-unsur gizi ini mengering, tentu saja daging akan menyusut. Ketika darah, cairan-cairan empedu, dahak, air seni, dan daging itu menyusut, pikiran-Ku menjadi lebih jernih.

Keletihan demikian tidak akan membuat-Ku mundur karena Engkau tidak mengetahui bahwa pikiran-Ku sangat sungguh-sungguh, Engkau berbicara mengenai ‘keinginan untuk hidup’ (jivitanikanti), dengan berkata “O Pangeran Siddhattha, seluruh tubuh-Mu begitu kurus karena kekurangan daging dan darah” dan seterusnya). Tidak hanya pikiran-Ku menjadi lebih jernih, tetapi perhatian-Ku yang bagaikan pusaka raja dunia, kebijaksanaan-Ku yang bagaikan senjata pemotong intan dan konsentrasi-Ku yang tidak tergoyahkan bagaikan Gunung Meru, menjadi lebih berkembang dan kokoh.”

“Walaupun darah dan daging-Ku menyusut, pikiran-Ku lebih ceria dan menjadi lebih jernih dan mencapai tahap di mana perasaan-perasaan yang tiada bandingnya yang dialami oleh para Bodhisatta mulia, manusia-manusia luar biasa (Mahàpurisa). Meskipun seluruh tubuh-Ku mengering sampai hampir terbakar dan meskipun Aku benar-benar kelelahan, pikiran-Ku tidak pernah memikirkan objek-objek indria seperti kota kerajaan dan istananya, Yasodharà, Ràhula, empat puluh ribu pelayan perempuan dan lain-lain. Wahai Màra, selidiki dan lihatlah sendiri kesucian dan keteguhan hati-Ku yang tiada bandingnya, seseorang yang telah memenuhi Kesempurnaan.” (Dengan kata-kata ini Bodhisatta menunjukkan kesungguhan usaha-Nya.)

SEPULUH BALA TENTARA MARA
Mara dan Bala tentaranya mendatangi Boddhisatta
Mara dan Bala tentaranya mendatangi Boddhisatta


(1) “Wahai Màra, ada objek-objek indria (vatthu-kàma), bergerak atau tidak bergerak, dan kotoran indria (kilesa-kàma) yang adalah kemelekatan terhadap objek-objek indria ini; dua bentuk indria ini menyebabkan para perumah tangga menjadi bodoh sehingga tidak menyadari kebenaran. Oleh karena itu, dua ini, vatthu-kàma dan kilesa-kàma adalah bala tentara pertama. Ada para perumah tangga yang mati dalam keduniawian (putthujjhana) di tengah-tengah harta duniawi (gihibhoga) karena mereka tidak dapat melepaskannya meskipun mereka mengetahui jarangnya kemunculan seorang Buddha (Buddh’uppàda dullabha) dan sulitnya menjalani hidup bertapa (pabbajitabhàva dullabha). Sebagai petapa, kebutuhan-kebutuhan seperti jubah, mangkuk, vihàra, taman, tempat tidur, dipan, selimut yang dapat dilekati dan dinikmati adalah merupakan materi-materi indria. Dan ada beberapa petapa yang mati dalam keduniawian di tengah-tengah harta benda indria milik vihàra dalam bentuk empat kebutuhan yaitu: tempat tinggal, pakaian, makanan, dan obat-obatan yang dipersembahkan oleh umat awam. Mereka meninggal dunia dengan cara demikian karena mereka tidak sanggup melepaskan harta benda tersebut meskipun mereka telah memelajari pada waktu penahbisan tentang bagaimana memanfaatkan bawah pohon sebagai tempat tinggal, jubah dari potongan-potongan kain, dàna makanan, dan menggunakan air seni sapi yang bau sebagai obat. Para perumah tangga dan petapa ini meninggal dunia saat bertemu dengan bala tentara pertama Màra yaitu indria (kàma). (Dikutip dari terjemahan nissaya dari Paddhana Sutta oleh Ledi Sayadaw.)

(2) “Walaupun mereka telah menjalani kehidupan pertapaan setelah bertekad melepaskan gilibhoga, beberapa cenderung terganggu atau dirusak oleh kebencian (arati) dan ketidakpuasan (ukkanthita) sehingga tidak merasa berbahagia menjadi petapa, tidak berbahagia dalam belajar atau berlatih, tidak berbahagia dalam bertempat tinggal di kesunyian hutan, dan tidak berbahagia dalam meditasi konsentrasi (samatha) dan meditasi Pandangan Cerah (Vipassanà). Oleh karena itu arati dan ukkanthita merupakan bala tentara kedua Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara kedua dari Màra ini.)

(3) “Walaupun beberapa petapa telah mengatasi bala tentara kedua, sewaktu menjalani praktik menyiksa diri dhutaïga, dan karena aturan-aturan keras dari dhutaïga yang memaksa mereka untuk makan makanan apa pun yang tersedia dari segala jenis yang dicampur menjadi satu. Beberapa tidak dapat makan dengan puas (seperti sapi yang haus memuaskan dahaganya sewaktu berkubang di dalam air); dan tidak terpuaskan sehingga menjadi lapar lagi, menderita bagaikan cacing tanah gila yang menggelepar jika terkena garam. Karena dahaga dan lapar, khuppipàsa, mereka menjadi tidak tertarik kepada pertapaan dan menjadi berkeinginan untuk mengambil makanan sebanyak-banyaknya. Khuppipàsa ini adalah bala tentara ketiga Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara ketiga dari Màra ini.)

(4) “Ketika mereka menderita lapar dan haus, beberapa dari mereka menjadi sangat lemah secara fisik dan batin dan menjadi sangat ketakutan. Mereka menjadi kehilangan kepercayaan diri, malas, dan tidak berbahagia. Karena kelelahan (tandi) mereka tidak mampu menjalani kehidupan pertapaan mereka. Tandi ini adalah bala tentara keempat dari Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara keempat dari Màra ini.)

(5) “Karena tidak mengalami kemajuan dalam usaha spiritualnya dan menjadi malas dan putus asa, mereka mulai merasa bosan dan terjatuh dalam kekecewaan. Sejak saat kemalasan dan kelembaman (thina-middha) berkembang, mereka mulai tidur-tiduran di dalam vihàra, berguling-guling dari satu sisi ke sisi lain dan tidur menelungkup. Thina-middha ini adalah bala tentara kelima dari Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara kelima dari Màra ini.)

(6) “Tidur yang berlebih-lebihan karena kemalasan menyebabkan kebuntuan dalam meditasi mereka dan ketumpulan dalam pikiran. Diliputi oleh kemelekatan mereka menjadi lemah dan bingung karena hal-hal sepele ini dan itu. Karena rasa takut (bhiru) berkembang dalam keguncangan dari ketakutan mereka; dan dengan hati yang bergetar mereka menganggap tunggul kayu sebagai gajah, seekor macan sebagai raksana. Bhiru ini adalah bala tentara keenam dari Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara keenam dari Màra ini.)

(7) “Walaupun mereka berlatih meditasi setelah mengatasi rasa takut dan memperoleh dorongan melalui latihan, jalan untuk mencapai Jhàna dan mencapai Magga telah tenggelam. Karena keraguan (vicikicchà) berkembang dan mereka tidak yakin apakah mereka telah berada pada Jalan atau tidak, berada dalam praktik maupun teori. Keraguan (vicikicchà) ini adalah bala tentara ketujuh dari Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara ketujuh dari Màra ini.)

(8) “Setelah berhasil melenyapkan vicikicchà, beberapa orang terus menerus berusaha siang dan malam tanpa putus. Begitu tanda-tanda tidak lazim muncul dalam meditasi mereka, mereka mulai menganggap tinggi diri mereka. Karena keangkuhan dan kesombongan (makkha-thamba) mereka berkembang, mereka tidak dapat menerima pendapat orang lain; mereka merusak reputasi baik mereka; mereka tidak menghormati saudara tua mereka; bersikap tidak sabar. Makkha-thamba ini adalah bala tentara kedelapan dari Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara kedelapan dari Màra ini.)

(9) “Jika mereka meneruskan bermeditasi, setelah melenyapkan makkha-thamba, mereka bahkan melihat lebih banyak tanda-tanda yang tidak lazim dan menjadi bangga akan kemajuan yang mereka muncul sebagai berikut: mereka menjadi gembira dan bersukacita karena memperoleh banyak hadiah; mereka gembira dan bersukacita karena terkenal di empat penjuru; mereka gembira dan bersukacita karena memperoleh hal-hal menakjubkan yang tidak pernah dialami oleh orang lain; dan mereka gembira dan bersukacita karena kemasyhuran dan pengikut yang banyak yang diperoleh melalui khotbah-khotbah mengenai ajaran yang salah dan keangkuhan yang diperlihatkan melalui keinginan jahat dan kemelekatan untuk meningkatkan keuntungan mereka. Kelompok faktor-faktor taõhà-màna adalah bala tentara kesembilan Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara kesembilan dari Màra ini.)

(10)“Beberapa petapa yang menghadapi sembilan kelompok di atas mempraktikkan pemujaan dan penghormatan diri sendiri yaitu; mereka selalu mencela (att’uukkamsa) dan merendahkan orang lain (paravambhana). Dua ini, att’uukkamsa dan paravambhana, adalah bala tentara kesepuluh Màra.

“Wahai Màra, Engkau yang dengan kekuatan menghalang-halangi Pembebasan manusia, dewa, dan brahmà dari lingkaran penderitaan dan Engkau yang memiliki kekuatan yang besar! Sepuluh faktor ini yaitu kamà, arati, dan lain-lain, yang adalah pemimpin bala tentaramu. Wahai Màra, hatimu yang bukan putih tetapi hitam legam, dan penuh dengan kemelekatan yang sangat kuat! Mereka juga adalah senjatamu, meriammu, dan bahan peledakmu yang membunuh para petapa dalam perjalanannya.

Para umat awam yang memiliki keyakinan, kemauan, usaha, dan kebijaksanaan yang rendah dan memiliki sedikit dorongan untuk dapat mengalahkan seranganmu dan menjauhkan diri darinya. Hanya mereka, para petualang sejati, yang memiliki keyakinan, kemauan, usaha, dan kebijaksanaan yang besar, tidak akan menganggap engkau bahkan sebagai sehelai rumput; mereka dapat bertarung bertahan dan melarikan diri. Pelarian diri ini setelah bertarung dan mempertahankan diri dapat mengantar menuju kebahagiaan Jalan dan Buahnya, Nibbàna, dari ancaman pedang, tombak dan senjata-senjata lainnya milik para pasukan dari sepuluh bala tentaramu, duhai Màra Jahat.”

“Wahai Màra, Aku ingin engkau mengenal-Ku sebagai berikut:
‘Pangeran Siddhattha ini, sebagai manusia mulia, pahlawan sejati, setelah tiba di medan pertempuran, tidak akan mundur selangkahpun; Beliau adalah seorang jenderal yang memakai hiasan bunga keberanian di kepala-Nya, bunga rumput mu¤ja yang dianggap sebagai pertanda baik dan berani, spanduk, dan bendera kemenangan. (Biasa dipakai oleh pejuang-pejuang berani, yang tidak mengenal mundur, yang mengikatkan rumput-rumput mu¤ja di kepalanya, di bendera (spanduk)nya atau senjatanya untuk menunjukkan bahwa ia adalah pemberani yang tidak mengenal mundur.

Bagaikan pemimpin pasukan yang disebut jenderal). Jika Aku harus mundur dari medan pertempuran dan dikalahkan olehmu dan tetap hidup di dunia, hal demikian sangatlah memalukan, merusak, tidak terhormat, dan menjijikkan. Oleh karena itu, kenalilah Aku sebagai seseorang yang menyakini: ‘Lebih baik mati di medan pertempuran daripada menyerah di depan bala tentaramu.’

‘Karena di dunia ini, beberapa petapa dan brahmana yang maju ke medan perang di garis depan dengan mengenakan jubah kuning dan melengkapi diri mereka dengan perlengkapan-perlengkapan sebagai senjata perang tetapi tidak memiliki kekuatan yang mampu mengalahkan sepuluh bala tentaramu. Dengan demikian mereka bagaikan memasuki kegelapan total tanpa mempersiapkan cahaya seperti kebajikan moralitas, dan lain-lain.

Ketika mereka diserang oleh sepuluh bala tentaramu, Màra, tanpa alat apa pun mereka dapat mengetahui jalan permata Roda Dhamma yaitu, Tujuh Faktor Pencerahan Sempurna (Bojjhanga) yang merupakan jalan mulia yang dijalani oleh para Buddha, Pacceka Buddha, dan para mulia lainnya dalam mencapai Nibbàna. (Oleh karena itu Aku ingin engkau menganggap-Ku sebagai seseorang yang akan bertempur dan menghancurkan sepuluh bala tentaramu dan mengibarkan bendera kemenangan.)’”

Mendengar kata-kata berani yang diucapkan oleh Bodhisatta, Màra pergi dari tempat itu tanpa bisa memberikan jawaban apa-apa.

PENCAPAIAN KE-BUDDHA-AN SETELAH MENGUBAH CARA BERLATIH

Setelah Bodhisatta menyelesaikan praktik penyiksaan diri, dukkaracariya, selama enam tahun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, saat itu adalah awal bulan Vesàkha (April-Mei) setelah bulan Citta (Maret-April) tahun 103 Mahà Era. Pada waktu itu Bodhisatta berpikir:

“Para samana dan brahmana pada masa-masa lampau dalam praktik penyiksaan diri hanya mampu melewati penderitaan sekeras ini. Mereka tidak mampu melewati penderitaan yang lebih keras dari yang Kualami sekarang. Para samana dan brahmana sekarang juga mempraktikkan penyiksaan diri sekeras apa yang Kualami sekarang. Mereka tidak dapat melewati lebih dari apa yang Kualami sekarang. (Kerasnya usaha yang Kulakukan tidak mungkin berkurang bahkan bisa lebih dari kesakitan dan penderitaan yang dialami oleh para samaõa dan brahmana pada masa lampau, pada masa depan, dan masa sekarang. Aku telah berusaha keras mempraktikkan penyiksaan diri dengan sungguh-sungguh selama enam tahun.)

Meskipun Aku telah berusaha sungguh-sungguh dengan cara demikian, Aku tetap tidak mencapai Pencerahan Sempurna, Sabbannuta Nàna; Aku belum menembus Ke-Buddha-an. Mungkin ada cara lain untuk mempraktikkan jalan lain untuk mencapai Pencerahan Sempurna, Sabbannuta Nàna, untuk menembus Kebuddhaan.”

Pada waktu merenungkan demikian, Beliau teringat bahwa Beliau pernah mengembangkan dan mencapai Jhàna Pertama ànàpàna ketika duduk di bawah keteduhan pohon jambu (Eugenia jambolana) sewaktu upacara pembajakan sawah yang diselenggarakan oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana, Beliau menyadari kemudian bahwa praktik Jhàna Pertama ànàpàna pasti adalah jalan yang benar, cara yang benar untuk mencapai Sabbannuta Nàna (Ke-Maha-Tahu-an), penembusan Kebuddhaan.

Beliau merenungkan lebih jauh, “Mengapa Aku takut akan kebahagiaan Jhàna yang diperoleh dari meditasi konsentrasi ànàpàna; itu adalah kebahagiaan yang muncul secara murni dari melepaskan keduniawian (nekkhamma) dan sama sekali tidak melekat pada objek-objek nafsu materi dan kenikmatan indria. Aku seharusnya tidak takut akan kebahagiaan Jhàna dari meditasi konsentrasi ànàpàna.”

Beliau kembali merenungkan, “Aku tidak akan mampu mengembangkan meditasi konsentrasi ànàpàna itu dengan tubuh-Ku yang lelah dan lemah ini. Lebih baik jika Aku memakan makanan yang padat dan kasar seperti nasi untuk memulihkan dan menyegarkan tubuh yang kurus ini sebelum Aku berusaha mencapai Jhàna melalui meditasi konsentrasi ànàpàna.”

Setelah mempertimbangkan demikian, Bodhisatta mengambil mangkuk-Nya pergi ke Kota Sena untuk mengumpulkan dàna makanan untuk memulihkan tubuh-Nya dengan makanan apa pun yang Beliau terima. Dalam dua atau tiga hari Beliau memperoleh kembali kekuatan dan tanda-tanda fisik utama dari seorang manusia luar biasa (Mahàpurisa Lakkhanà) yang telah lenyap saat Beliau mempraktikkan dukkaracariya dan kemudian muncul kembali dengan jelas dalam bentuk aslinya. Pada waktu itu tubuh fisik Bodhisatta terlihat kuning segar seperti warna emas.

BODDHISATTA MENINGGALKAN PENGIKUT-NYA KELOMPOK LIMA BIKKHU ( PANCAVAGGIYA )

Adalah ciri alami (dhammatà), bahwa ketika seorang Bodhisatta mendekati mencapai Kebuddhaan setelah menyelesaikan praktik dukkaracariya, para bhikkhu pelayan-Nya akan meninggalkan-Nya untuk alasan tertentu atau Bodhisatta meninggalkan mereka. Demikianlah, ketika Bodhisatta mulai memulihkan tubuh-Nya dengan berbagai makanan, nasi kasar, dan lain-lain yang Beliau terima, kelompok lima bhikkhu tersebut menjadi muak dan menggerutu, “Bhikkhu Gotama telah menjadi seseorang yang berlatih untuk memperoleh kekayaan materi; Beliau telah menjadi orang yang meninggalkan latihan meditasi dan kembali mengumpulkan materi.”

Mengikuti ciri alami tersebut, mereka meninggalkan Bodhisatta dan pergi menuju Isipatana, Taman Rusa, dekat Vàràõasã, di mana khotbah pertama, Roda Dhamma, disampaikan oleh semua Buddha. (Adalah ciri-ciri bahwa para bhikkhu pelayan akan meninggalkan Bodhisatta yang dalam waktu menjelang tercapainya Kebuddhaan dan pergi menuju Taman Rusa di mana semua Buddha akan menyampaikan khotbah pertama, Dhammacakka).

Kelompok lima bhikkhu meninggalkan Bodhisatta pada awal bulan Citta dan pindah ke Migadàya, Taman Rusa. Waktu itu sebenarnya adalah tepat pada waktu Bodhisatta telah menyelesaikan latihan dukkaracariya. Ketika para pelayan bhikkhu meninggalkan-Nya, Bodhisatta hidup menyendiri memperoleh tingkat kesunyian yang mendukung kemajuan dan memperkuat konsentrasi-Nya. Demikianlah Beliau hidup dalam kesunyian total selama lima belas hari, dan mempraktikkan meditasi dan memperoleh kemajuan. Bodhisatta mulia bermimpi lima mimpi luar biasa setelah tengah malam menjelang fajar pada tanggal empat belas di bulan Vesàkha.
LIMA MIMPI BODDHISATTA

(1) Beliau bermimpi bahwa Beliau sedang tertidur di atas permukaan tanah, dengan Pegunungan Himalaya sebagai bantalnya, tangan kiri-Nya di Samudra Timur, tangan kanan-Nya di Samudra Barat dan kedua kaki-Nya di Samudra Selatan. Mimpi pertama menandakan pencapaian Kemahatahuan, menjadi Buddha di antara manusia, dewa, dan brahmà.

(2) Beliau bermimpi bahwa sejenis rumput yang disebut tiriya dengan tangkai merah berukuran sebuah gandar sapi muncul dari pusar-Nya dan sewaktu Beliau melihat, rumput tersebut tumbuh, pertama berukuran setengah lengan, kemudian satu lengan, satu fathom (1 fathom = 1.8 meter), satu ta, satu gavuta, setengah yojanà, satu yojanà dan seterusnya. Tumbuh tinggi dan lebih tinggi hingga mencapai langit, angkasa luas, seribu yojanà ke atas dan diam di sana. Mimpi kedua ini menandakan bahwa Beliau akan mampu mengajar Jalan Berfaktor Delapan, (Atthangika Magga), yang adalah Jalan Tengah (Majjhima Patipadà), kepada umat manusia dan dewa.

(3) Beliau bermimpi, ada sekumpulan ulat berbadan putih dan kepala hitam perlahan-lahan merayap ke atas kaki-Nya, menutupi dari ujung kaki hingga ke lutut-Nya. Mimpi ketiga ini menandakan banyaknya orang (berkepala hitam) yang mengenakan pakaian putih menghormati dan berlindung (Màhasaranàgaåmana) kepada Buddha.

(4) Beliau bermimpi, empat jenis burung berwarna biru, keemasan, merah, dan abu-abu terbang datang dari empat penjuru dan sewaktu mereka turun dan berdiri di atas kedua kaki-Nya, semua burung-burung itu berubah menjadi putih. Mimpi keempat menandakan kasta-kasta dari empat kasta dalam masyarakat, yaitu, kasta kesatria, ajaran Buddha, menjadi bhikkhu dan mencapai Kearahattaan.

(5) Beliau bermimpi bahwa Beliau sedang berjalan mondar-mandir, ke sana kemari di setumpukan kotoran setinggi gunung tanpa menjadi kotor. Mimpi kelima ini menandakan perolehan empat kebutuhan, yaitu: jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan, dan memanfaatkannya tanpa terikat dan melekat pada mereka.
BODDHISATTA MENAFSIRKAN LIMA MIMPI-NYA SENDIRI

Bodhisatta, bangun dari tidur-Nya dan duduk bersila setelah mengalami lima mimpi ini kemudian berpikir; “Jika Aku mengalami mimpi ini sewaktu masih berada di Kota Kapilavatthu, Aku dapat menceritakannya kepada ayah-Ku Raja Suddhodana; Aku dapat menceritakannya kepada ibu-Ku jika ia masih hidup, di Hutan Uruvela, tidak ada yang akan mendengarkan mimpi-Ku dan menafsirkannya untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membaca pertanda ini.”

Dan kemudian, Beliau menafsirkan-Nya sebagai berikut: Mimpi pertama menandakan pencapaian manfaat ini dan itu; mimpi kedua menandakan manfaat ini dan itu dan seterusnya seperti yang telah dijelaskan di atas.
DANA NASI SUSU GHANA OLEH SUJATA
Dana Nasi Susu Ghana dari Sujata
Dana Nasi Susu Ghana dari Sujata

Setelah mengalami lima mimpi dan menafsirkan sendiri mimpi tersebut, Bodhisatta berkesimpulan:” Pasti Aku akan mencapai Kebuddhaan hari ini juga.” Dan pada saat fajar menyingsing (pagi hari purnama), Beliau membersihkan badan-Nya dan pergi dari tempat itu, dan ketika Beliau tiba di pohon banyan yang setiap tahunnya dikunjungi oleh Sujàtà, putri seorang kaya, Beliau berhenti dan duduk di bawah pohon itu menghadap ke timur sambil menunggu waktu untuk mengumpulkan dàna makanan, dan pada saat itu seluruh pohon banyan itu bersinar terang dengan cahaya yang memancar dari tubuh-Nya.

Pada waktu itu, di Kota Sena, yang terletak di tepi Hutan Uruvela, Sujàtà, putri seorang kaya bernama Senàni, saat usianya menginjak dewasa, berdoa di bawah pohon banyan, “O dewa penjaga pohon banyan, jika aku menikah dengan seorang kaya dari kasta yang sama, aku akan mempersembahkan dàna nasi susu ghana.” Doa Sujàtà telah terkabul. Jadi putri orang kaya, Sujàtà menepati janjinya untuk mempersembahkan nasi susu ghana pada hari purnama di bulan Vesàkha setiap tahunnya.

Persiapan yang dilakukan oleh Sujàtà untuk mengadakan upacara persembahan kepada dewa penjaga pohon banyan pada hari purnama di bulan Vesàkha ketika Bodhisatta telah menyelesaikan enam tahun praktik dukkaracariya adalah sebagai berikut:

(1) Pertama-tama ia membiarkan seribu ekor sapi susu merumput di hutan, kemudian susu yang diperoleh dari seribu ekor sapi susu ini diberikan sebagai makanan bagi lima ratus sapi susu lainnya.
(2) Susu yang berasal dari lima ratus sapi susu itu, diberikan sebagai makanan bagi dua ratus lima puluh sapi susu lainnya lagi.
(3) Susu yang berasal dari dua ratus lima puluh sapi susu itu, diberikan sebagai makanan bagi seratus dua puluh lima sapi susu lainnya lagi
(4) Susu yang berasal dari seratus dua puluh lima sapi itu diberikan sebagai makanan kepada enam puluh empat sapi susu lainnya.
(5) Susu yang berasal dari enam puluh empat sapi itu diberikan sebagai makanan kepada tiga puluh dua sapi susu lain.
(6) Susu yang berasal dari tiga puluh dua sapi itu diberikan sebagai makanan bagi enam belas sapi lain.
(7) Susu yang berasal dari enam belas sapi susu itu, diberikan sebagai makanan bagi delapan sapi lain.
Demikianlah, Sujàtà mengambil langkah-langkah ini untuk memperoleh susu yang lezat dan bergizi untuk membuat nasi susu.

Dengan tujuan, “Aku akan melakukan persembahan nasi susu ghana pagi-pagi hari ini.” Sujàtà bangun pagi-pagi pada hari purnama di bulan Vesàkha kemudian memerah delapan sapi susu itu. Anak-anak sapi (yang tidak diikat dengan tali) tidak berani mendekati sapi-sapi ibunya. Anehnya ketika mangkuk susu ditempatkan tepat di bawah ambing sapi, susu mengalir deras terus menerus meskipun tidak diperah. Sujàtà, menyaksikan peristiwa ajaib ini, mengulurkan tangannya menuangkan susu yang mengalir terus-menerus tersebut ke dalam kendi baru dan menyalakan api dengan tangan lainnya, mulai memasak nasi susu ghana.

BANTUAN DARI PARA DEWA DAN BRAHMA

Saat nasi susu ghana sedang dimasak, (1) gelembung-gelembung besar bermunculan banyak berputar searah jarum jam, namun tidak setetes pun tumpah; (2) tidak ada asap sedikit pun yang naik ke atas tungku; (3) empat raja dewa, penjaga dunia datang dan berdiri menjaga tungku; (4) brahmà agung menutupi kendi nasi susu ghana dengan payung; (5) Sakka mengatur kayu-kayu bakar merata agar api menyala dengan merata; (6) dengan kekuatan batinnya para dewa mengumpulkan bahan-bahan makanan bergizi tinggi yang biasanya dimakan oleh dewa dan manusia dari empat benua dan dua ribu pulau-pulau kecil di sekelilingnya; mereka melakukan hal itu seolah-olah mengumpulkan madu dari sarang lebah yang tergantung di dahan-dahan pohon; dan mereka menuangkan bahan-bahan makanan bergizi yang terkumpul ini ke dalam panci nasi susu ghana.

Melihat banyak keajaiban dalam sehari seperti yang dijelaskan di atas, di tempat di mana nasi susu tersebut dimasak, Sujàtà memanggil pelayannya, Punnà, dan memerintahkan, “Punnà, hari ini dewa penjaga pohon banyan, sedang berbaik hati. Selama dua puluh tahun ini, aku belum pernah menyaksikan peristiwa-peristiwa ajaib ini. Cepat pergi bersihkan pohon banyan, tempat tinggal dewa penjaga.” Punnà si pelayan menjawab, “ Baiklah, Nyonya.” Ia segera pergi ke dekat pohon dan melihat Bodhisatta duduk di bawah pohon menghadap ke timur dan melihat seluruh pohon bercahaya kuning keemasan dengan cahaya yang terpancar dari tubuh Bodhisatta. Ketakutan dan berpikir, “Hari ini dewa penjaga pohon banyan telah turun ke bawah pohon; kelihatannya Beliau duduk di sana untuk menerima dàna dengan tangannya sendiri.” Ia tergesa-gesa kembali ke rumah dan melaporkan hal ini kepada Sujàtà.

Mendengar kata-kata pelayannya, Sujàtà menjadi sangat gembira dan berkata, “Sejak hari ini, engkau menjadi putri tertuaku,” kemudian memberikan pakaian dan perhiasan yang sesuai sebagai seorang anak perempuan.

Sudah menjadi tradisi (dhammata) bagi seorang Bodhisatta untuk menerima persembahan nasi susu ghana pada hari Beliau akan mencapai Kebuddhaan; dan menerima makanan ini hanya menggunakan cangkir emas seharga satu lakh. Sujàtà, berpikir, “Aku harus menempatkan nasi susu ghana ini dalam cangkir emas,” mengambil sebuah cangkir berharga satu lakh dari dalam kamarnya. Kemudian ia menuangkan nasi susu ghana yang telah matang ke dalam cangkir dengan memiringkan pancinya. Semua nasi susu ghana tersebut masuk ke dalam cangkir sampai tetes terakhir bagaikan tetesan air yang mengalir dari daun teratai paduma. Seluruh nasi susu ghana mengisi cangkir tersebut sampai penuh, tidak lebih tidak kurang.

Cangkir emas berisi nasi susu ghana tersebut ditutup dengan sebuah cangkir emas yang lain lagi dan dibungkus dengan kain putih yang bersih. Dan setelah berdandan dan menghias diri dengan pakaian lengkap, ia membawa cangkir emas di atas kepalanya dan pergi ke dekat pohon banyan. Ia sangat gembira melihat Bodhisatta dan menganggapnya sebagai dewa penjaga pohon banyan, ia berlutut penuh hormat. Kemudian ia menurunkan cangkir emas dari kepalanya, membukanya dan membawa cangkir emas harum, dan mendekati Bodhisatta dan berdiri di dekat-Nya.
Sujata mempersembahkan Dana Nasi Susu Ghana
Sujata mempersembahkan Dana Nasi Susu Ghana

Mangkuk tanah liat, yang dipersembahkan kepada Bodhisatta oleh Brahmà Ghatikàra pada waktu melepaskan keduniawian dan dengan setia menemani-Nya selama enam tahun dukkaracariya, menghilang secara misterius pada saat istri orang kaya, Sujàtà datang memberikan nasi susu ghana. Karena tidak melihat mangkuk-Nya, Bodhisatta mengulurkan tangan kanan-Nya untuk menerima dàna tersebut. Sujàta menyerahkan dàna makanan ghana dalam cangkir emas dan meletakkannya di tangan Bodhisatta. Bodhisatta menatap Sujàtà, yang memahami maksud tatapan tersebut, kemudian Sujàtà berkata, “ O Yang Mulia, aku mendanakan nasi susu dalam cangkir emas, terimalah beserta cangkir emas ini dan pergilah ke mana pun Engkau suka.” Kemudian ia mengucapkan doa, “Keinginanku telah terkabul, semoga keinginan-Mu terkabul pula!” Kemudian ia pergi tanpa sedikit pun memikirkan cangkir emas seharga satu lakh tersebut seolah-olah hanya sehelai daun kering.

Bodhisatta juga bangkit dari duduk-Nya, setelah mengelilingi pohon banyan dengan hormat, Beliau berjalan menuju tepi Sungai Neranjarà, membawa cangkir emas berisi nasi susu ghana. Di Sungai Neranjarà terdapat sebuah tangga bernama Suppatitthita, tempat banyak Bodhisatta turun dan mandi pada hari pencapaian Kebuddhaan. Bodhisatta meninggalkan cangkir emas-Nya di tangga, setelah selesai mandi, Beliau naik dan duduk menghadap ke timur di bawah keteduhan sebatang pohon. Kemudian, Beliau menyiapkan empat puluh sembilan gumpalan nasi susu ghana, tidak lebih tidak kurang, berukuran sebesar biji kacang palmyra (bukan sebesar kacang palmyra) dan kemudian memakan semuanya tanpa meminum air. Gumpalan nasi susu ghana tersebut akan menjadi nutrisi (àhàra) untuk mempertahankan kebutuhan nutrisi tubuh-Nya selama empat puluh sembilan hari (sattasattàha), kemudian berdiam di sekeliling pohon Bodhi setelah mencapai Pencerahan Sempurna. Selama empat puluh sembilan hari, Buddha diam dalam kebahagiaan Jhàna dan buahnya, tanpa memakan makanan apa pun, tanpa mandi, tanpa mencuci muka, dan tanpa membersihkan tubuh-Nya.
KEAJAIBAN CANGKIR EMAS PERTANDA PENCAPAIAN KE-BUDDHA-AN

Setelah memakan nasi susu ghana yang dipersembahkan oleh Sujàtà, Bodhisatta mengucapkan tekad sambil memegang cangkir, “Jika Aku akan mencapai Kebuddhaan hari ini, semoga cangkir emas ini mengalir ke hulu; jika Aku tidak mencapai Kebuddhaan hari ini, semoga cangkir emas ini mengalir ke hilir mengikuti arus sungai.” Kemudian Beliau meletakkan cangkir emas itu di atas air Sungai Neranjarà. Cangkir emas tersebut memotong arus air menuju ke tengah sungai dan kemudian mengambang dan mengalir ke hulu, dari sana dengan kecepatan seekor kuda tercepat berlari, sampai sejauh delapan puluh lengan dan tenggelam dalam pusaran air. Sewaktu mencapai istana raja nàga, Kàla, cangkir emas itu membentur tiga cangkir emas yang digunakan oleh tiga Buddha sebelumnya, yaitu Kakusandha, Konàgamana, dan Kassapa pada hari mereka akan mencapai Kebuddhaan, menghasilkan bunyi (logam yang beradu) ‘kili, kili’ dan akhirnya diam di bawah tiga cangkir emas tersebut.
Ketakjuban Raja Naga melihat mangkuk Boddhisatta
Ketakjuban Raja Naga melihat mangkuk Boddhisatta

Mendengar bunyi tersebut, Raja Nàga Kàla berkata, “Baru kemarin seorang Buddha muncul, hari ini, seorang Buddha lain muncul lagi.” Dan kemudian ia bangkit dan mengucapkan kata-kata pujian dalam bait-bait. (Periode antara kemunculan Buddha Kassapa dan Buddha kita sangatlah lama, bumi kita ini telah tumbuh berkembang sebesar satu yojanà dan tiga gavuta selama periode ini, namun bagi Raja Nàga Kàla, periode ini sangatlah pendek sehingga ia menyebutnya hanya sebagai ‘kemarin’ dan ‘hari ini.’ )

Kemudian, Bodhisatta beristirahat di Hutan Sala di tepi Sungai Neranjarà yang diliputi oleh keharuman bunga-bunga, menghijau, dan indah dipandang. Kemudian Beliau melakukan meditasi ànapàna; setelah mencapai delapan Lokiya Jhàna dan lima Abhinnà, di kesejukan senja menjelang malam, Beliau berjalan di sepanjang jalan yang telah dihiasi oleh para dewa dan brahmà; setelah turun dan mandi di Sungai Neranjarà, Beliau berjalan menuju pohon Mahàbodhi melalui jalan yang dibuat oleh para dewa dan brahmà. Pada waktu itu, dewa-dewa nàga, yakkha, dan gandabbha memberi hormat kepada-Nya dengan persembahan bunga-bunga dan wangi-wangian surgawi. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu surgawi yang merdu. Sepuluh ribu alam semesta hampir seluruhnya tertutupi oleh bunga-bunga dan wangi-wangian surgawi, juga oleh sorak-sorai para dewa dan brahmà.
Boddhisatta menerima dana rumput2an dari Brahmana Sotthiya
Boddhisatta menerima dana rumput2an dari Brahmana Sotthiya

Pada waktu itu Sotthiya, seorang brahmana pemotong rumput berjalan datang dari arah berlawanan membawa rumput-rumputan; mengetahui bahwa Bodhisatta menginginkan beberapa rumput, ia memberikan delapan ikat rumput. Bodhisatta membawa delapan ikat rumput tersebut pergi menuju Mahàbodhi dan berdiri di selatan pohon Mahàbodhi menghadap ke utara. Saat itu, bagian selatan dari sepuluh ribu alam semesta turun hingga seolah-olah menyentuh Alam Mahà âvici; dan bagian utara dari sepuluh ribu alam semesta naik hingga seolah-olah terbang ke Alam Bhavagga. Melihat fenomena ini, Bodhisatta berpikir, “Ini bukanlah tempat di mana Arahatta-Magga Nàna dan Subbannuta Nàna dapat ditembus.” Jadi Beliau bergerak searah jarum jam, berjalan ke sebelah barat pohon Bodhi dan berdiri menghadap ke timur. Saat itu, bagian barat dari sepuluh ribu alam semesta turun hingga seolah-olah menyentuh Alam Mahà âvici; dan bagian timur alam semesta naik hingga seolah-olah menyentuh Alam Bhavagga, melihat fenomena ini, Bodhisatta berpikir lagi, “Ini bukanlah tempat di mana Arahatta-Magga Nàna dan Subbannuta Nàna dapat ditembus.” Jadi Beliau bergerak lagi searah jarum jam, berjalan ke sebelah utara pohon Bodhi dan berdiri menghadap ke selatan. Saat itu, bagian utara dari sepuluh ribu alam semesta turun hingga seolah-olah menyentuh Alam Mahà âvici; dan bagian selatan alam semesta naik hingga seolah-olah menyentuh Alam Bhavagga, melihat fenomena ini, Bodhisatta berpikir lagi, “Ini bukanlah tempat di mana Arahatta-Magga Nàna dan Subbannuta Nàna dapat ditembus.”

Kemudian Beliau bergerak mengelilingi pohon Bodhi, Beliau berjalan ke timur pohon Bodhi, menghadap ke barat.
Tempat di mana singgasana kemenangan, aparàjita, akan muncul di sebelah timur pohon Bodhi tetap utuh tidak berubah, sebagai tempat yang tidak akan ditinggalkan: avijahitatthàna, di mana singgasana semua Buddha muncul. Mengetahui bahwa “tempat ini pastilah tempat kemenangan di mana semua Buddha menghancurkan kotoran batin.” Kemudian Bodhisatta menebarkan delapan ikat rumput yang dibawa-Nya.

Begitu Beliau menebarkan delapan ikat rumput itu, rumput-rumput itu berubah menjadi singgasana permata yang besar, berukuran enam belas lengan, yang sangat indah yang tidak dapat dilukiskan dan diukir oleh pelukis dan pengukir yang paling ahli sekalipun, dan tercipta dalam bentuk yang sangat menakjubkan (dari sebuah singgasana permata).

Dengan bersandar pada pohon Bodhi, menghadap ke arah timur dengan pikiran terpusat, Bodhisatta berseru: ”Meskipun hanya kulit-Ku yang tersisa, meskipun hanya urat-Ku yang tersisa, meskipun hanya tulang-Ku yang tersisa, meskipun seluruh tubuh-Ku dan seluruh daging dan darah-Ku mengering, jika aku belum mencapai Kebuddhaan, Aku tidak akan mengubah postur-Ku dari duduk bersila seperti sekarang ini.”

Demikianlah dengan mengembangkan tekat atas empat faktor, Beliau duduk di atas singgasana permata yang tidak terlihat (aparàjita) dengan postur duduk bersila (postur menaklukkan musuh, bukan mengaku kalah), yang tidak dapat dihancurkan bahkan oleh ratusan petir yang menyerang bersamaan.

MENAKLUKKAN VASAVATTI MARA (DEVAPUTTA MARA) SEBELUM MATAHARI TERBENAM

Ketika Bodhisatta duduk di atas tempat duduk-Nya, aparàjita, yang tidak terlihat, di bawah pohon Bodhi, untuk menembus Sabbannuta Nàna, Sakka datang untuk memberikan penghormatan dan berdiri sambil meniup kulit kerang Vijayuttara. (Kulit kerang ini panjangnya 120 lengan dan ketika ditiup, suaranya baru menghilang setelah empat bulan). Dewa Pancasikha datang untuk memberikan hormat dan memainkan harpa Beluva. Dewa Suyama berdiri dan mengebutkan pengusir serangga dari ekor yak, Dewa Santusita berdiri mengibaskan kipas berhiaskan batu delima, dan Brahmà Sahampati berdiri memegang payung putih sepanjang tiga yojanà. Nàga Kàla tiba bersama delapan puluh ribu penari nàga perempuan dan berdiri memberi hormat dengan menyanyikan bait-bait pujian-pujian kepada Bodhisatta. Semua dewa dan brahmà dari sepuluh ribu alam semesta datang memberi hormat dengan mempersembahkan bunga-bungaan, wangi-wangian, dupa, dan menyanyikan ribuan lagu-lagu pujian.

Màra dari Alam Dewa Vasavatti, demi kesenangannya, terus menerus mengikuti Bodhisatta selama enam tahun dukkacariya, menunggu kesempatan saat Bodhisatta berpikiran jahat (micchà vitakka) seperti nafsu-nafsu indria (kàma vitakka), dan lain-lain, namun tidak berhasil menemukan penyimpangan dari pikiran bajik di dalam diri Bodhisatta. Màra berpikir, “Sekarang, Pangeran Siddhattha telah tiba di pohon Bodhi untuk mencapai Kebuddhaan. Saat ini, Beliau berusaha menjauhkan diri dari wilayah kekuasaanku (di tiga alam manusia, dewa, dan brahmà); Aku tidak dapat mengalahkannya sehingga Beliau berkesempatan untuk melarikan diri dari tiga alam yang berada di bawah kekuasaanku.” Dengan pikiran ini, ia pergi ke Alam Dewa Vasavatti dan mengumpulkan prajurit-prajurit mara, dan memerintahkan, “O Prajurit, ubah dirimu menjadi berbagai bentuk-bentuk untuk bertempur, dan masing-masing memegang senjata yang berbeda-beda, dan cepat serang Pangeran Siddhattha seperti banjir besar.” Ia sendiri, mengikuti mereka dengan menunggangi gajah Girimekhala yang berukuran 150 yojanà dan menciptakan seribu tangan dari tubuhnya, masing-masing memegang senjata yang berbeda-beda Bala tentara Màra yang mendekati Bodhisatta berjumlah sangat besar, barisannya mencapai dua belas yojanà di depan Màra, dua belas yojanà di sebelah kanan Màra, dua belas yojanà di sebelah kiri Màra, sembilan yojanà di atas Màra, dan di belakang mencapai hingga ujung dari sepuluh ribu alam semesta. Suara-suara yang menakutkan yang mengintimidasi, teriakan-teriakan dan sorak-sorai dari pasukan Màra dapat terdengar hingga sejauh seribu yojanà, bagaikan bunyi yang berasal dari bumi yang membelah. Màra yang memegang seribu senjata dengan seribu tangannya, dan prajuritnya yang tidak terhitung banyaknya yang masing-masing memegang senjata yang berbeda-beda. Mengubah wujud mereka ke dalam bentuk yang sangat menakutkan, mendekati Bodhisatta untuk mengalahkan dan menghancurkan-Nya.
Mara dan bala-tentaranya menyerang Boddhisatta
Mara dan bala-tentaranya menyerang Boddhisatta

Ketika bala tentara Màra sedang mendekati pohon Mahàbodhi. Tidak satu pun dewa yang dipimpin oleh Sakka yang datang untuk memberi penghormatan kepada Bodhisatta yang mampu menahan mereka; mereka lari tunggang langgang, Sakka lari dengan terompet kulit kerang Vijayuttara di punggungnya dan tetap berdiri di ujung sepuluh ribu alam semesta; Mahàbrahmà juga mencampakkan payung putihnya di tepi alam semesta, dan kembali ke alamnya; raja nàga juga, meninggalkan para penari nàganya dan masuk ke dalam tanah, pergi ke istana nàga yang disebut Manjerika, berukuran lima ratus yojanà, dan tidur dengan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya; tidak ada satu pun dewa dan brahmà yang berani berada di dekat-dekat Bodhisatta dan pohon Mahàbodhi. Pada waktu itu, Bodhisatta tetap duduk sendirian bagaikan brahmà yang menyendiri di dalam istananya.

MARA MENYERANG DENGAN SEMBILAN JENIS PELURU
Pasukan Mara mulai kewalahan
Mara menyerang dengan berbagai senjata kesaktiannya

Sewaktu Bodhisatta sedang merenungkan Sepuluh Kesempurnaan, Màra membuat rencana, “Dengan menembakkan sembilan jenis peluru. Aku akan memaksa Pangeran Siddhattha untuk melarikan diri.”
  1. Pertama, ia melepaskan pusaran angin kencang. Tiba-tiba, angin timur, angin barat, angin selatan, dan angin utara bertiup kencang; dan meskipun angin ini mampu meruntuhkan puncak gunung yang berukuran setengah yojanà, satu yojanà, dua atau tiga yojanà, dan mampu mencabut pohon-pohon dan semak belukar di dalam hutan; dan mampu menghancurkan desa-desa dan kota-kota di sekitar sana, namun tidak mampu mendekati Bodhisatta dan bahkan tidak mampu menggerakkan ujung jubah-Nya karena keagungan dan kekuatan kebajikan Bodhisatta.
  2. Dengan penuh harapan Màra berpikir:”Saat ini, Petapa Gotama pasti telah terbang tertiup oleh peluru, seperti yang kutembakkan dan menghantam gunung ‘Cakkavala’ dan hancur berkeping-keping.” Ia menjadi gusar melihat Bodhisatta duduk seperti semula, tidak tergoyahkan, tegak bagaikan tiang pintu gerbang. Kemudian ia merencanakan; “Aku akan membunuh-Nya dengan menenggelamkan-Nya di dalam arus air yang mengalir kencang.” Ia menciptakan awan mendung dalam sekejap dan hujan deras turun dengan segera.

    Bumi ini berubah menjadi lembah karena tekanan hujan yang diciptakan oleh Dewa Màra. Saat banjir ini, setelah mengikis dan menghanyutkan hutan-hutan, bukit, dan pohon-pohon, namun setelah mendekati Buddha, air ini tidak mampu membasahi bahkan sehelai benang pun dari jubah Bodhisatta; ia mengubah arah aliran-Nya dan mengalir ke tempat lain tanpa menyentuh Bodhisatta.
  3. Menyaksikan fenomena ini, Màra merencanakan, “Aku akan mengubah Pangeran Siddhattha ini menjadi debu dengan menghujaninya dengan batu,” dan menciptakan hujan batu. Batu-batu berukuran sangat besar berjatuhan dari angkasa sebesar puncak gunung yang besar, sehingga menyebabkan kabut debu di mana-mana; namun begitu mendekati Bodhisatta, batu-batu ini berubah menjadi karangan bunga surgawi dan bola-bola bunga.
  4. Setelah itu, dengan pikiran, “Aku akan menyebabkan kematian bagi Pangeran Siddhattha ini, aku akan membunuh-Nya, dan mengalahkan-Nya,” Ia melepaskan hujan senjata.

    Segala jenis lain-lain yang memancarkan asap dan api, datang dan melayang dari angkasa hanya untuk berubah menjadi karangan bunga, dan lain-lain, di sekeliling pohon Mahàbodhi.
  5. Meskipun Màra berpikir, “Pangeran Siddhattha akan menjadi seperti tumpukan daging cincang,” Ia terkejut ketika melihat bahwa Pangeran Siddhattha tetap duduk seperti semula tanpa terganggu sedikit pun bagaikan gunung berlian besar. Jadi sekali lagi ia menciptakan hujan batu-batu yang menyala terbakar. Batu-batu menyala itu jatuh berkobar namun segera berubah menjadi bunga melati, dan lain-lain sewaktu mendekati Bodhisatta.
  6. Setelah itu, Màra menciptakan hujan abu panas. Abu yang sangat panas bagaikan api turun dari langit namun berubah menjadi bubuk cendana sewaktu mencapai kaki Bodhisatta.
  7. Lagi, ia menciptakan hujan pasir panas. Pasir dalam bentuk bubuk yang sangat halus turun dari angkasa dan jatuh di kaki Bodhisatta menjadi bunga-bunga surgawi.
  8. Setelah itu, ia menciptakan hujan lumpur panas. Lumpur panas dengan kepulan asap dan api yang berkobar-kobar dari angkasa jatuh di kaki Bodhisatta setelah berubah menjadi pasta wangi-wangian surgawi.
  9. Setelah itu, ia menciptakan kabut gelap dengan niat, “Aku akan membuat Pangeran Siddhattha melarikan diri dengan menakut-nakuti-Nya dengan kabut kegelapan.” Kegelapan yang diciptakan Màra bagaikan kegelapan yang dihasilkan oleh empat faktor yaitu: malam bulan muda, dengan langit yang ditutupi awan, di tengah-tengah hutan belantara, namun begitu mendekati Bodhisatta, kabut ini menghilang seperti kegelapan yang sirna dengan munculnya cahaya matahari.

(Di sini, mengetahui bahwa Màra menciptakan awan kegelapan, Bodhisatta memancarkan sinar dari tubuh-Nya yang berukuran seperti bulu-bulu badan-Nya. Harus dipahami, jaringan sinar-sinar inilah yang menghancurkan kegelapan total yang diciptakan oleh Màra dan yang menghasilkan cahaya gilang gemilang.)


0 komentar:

Posting Komentar

maaf sxlg maaf © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute