Sabtu, 03 Desember 2011

Udancani Jataka

“Hidup bahagia tadinya adalah milikku,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai godaan dari seorang gadis yang gemuk (atau kasar). Kejadian ini akan diceritakan dalam Culla-Nārada-Kassapa-Jātaka189 di Buku Ketiga Belas.


Saat menanyai bhikkhu tersebut, Sang Buddha mendapat pengakuan darinya bahwa benar ia sedang jatuh cinta, dan mencintai gadis gemuk itu. “Bhikkhu,” kata Sang Guru, “ia akan menyesatkan dirimu. Demikian juga di masa yang lampau ia membuat engkau menjadi jahat, dan engkau dipulihkan hingga dapat merasa bahagia kembali oleh ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di kehidupan yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, terjadilah hal-hal seperti yang diceritakan dalam Culla-Nārada-Kassapa-Jātaka. Namun dalam kesempatan ini, Bodhisatta tiba di sore hari dengan membawa buah-buahan di tempat pertapaannya, membuka pintu dan berkata kepada putranya, “Di hari-hari biasa, engkau selalu membawakan kayu dan makanan, serta menyalakan perapian. Mengapa hari ini engkau tidak melakukan satu pun dari hal tersebut di atas, melainkan duduk termenung disini dengan menyedihkan?”

“Ayah,” kata anak muda itu, “ketika engkau pergi mengumpulkan buah-buahan, seorang gadis datang kemari, yang mencoba memikat saya dengan rayuan. Namun, saya tidak akan pergi sebelum berpamitan denganmu, jadi saya membuatnya pergi ke sana, duduk menunggu kedatanganku. Sekarang saya berharap untuk bisa pergi.”

Melihat anaknya terlalu kasmaran untuk bisa melepaskan gadis itu, Bodhisatta mengizinkannya pergi, berkata, “Saat ia menginginkan daging , ikan, biji-bijian, garam atau beras, maupun hal-hal lainnya untuk dimakannya, dan membuat engkau ke sana kemari atas perintahnya, ingatlah pada pertapaan ini dan kembalilah kemari.”

Maka anak tersebut pergi bersama gadis itu ke tempat tinggal penduduk; setibanya di rumah, gadis itu membuat anak muda tersebut berlari ke sana kemari untuk mengambilkan semua barang yang ia inginkan.

“Saya lebih seperti budaknya jika begini,” pikirnya, dan segera kembali ke tempat ayahnya, memberi hormat padanya, berdiri dan mengulangi syair berikut ini: —

Hidup bahagia tadinya adalah milikku,
hingga aku jatuh cinta padanya,
Kendi yang mengkhawatirkan dan menjemukan,
istriku  membuat saya menjalankan perintahnya
dengan berlari ke sana kemari.

Bodhisatta memuji anak muda tersebut, menasihatinya untuk berbaik hati dan bermurah hati, mengajarinya mengembangkan empat kediaman luhur dan cara-cara meditasi. Tak lama kemudian, anak muda itu telah memperoleh kesaktian dan pencapaian meditasi, dan tanpa terputus dari keadaan baik tersebut, bersama ayahnya, ia terlahir kembali di alam brahma.

Setelah uraian tersebut berakhir, dan Empat Kebenaran Mulia telah dibabarkan (di akhir khotbah, bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna), Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Gadis gemuk di saat ini merupakan gadis gemuk di masa itu; bhikkhu muda ini adalah anak tersebut dan Saya sendiri adalah sang ayah di masa itu.”

salam ceria...

CULLA SUTASOMA JĀTAKA

“Dengarkanlah saya, teman-teman,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang kesempurnaan dalam pelepasan (keduniawian).


Cerita pembukanya berhubungan dengan Mahānāradakassapa-Jātaka97.

Dahulu kala, kota yang sekarang menjadi Benares bernama Sudassana dan di sana hiduplah Raja Brahmadatta. Ratu utamanya melahirkan Bodhisatta. Wajahnya cerah sempurna seperti bulan purnama, dan oleh karenanya ia diberi nama Soma.

Ketika ia beranjak remaja, dikarenakan kegemarannya akan jus buah dan kebiasaannya mengambil sarinya, orang-orang mengenalnya sebagai Sutasoma (penyuling buah soma). Ketika dewasa, ia diajarkan semua cabang ilmu pengetahuan di Takkasilā, dan sekembalinya dari sana, payung putih diberikan kepadanya oleh ayahnya, dan ia pun memerintah kerajaan dengan benar, memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas, memiliki enam belas ribu istri, dengan Candadevī sebagai ratu utamanya.

Seiring berjalannya waktu ketika ia dikaruniai dengan keluarga besar, ia menjadi tidak puas dengan kehidupan rumah tangga dan pergi ke hutan, dengan memiliki keinginan untuk menjalankan kehidupan petapa.

Suatu hari, ia memanggil tukang pangkasnya dan menyapanya demikian, “Jika melihat sehelai rambut putih di kepalaku, kamu harus memberitahukannya kepadaku.” Tukang pangkas tersebut setuju untuk melakukannya dan akhirnya ia melihat sehelai rambut putih dan memberitahu raja tentang itu.

Raja berkata, “Kalau begitu, cabutlah rambut itu dan letakkan di tanganku.” Tukang pangkas itu mencabutnya dengan menggunakan pinset emas dan meletakkannya di tangan raja. Ketika melihatnya, Sang Mahasatwa berseru, “Badanku adalah mangsa bagi penuaan,” dan dalam ketakutan ia mengambil rambut putih itu dan turun dari teras ia duduk di sebuah dipan yang dapat terlihat oleh pandangan banyak orang.

Kemudian ia memanggil delapan puluh ribu pejabat istananya yang dikepalai oleh panglima, enam puluh ribu brahmana yang dikepalai oleh pendeta kerajaan, penduduk kerajaan dan orang-orang lainnya, dan berkata kepada mereka, “Rambut putih sudah muncul di kepalaku. Saya sekarang adalah seorang lelaki tua dan kalian semua harus tahu bahwa saya akan menjadi seorang petapa,” dan ia mengucapkan bait pertama berikut:

Dengarkanlah saya, teman-teman dan rakyat
yang berkumpul di sini, pejabat kerajaanku;
Uban telah muncul di kepalaku,
sekarang saya akan menjalankan kehidupan petapa.

Ketika mendengar ini, dalam kegundahan, mereka mengucapkan bait berikut:

Kata-kata yang demikian tak berdasar seperti ini di dalam ucapan,
Anda menyebabkan panah tertancap di hatiku:
Ingatlah akan tujuh ratus wanita kerajaanmu, Paduka;
Apa yang akan terjadi dengan mereka jika Anda pergi?

Kemudian Sang Mahasatwa mengucapkan bait ketiga:

Kesedihan mereka akan segera terhibur oleh hal lain,
mereka masih muda dan cantik; saya telah bertekad
pada pelepasan keduniawiaan, sekarang saya
akan menjalankan kehidupan petapa.

Karena tidak bisa lagi menjawab raja, para pejabat kerajaannya pergi menjumpai ibunya dan memberitahunya tentang hal ini. Ibunya datang dengan tergesa-gesa dan setelah menanyakan kepada raja, “Apakah ini benar apa yang mereka katakan, Putraku, bahwa kamu ingin menjalankan kehidupan petapa?” ia mengucapkan dua bait berikutnya:

Hari di saat saya disebut sebagai Ibu oleh seorang anak sepertimu
adalah suatu ketidakberuntungan; Karena tanpa memedulikan air mata
dan ratap tangisku, wahai Sutasoma, kamu telah bertetap hati
menjalankan kehidupan petapa.

Hari di saat saya melahirkan dirimu
adalah suatu ketidakberuntungan; Karena tanpa memedulikan air mata
dan ratap tangisku, wahai Sutasoma, kamu telah bertetap hati
menjalankan kehidupan petapa.

Ketika ibunya meratap demikian, Bodhisatta tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ibunya tinggal sendirian, sambil menangis. Kemudian mereka memberitahu ayahnya. Ayahnya datang dan mengucapkan satu bait berikut:

Kebenaran apa ini yang menuntunmu menjadi
Ingin untuk meninggalkan kerajaan dan rumahmu?
Meninggalkan kedua orang tuamu sendirian di sini,
untuk menjalankan kehidupan petapa?

Ketika mendengar ini, Sang Mahasatwa terdiam. Kemudian ayahnya berkata, “Anakku Sutasoma, meskipun kamu tidak memiliki cinta kepada orang tuamu, tetapi kamu memiliki banyak putra dan putri yang masih kecil. Mereka tidak akan bisa hidup tanpa dirimu. Maukah kamu baru menjadi petapa di saat mereka telah tumbuh dewasa?” dan ia mengucapkan bait ketujuh berikut:

Tetapi kamu memiliki banyak anak,
dan semuanya masih muda;
Di saat Anda tidak terlihat lagi,
betapa sedih mereka nantinya!

Mendengar ini, Sang Mahasatwa mengucapkan satu bait kalimat:

Ya, saya memiliki banyak anak,
dan mereka masih muda; Saya telah bersama
dengan mereka dalam waktu yang lama,
sekarang saya harus pergi.

Demikianlah Sang Mahasatwa memaparkan kebenaran kepada ayahnya. Dan ketika mendengar pemaparannya tentang kebenaran tersebut, raja pun terdiam. Kemudian mereka memberitahu ketujuh ratus wanita kerajaannya. Setelah turun dari istana, mereka datang ke hadapannya, dan dengan memegang kakinya, mereka meratap tangis dan mengucapkan bait ini:

Hatimu pastinya telah menghancurkan rasa sedih,
atau Anda pastinya tidak mengenal belas kasih,
sehingga Anda hendak menjalankan kehidupan petapa,
dan meninggalkan kami semua di sini, meratap tangis.

Ketika mendengar ratapan mereka di saat mereka bersujud di kakinya dan menangis dengan keras, Sang Mahasatwa mengucapkan satu bait berikut:

Hatiku tidak menghancurkan rasa sedih,
Meskipun saya merasa kasihan atas penderitaanmu,
tetapi saya tetap harus menjadi petapa,
agar saya dapat memperoleh kebahagiaan surgawi.

Kemudian mereka memberitahukannya kepada permaisuri; meskipun dibebani oleh kandungannya, tetapi ia tetap datang, tepat pada waktunya. Ia menghampiri Sang Mahasatwa dan setelah memberi hormat kepadanya, berdiri di satu sisi dan mengucapkan tiga bait berikut:

Hari di saat saya diperistri olehmu adalah suatu ketidakberuntungan;
karena tanpa memedulikan air mata dan ratap tangisku,
wahai Sutasoma, kamu telah bertetap hati
menjalankan kehidupan petapa.

Hari di saat saya diperistri olehmu adalah suatu ketidakberuntungan;
karena kamu akan meninggalkanku mati dalam kesedihan,
wahai Sutasoma, kamu telah bertetap hati
menjalankan kehidupan petapa.

Waktu persalinanku sudah dekat, dan saya akan merasa gembira
jika kamu tetap tinggal bersama denganku, sampai anakku lahir,
sebelum hari itu, saya akan melewati
hari menyedihkan yang dirampas olehmu.

Kemudian Sang Mahasatwa mengucapkan satu bait berikut:

Waktu persalinanmu sudah dekat, sampai bayi itu lahir,
saya tidak bisa tinggal bersama denganmu;
Saya akan meninggalkan anak kerajaan ini
dan pergi menjalankan kehidupan petapa.

Ketika mendengar perkataannya ini, permaisuri tidak dapat mengendalikan kesedihannya, dan memegang dadanya dengan kedua tangan, ia berkata, “Untuk selanjutnya, tidak ada lagi kejayaan kita.” Kemudian sembari mengusap air matanya, ia meratap tangis dengan kuat. Sang Mahasatwa mengucapkan satu bait berikut untuk menghibur dirinya:

Ratuku, yang terkasih Candā,
dengan mata seperti bunga biru100,
janganlah meratap tangis karena diriku,
naiklah kembali ke istanamu:
Saya akan tetap pergi tanpa ada yang menjaga dirimu.

Karena tidak tahan dengan kata-katanya, permaisuri naik ke istana dan duduk di sana, sambil menangis. Kemudian putra sulung Bodhisatta yang melihat kejadian ini berkata, “Mengapa ibuku duduk di sini, sambil menangis?” dan ia mengucapkan bait kalimat berikut dalam bentuk sebuah pertanyaan:

Siapa yang telah mengganggumu, Ibuku terkasih,
mengapa Anda menangis dan menatap diriku dalam?
Haruskah saya habiskan mereka,
sanak keluargaku yang jahat padamu, untuk dirimu?

Kemudian permaisuri mengucapkan bait berikut:

Tidak ada bahaya, Putraku terkasih, yang dapat menyentuh kepalanya,
ia yang hidup memberikan penderitaan ini kepadaku:
Karena, ketahuilah, orang itu adalah ayahmu yang mengatakan,
‘Saya akan tetap pergi tanpa ada yang menjaga dirimu.’

Mendengar perkataan ibunya, ia berkata, “Ibu, apa ini yang Anda katakan? Jika memang ini kejadiannya, kita akan menjadi tidak berdaya,” dan dengan ratap tangis, ia mengucapkan bait ini:

Saya, yang dahulu berkeliaran di taman
melihat gajah-gajah liar terlibat dalam pertarungan,
jika ayahku harus menjalankan kehidupan petapa,
apa yang harus kulakukan, orang malang yang tidak beruntung?

Kemudian di saat melihat mereka berdua sedang menangis, adiknya yang berusia tujuh tahun menghampiri ibunya dan berkata, “Ibu dan Abangku terkasih, mengapa kalian menangis?” Dan setelah mendengar penyebabnya, ia berkata, “Baik, berhentilah menangis; saya tidak akan membiarkannya menjadi seorang petapa,” dan ia menghibur mereka berdua.

Setelah turun dari istana tersebut bersama dengan perawatnya, ia pergi menjumpai ayahnya dan berkata, “Ayah, mereka memberitahuku bahwa Anda akan meninggalkan kami meskipun dengan menentang kehendak kami, dan mengatakan bahwa Anda akan menjadi seorang petapa. Saya tidak mengizinkanmu menjadi seorang petapa,” dan dengan memegang ayahnya dengan erat pada bagian leher, ia mengucapkan bait ini:

Ibu dan abangku sedang menangis,
menginginkanmu untuk tetap tinggal,
saya juga akan menahanmu dengan memegang tanganmu,
tidak akan membiarkanmu pergi di luar kehendak kami.

Sang Mahasatwa berpikir, “Anak ini adalah satu sumber hambatan bagi diriku; dengan cara apakah saya harus menghindarinya?” Kemudian setelah melihat pengasuhnya, ia berkata, “Bu, lihatlah permata ini. Ini akan menjadi milikmu jika kamu dapat membawa anak ini pergi, sehingga ia tidak menjadi satu hambatan bagiku.”

Demikian, karena ia tidak dapat menghindari anak yang memegang tangannya itu, ia menjanjikan pengasuh tersebut sogokan dan mengucapkan bait berikut:

Pengasuh, bawalah anak kecil ini,
mainlah dengannya di tempat lain;
Kalau tidak, ia akan merusak kebahagiaanku
dan menghalangi diriku dalam jalanku menuju ke alam surga.

Perawat tersebut mengambil sogokannya, membawa anak itu ke tempat yang lain untuk menghibur dirinya, dan dengan meratap demikian ia mengucapkan bait ini:

Bagaimana jika saat ini saya langsung menolak
—saya tidak memerlukannya—permata berkilau ini?
Karena jika Anda menjadi seorang petapa,
apalah gunanya permata ini bagiku?

Kemudian panglima raja berkata, “Menurutku, raja ini telah berpikiran bahwa ia hanya memiliki harta kekayaan yang sedikit di dalam rumahnya. Saya akan membuatnya tahu bahwa ia memiliki jumlah yang banyak,” setelah berdiri, ia memberi hormat kepada raja dan mengucapkan bait ini:

Perbendaharaanmu dipenuhi dengan banyak harta,
Anda telah mengumpulkan kekayaan, wahai raja, dalam jumlah besar;
Seluruh dunia dikuasai olehmu,
ambillah mereka sesuka hatimu, jangan menjadi petapa.

Mendengar ini, Sang Mahasatwa mengucapkan bait ini:

Perbendaharaanku dipenuhi dengan banyak harta,
saya telah mengumpulkan kekayaan dalam jumlah besar;
Seluruh dunia dikuasai olehku,
saya tinggalkan semuanya itu untuk menjadi petapa.

Ketika ia pergi setelah mendengar ini, seorang saudagar kaya bernama Kulavaddhana berdiri dan dengan memberi hormat kepada raja, mengucapkan bait ini:

Saya telah mengumpulkan kekayaan dalam jumlah besar,
wahai raja, di luar batas semua kekuatan mampu menghitung yang besar:
Lihatlah, saya memberikan semuanya kepadamu,
ambillah mereka sesuka hatimu; jangan menjadi petapa.

Ketika mendengar ini, Sang Guru mengucapkan satu bait berikut:

Wahai Kulavaddhana, saya tahu,
kamu akan memberikan kekayaanmu kepadaku;
Akan tetapi saya telah bertekad pada pelepasan keduniawiaan,
sekarang saya akan menjalankan kehidupan petapa.

Setelah Kulavaddhana mendengar ini dan pergi, ia kemudian menyapa adiknya Somadatta, “Adik, saya merasa tak puas, seperti ayam dalam kandang, ketidakpuasanku terhadap kehidupan rumah tangga telah membuat diriku menjadi lebih baik. Hari ini juga saya akan menjadi seorang petapa; Gantilah diriku untuk memimpin kerajaan ini,” dan dengan mengalihkannya kepada dirinya, ia mengucapkan bait ini:

Wahai Somadatta, saya merasa yakin,
ketidakpuasan atas keduniawian telah mencuri indraku
di saat memikirkan perbuatan burukku yang menyerang dari segala arah:
Hari ini saya akan menjadi seorang petapa.

Setelah mendengar perkataannya, Somadatta juga ingin menjadi seorang petapa, dan untuk menjelaskan ini, ia mengucapkan bait berikutnya:

Sutasoma terkasih, pergi dan tinggallah
di dalam bilik kecil petapa jika itu membahagiakanmu;
Saya juga senang untuk menjadi seorang petapa,
hidup tidak terpisah darimu.

Kemudian untuk menolak ini, Sutasoma mengucapkan setengah bait berikut:

Anda tidak boleh pergi, atau di seluruh ruangan,
kehidupan rumah akan menjadi terhenti.

Ketika mendengar ini, orang-orang bersujud di kaki Sang Mahasatwa dan berkata, dengan meratap:

Jika Sutasoma harus menjadi seorang petapa,
apa yang akan terjadi dengan kami?

Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Jangan bersedih. Walaupun saya telah lama bersama dengan kalian, tetapi saya harus berpisah dari kalian, tidak ada yang kekal dalam segala yang terkondisi,” dan untuk mengajarkan kebenaran kepada orang banyak tersebut, ia berkata,

Seperti air yang melewati saringan,
demikianlah singkatnya hari-hari kita yang berlalu dengan cepat:
Dengan kehidupan yang demikian terbatas,
hendaknya tidak boleh ada ruang untuk kelalaian.

Seperti air yang melewati saringan,
demikianlah singkatnya hari-hari kita yang berlalu dengan cepat:
Dengan kehidupan yang demikian terbatas,
hanya orang dungu yang memberi ruang untuk kelalaian.

Terikat erat oleh nafsu-nafsu keinginan, mereka akan terjatuh dikarenakannya;
Orang-orang yang demikian akan memperbesar jumlah penghuni alam neraka,
meramaikan alam hewan dan alam hantu kelaparan,
serta melipatgandakan jumlah penghuni alam semidewa (asura).

Demikian Sang Mahasatwa memaparkan kebenaran kepada orang banyak tersebut, dan dengan naik ke atas Istana Bunga (Pubbakapāsāda), ia berdiri di tingkat ketujuh.

Dengan sebilah pedang ia memotong rambutnya dan berteriak, “Sekarang saya bukanlah siapa-siapa bagi kalian. Pilihlah seorang raja,” dan setelah mengucapkan kata-kata ini, ia membuang rambut, ikat kepala, dan semuanya ke tengah kerumunan orang banyak tersebut.

Orang-orang menangkap benda-benda itu, dan mereka meratap dengan keras ketika berguling-guling di tanah. Timbullah gumpalan debu di tempat ini sampai pada ketinggian yang hebat, dan orang-orang yang berdiri dibelakang melihatnya dan berkata, “Raja pasti telah memotong rambut, ikat kepala dan semuanya, dan melemparkannya ke tengah kerumunan. Oleh karenanya, timbul gumpalan debu di dekat istana,” dan dengan meratap demikian, mereka mengucapkan bait ini:

Gumpalan debu di sana,
lihat bagaimana ia timbul di dekat Istana Bunga kerajaan;
Raja kebenaran yang termashyur, pemimpin kita,
telah memotong rambutnya dengan sebilah pedang.

Sang Mahasatwa mengutus seorang pelayan mempersiapkan segala barang perlengkapan seorang petapa untuk dibawa kepadanya, dan meminta seorang tukang pangkas untuk memangkas rambut dan janggutnya. Setelah membuang jubah bagusnya di kursi, ia menggunting potongan kain berwarna, mengenakan kain berwarna kuning ini, mengikat sebuah patta yang terbuat dari tanah liat di bahu kirinya, dan dengan peralatan seorang pengemis di tangannya ia melangkah maju mandur dari tingkat paling atas tersebut, kemudian turun dari istana, melangkah ke luar di jalan, tetapi tidak seorang pun mengenali dirinya di saat ia pergi.

Kemudian ketujuh ratus wanita kerajaannya yang naik ke menara dan tidak menemukan dirinya, hanya melihat bundelan perhiasannya, turun kembali dan memberitahukan enam belas ribu istri raja, dengan berkata, “Raja Sutasoma, Pemimpin terkasih kalian, telah menjadi seorang petapa,” dan dengan kerasnya meratap tangis, mereka pergi keluar.

Pada waktu ini orang-orang mengetahui bahwa dirinya telah menjadi seorang petapa, dan seluruh kota menjadi sangat kacau, dan orang-orang berkata, “Mereka mengatakan, raja kita telah menjadi seorang petapa,” dan mereka berkumpul bersama di depan pintu istana dengan meneriakkan, “Raja pasti ada di sini atau di sana,” mereka berlari ke semua tempat yang sering dikunjungi dirinya, dan ketika tidak menemukan raja mereka berkeliaran ke sana dan ke sini, dengan mengucapkan ratapan mereka di dalam bait berikut:

Di sini adalah istana emasnya,
semuanya dihias dengan karangan bunga yang harum,
dikelilingi oleh begitu banyak wanita yang cantik,
raja akan sering sekali pulang kembali.

Di sini adalah istana emasnya,
semuanya dihias dengan karangan bunga yang harum,
dikelilingi oleh begitu banyak wanita yang cantik,
raja kami akan dapat menguasai dengan segala kebesarannya
dengan sanak keluarga ada di sampingnya.

Ini adalah kebunnya yang terang
dengan bunga-bunga di sepanjang musim
yang selalu berubah-ubah, dikelilingi oleh begitu banyak…

Danau birunya ditumbuhi oleh bunga teratai,
dihuni oleh burung-burung liar,
yang terlihat dari sini,
dikelilingi oleh begitu banyak …

Demikianlah orang-orang mengucapkan ratapan tersebut dalam berbagai tempat yang berbeda ini, dan kemudian setelah kembali ke halaman istana, mereka mengucapkan bait berikut:

Raja Sutasoma, sedih untuk dikatakan,
telah meninggalkan takhtanya demi bilik kecil petapa;
Dan, dengan berpakaian serba kuning,
pergi berjalan seperti gajah yang tersesat sendirian.

Kemudian mereka berangkat dengan meninggalkan semua perkakas rumah tangganya, dan dengan menggandeng tangan anak-anaknya, mereka pergi berduyun-duyun ke tempat Bodhisatta, dan bersama mereka juga ikut orang-orang tua dan anak-anaknya beserta enam belas ribu gadis penari.

Kota menjadi terlihat seperti sebuah tempat yang tidak berpenghuni, dan di belakang mereka tersebut, terdapat para penduduk desa.

Bodhisatta beserta dengan rombongannya yang mencakup panjang dua belas yojana pergi menuju ke arah pegunungan Himalaya. Kemudian Sakka, yang mengetahui tentang pelepasan kehidupan duniawi oleh dirinya, memanggil Vissakamma dengan berkata, “Teman Vissakamma, Raja Sutasoma akan pensiun dari kehidupan duniawi. Ia harus memiliki sebuah tempat untuk tinggal. Akan ada satu kumpulan yang besar dari mereka.” Dan ia mengutusnya dengan berkata, “Pergi dan bangunlah sebuah tempat pertapaan, dengan panjang tiga puluh yojana dan lebar lima yojana, di tepi Sungai Gangga di negeri Himalaya.” Ia pun melakukan demikian dan menyediakan di dalam tempat pertapaan tersebut semua yang dibutuhkan dalam kehidupan petapa, ia juga membuat jalan setapak yang mengarah lurus ke sana, dan kemudian kembali ke alam dewa.

Sang Mahasatwa masuk ke dalam tempat pertapaan itu dengan melewati jalan tersebut; setelah ia yang pertama bertahbis, ia menahbiskan yang lainnya menjadi petapa, dan akhirnya terdapat sejumlah besar yang ditahbiskan, demikian banyaknya sehingga ruang yang luasnya tiga puluh yojana itu terisi oleh mereka.

Tentang bagaimana tempat pertapaan itu dibangun oleh Vissakamma, bagaimana sejumlah besar orang tersebut ditahbiskan, dan bagaimana tempat pertapaan Bodhisatta tersebut direncanakan—semuanya ini akan dimengerti dalam hubungannya dengan Hatthipāla-Jātaka103.

Dalam kelanjutan kisah ini, jika ada satu pikiran akan nafsu keinginan atau pikiran buruk lainnya muncul di dalam pikiran siapa saja, maka Sang Mahasatwa akan mendatangi dirinya dengan terbang melalui udara dan dengan duduk bersila di angkasa, dengan memberikan nasihat, akan menyapanya dalam dua bait berikut:

Jangan timbulkan dalam pikiran akan nafsu masa lalu, dengan wajah tersenyum;
Kalau tidak, tempat kebahagiaan yang indah itu
akan membangkitkan kesenangan indriawi dan membunuhmu.

Jangan lengah, tebarkanlah cinta kasih kepada semua orang, siang dan malam;
Maka kamu akan mendapatkan alam brahma, tempat mereka
yang menjalankan kediaman luhur akan muncul.

Dan rombongan resi ini yang mengikuti nasihatnya tersebut mengalami kelahiran di alam brahma, dan kisah ini akan diceritakan semuanya seperti di dalam Hatthipāla-Jātaka.

Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata: “Bukan hanya kali ini, Para Bhikkhu, tetapi di masa lampau juga Sang Tathāgata (Tathagata) melakukan pelepasan agung terhadap keduniawian,” dan Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, ayah dan ibu adalah anggota dari kerajaan yang agung, Candā adalah Ibunya Rāhula (Rahula), putra sulung adalah Sāriputta, adiknya adalah Rahula, pengasuh adalah Khujjuttarā, Kulavaddhana, sang saudagar kaya, adalah Kassapa, panglima adalah Moggallāna, Pangeran Somadata adalah Ānanda, Raja Sutasoma adalah diriku sendiri.”

salam ceria...

Siluman Ular Putih

Ini adalah kisah yang sangat populer dari daerah Hangzhou dalam Periode Lima Dinasti. Ular Putih Bai Suzhen dan Ular hijau Xiaoqing dari Gunung Emei, memiliki kekuatan sihir merubah diri menjadi wanita muda dan cantik.


Mereka datang untuk menemukan seorang pria bernama Xu Xian yang pernah menyelamatkan hidup Ular Putih di Danau Barat kota Hangzhou pada kehidupan sebelumnya. Ular Putih jatuh cinta kepada Xu Xian pada pandangan pertama. Beberapa lama kemudian mereka segera menikah.

Dengan menulis resep, Ular Putih Bai Suzhen membantu suaminya di toko obat herbal yang mereka buka. Pasien yang kurang mampu diberikan pengobatan dan obat – obatan secara gratis. Toko dengan cepat menjadi terkenal. Suatu hari seorang rahib bernama Fa Hai melihat pasangan ini dan memperingatkan Xu Xian bahwa istrinya adalah siluman ular putih.

Saat Festival Perahu Naga, ada kebiasan untuk setiap rumah tangga menanam tanaman seperti calamus dan mugwort Tiongkok dengan tujuan mengusir roh – roh. Tentu ini berbahaya bagi Bai Suzhen dan Xiaoqing, karena mereka adalah roh yang menjelma jadi manusia. Dengan alasan sedang hamil, Bai Suzhen meminta kepada suaminya untuk tinggal dirumah.

Xu Xian menemani istrinya di rumah pada hari itu dan Dia menyiapkan sebotol anggur dengan realgar. Realgar tidak hanya untuk mengusir roh, tapi juga diangggap dapat bermanfaat bagi wanita hamil. Di bawah bujukan suaminya, Bai Suzhen tidak bisa mencari alasan lagi untuk menolak dan berpikir, dengan kemampuan sihirnya mampu membuatnya kebal dari efek realgar.

Dia kemudian meminumnya, tapi dia tidak mampu bertahan, dia menderita sakit dan gelisah, berlari ke tempat tidur dan menutup tirainya. Khawatir akan keadaan Bai Suzhen, Xu Xian bergegas ke tempat tidur dan membuka tirai. Bai Suzhen tidak lagi disana, di tempat tidur itu dia melihat Ular Putih besar melingkar. Xu Xian sangat terkejut, dia jatuh ke lantai dan meninggal.

Ketika efek realgar memudar, Bai Suzhen secara berlahan –lahan kembali ke bentuk manusia. Ia amat sedih ketika menemukan Xu Xian meninggal di samping tempat tidur. Tapi dia tahu bahwa ada Ganoderma , sebuah tanaman herbal dari Gunung Kunlun, dapat mengembalikan hidup suaminya. Ia terbang ke Gunung Kunlun untuk mencuri tanaman langit tersebut, disana dia bertemu Bangau putih dan penjaga langit yang bertanggung jawab menjaga Ganoderma.

Mereka berjuang mencegah dia mengambil Ganoderma dan Bai Suzhen kalah dalam pertempuran, tiba-tiba sebuah suara memerintahkan mereka untuk berhenti. Itu adalah suara Dewa Selatan. Bai Suzhen memohon sambil menangis meminta Dewa mau membantunya. Kagum dengan ketulusan dan ketekunan Bai Suzhen, akhirnya diberikan padanya Ganoderma tersebut.

Xu Xian segera hidup kembali setelah Bai Suzhen memberikan Ganoderma kepadanya. Tapi dia masih ingat dan takut, pada ular yang dia lihat di tempat tidur istrinya.
Bai Suzhen mengarang cerita untuk menenangkan suaminya., ia mengatakan kepadanya, Ular yang ia lihat ternyata adalah seekor naga turun dari surga. Pemandangan itu pertanda baik. Suaminya menyesal dia tidak sadar pada waktu itu, kalau tidak, dia akan membakar dupa kepada naga.

Xiaoqing menambahkan, ia juga telah melihat sesuatu yang menyerupai ular putih atau naga terbang dari tempat tidur ke jendela dan kemudian menghilang. Xu Xian berkurang kecurigaannya oleh cerita-cerita ini.

Xu Xian ingat pada Fa Hai dan pergi ke Kuil Jinshan untuk menemuinya. Fa Hai menyarankan Xu Xian menjadi rahib untuk melupakan istrinya. Fa Hai bisa mengurus roh. Bai Suzhen bertarung dengan Fa Hai di Kuil Jinshan, Dia meminta pasukan makhluk bawah air untuk membantunya dan menciptakan banjir.

Fa Hai juga memiliki kekuatan sihir dan meminta tentara langit untuk menyelamatkan kuil. Karena Bai Suzhen hamil, dia terlalu lemah untuk bertarung lebih keras, Dia menyerah dan menunggu waktu setelah melahirkan.

Xu Xian pergi menemui putranya dan membawa sebuah topi sihir dari Fa Hai untuk putranya. Topi sihir tersebut menangkap Ular Putih. Fa Hai memenjarakan Ular Putih dalam Pagoda Leifeng.

Ular Hijau, Xiaoqing tidak mampu menghadapi Fa Hai sendirian, meloloskan diri dan berlatih kekuatan sihir dengan lebih keras. Setelah anak Bai Suzhen tumbuh dewasa. Ia membalas dendam menghancurkan Pagoda Leifeng dan menyelamatkan ibunya. Akhirnya Ular Putih Bai Suzhen bersatu kembali dengan suami dan anaknya.

Karena kisah ini begitu populer, ia telah banyak ditampilkan dalam bentuk opera, film, novel, komik, kartun dan game PC. Bagian awal dan akhir cerita, telah banyak ditulis ulang.

salam ceria...

Jumat, 02 Desember 2011

Ikut Ke Alam Baka

Alkisah seorang saudagar kaya mempunyai empat orang istri. Suatu ketika tiba saatnya hendak menemui ajalnya. Saudagar hendak mengajak istri nya pergi mati bersamanya. Saudagar tentu memilih istri keempatnya, istri yang paling cantik dan paling ia sayangi.

lalu ia bertanya pada istri ke 4 " istri ku, maukah kau ikut bersama ku?" mendengar penuturan suaminya istri ke 4 berpikir dirinya masih muda dan cantik, untuk apa ikut mati bersamanya. Bila suaminya mati, tentu dia masi bisa menikah dengan pria lain. Lalu berkata pada suaminya " Maafkan aku suamiku, aku tidak bisa ikut kau pergi."

Saudagar begitu bersedih, lalu melirik istri ke 3. Dipikir - pikir, yah... tak ada istri ke 4 masi ada yang ke 3. wajah juga masih lumayan cantiklah. Kemudian berkata pada istri ke 3 "Istri ku, maukah kau ikut aku dan menemani ku?" Istri ke 3 dengan santun berkata " Maafkan saya suami ku, saya mungkin tidak bisa menemanimu ke akhirat. Tapi jangan khawatir, saya akan selalu mendoakan mu dirumah. Pagi sore memasang dupa untuk mu. "

Mendengar itu Saudagar kembali bersedih, lalu diliriknya istri ke 2. " Istri ku, maukah kau ikut dengan ku ?" lalu istri ke 2 menjawab " Saya tidak bisa ikut kamu ke alam baka, tapi saya bisa mengantar mu sampai kuburan." Akhirnya pilihan terakhir jatuh pada istri pertama. Yah.. walaupun sudah penuh keriput dan sedikit peot, tapi lumayanlah daripada tidak ada. Lalu dengan agak segan menanyakan kesediaan istri pertama.

Tanpa disangka oleh Saudagar, ternyata istri pertama menjawab " Baiklah suami ku, saya mau ikut dengan mu. kemana pun kau pergi."

Tahukah anda siapa gerangan para istri Saudagar ini ?

Istri Ke Empat mewakili harta yang kita miliki didunia ini. Suatu hari ketika tiba kita menutup mata, mereka seketika akan meninggalkan kita dan menjadi milik yang lain.

Istri ke Tiga adalah saudara, orang tua dan sanak family kita. Ketika kita meninggal mereka hanya bisa menyembahyangi dan mengenang kita. Tetap tidak bisa menemani kita menemui Raja Neraka.

Istri ke Dua adalah badan kasar kita. Ketika kita meninggal nanti, badan kasar ini juga tidak kita bawa mati. Hanya sampai di kuburan saja sudah tidak melekat pada kita.

Istri Pertama adalah Roh sejati kita, Jasa pahala dan Dosa. Ketika seseorang meninggal, tidak ada satupun barang didunia yang akan dibawanya. Hanya amal dan dosa yang mengikuti roh suci kita ke alam baka.

Berapa besar pun rumah yang anda miliki, tetap hanya akan tidur di satu ranjang saja.
Berapa banyak pun beras yang anda hasilkan dari ladang anda tetap nasi yang anda makan tak lebih dari dua liter sehari
Berapa banyak pun istri cantik dan anak - anak lucu yang anda miliki, tentu tidak bisa anda bawa mati.
Sadarilah segala hal yang berbentuk didunia ini hanyalah palsu belaka.

salam ceria...

Urat Nadi Naga

Pada jaman Tiongkok kuno, hiduplah seorang master Feng Shui (hongshui) yang sangat piawai namun berhati jahat, dia mencurahkan seluruh hidupnya untuk mencari “urat nadi naga" yang legendaris seperti yang disebutkan dalam buku-buku kuno.


Suatu hari ia melakukan sebuah perjalanan ke sebuah tempat yang terpencil. Setelah menaiki satu bukit ke bukit yang lain, dibawah terik matahari dan sulit mendapatkan air, ia benar-benar kecapekan dan kehausan.

Akhirnya ia dari kejauhan melihat sebuah bangunan yang hampir roboh dikelilingi tembok, dengan bergegas ia berlari ke bangunan tersebut dan mengetuk pintunya.

Setelah menunggu agak lama, seorang wanita tua membuka pintu. Langsung ia memohon sambil mengusap keringat yang bercucuran di keningnya karena tersengat matahari sepanjang hari, ”Nenek, bolehkah saya minta seteguk air untuk minum?” Wanita tua itu melihat wajah master Feng Shui yang penuh semangat, dan nadi leher yang tenggelam oleh panas matahari. “Tunggulah”, katanya, lalu ia membalikkan badannya, pergi perlahan meninggalkan Master Feng Shui itu tanpa mempersilahkan masuk.

Setengah hari telah berlalu, baru saja si Master Feng Shui itu telah hilang kesabarannya, wanita tua itu kembali dengan membawa semangkok air ditangannya. Segera saja Master Feng Shui itu meraih mangkok dari tangan nenek tua itu dan seketika hendak meneguk habis air dalam mangkok itu, namun ia menemukan beberapa sekam mengapung diatas air. Ia menjadi sangat marah, namun karena ia begitu haus, dengan enggan ia meniup sekam itu ke pinggir mangkok dan meminumnya dengan perlahan.

Ia berpikir: ”Orang tua ini sungguh sangat tidak ramah, dan juga pelit; ia bahkan tak memberiku semangkok air yang bersih. Biarlah, aku akan memberinya pelajaran...” Master Feng Shui memutuskan hatinya dengan bulat, dan berkata pada wanita tua itu:”Nenek, terima kasih airnya, tetapi saya tak punya apapun untuk menggantinya. Saya adalah seorang master Feng Shui, bagaimana kalau saya memilihkan tempat pemakaman yang paling sesuai untuk nenek, sehingga dapat beristirahat dengan tenang bila kelak waktunya telah tiba.”

Wanita itu mengikuti master Feng Shui ke sebuah bukit yang terdekat, dan master itu mengeluarkan penunjuk arah Feng Shui nya. Setelah lama melakukan pengukuran dan pengamatan, akhirnya ia menggambar sebuah tanda silang di tanah dan berkata pada wanita tua itu,”Inilah tempat yang paling menguntungkan, nenek dapat beristirahat disini bila waktumu tiba.” “Bagus”, kata nenek menerima saran Master Feng Shui itu, dan berkata,”Anda sebaiknya lekas-lekas pergi sebentar lagi akan ada badai.”

Sepuluh tahun kemudian, si master Feng Shui itu melewati lagi tempat yang dulu ditunjuknya. Ia teringat wanita tua yang dulu ditemuinya serta tempat pemakaman yang ditunjuknya untuk wanita tua itu. Sebenarnya tempat yang dipilihkan dia merupakan sebuah tempat terlarang dan membawa sial. Dengan kata lain, ketika wanita tua itu dimakamkan disana, keluarga yang ditinggalkannya akan tertimpa malapetaka. Master Feng Shui itu telah sampai dilokasi pemakaman, dengan cepat ia mengenali batu nisan yang berdiri ditempat yang dulu ia pilihkan untuk pemakaman nenek tua itu.

Si Master Feng Shui itu melihat sekeliling dan mendapati bangunan rusak yang dulu dia lihat sudah tidak ada lagi disana, kemudian dia menuruni bukit itu, tempat yang dulu terpencil itu kini telah berubah menjadi sebuah kota kecil yang sibuk. Ia menuruni bukit dan mengetuk pintu rumah yang paling mewah dikota itu. Seorang anak muda membukakan pintu dengan hangat dan mempersilakannya masuk.

Master Feng Shui itu menanyakan bangunan yang telah rusak dan perihal nenek tua yang dulu ditemuinya. Pemuda itu dengan antusias bertanya:”Andakah master Feng Shui itu? Nenek meninggal sesaat anda pergi, dan mengatakan perihal anda sebelum meninggal. Dia bersikeras meminta untuk dikuburkan ditempat yang anda pilihkan, dia bilang karena anda telah memilihkan dengan susah payah.”

Pemuda itu membawakan semangkok air sambil berkata, ”Minumlah air ini dengan pelan-pelan, jangan meminumnya dengan tergesa-gesa, anda baru saja menempuh perjalanan jauh dibawah terik matahari. Itulah yang selalu nenek katakan. Saya berharap anda tidak marah seperti 10 tahun yang lalu ketika ia memberi anda air untuk diminum.

Nenek selalu menaruh beberapa butir sekam kedalam air setiap kali pengembara datang dan meminta air, agar orang tersebut tidak meminumnya dengan tergesa-gesa sehingga tidak membahayakan keselamatannya. Begitu mendengar perkataan ini, si Master Feng Shui ini hampir saja pingsan. Sungguh sangat disayangkan, sudah sangat terlambat untuk memperbaikinya.

Akan tetapi, melihat kehidupan keluarga ini demikian makmur, si Master Feng Shui ini tak habis pikir. Ia berkata pada dirinya sendiri,”Apakah aku telah melakukan kesalahan saat itu? Sungguh tidak mungkin.”

Dengan ditemani si pemuda itu, Master Feng Shui kembali mengunjungi lokasi pemakaman nenek tua itu. Ia mengeluarkan kompas Feng Shui nya, dan dengan cermat diukurnya berulang-ulang. “Mustahil, mustahil”, gumam Master Feng Shui itu yang semakin penasaran. Mungkinkah ini “urat nadi naga” yang telah dia impikan selama bertahun-tahun? Pemuda itu lalu menceritakan peristiwa yang terjadi 10 tahun yang lalu. “Tak lama setelah anda pergi, tempat ini dihajar angin topan, hujan lebat terjadi selama 3 hari tanpa henti. Banjir bandang menghanyutkan semuanya termasuk bangunan yang rusak itu.”

“Ketika banjir telah surut, keluarga kami harus membangunnya mulai dari nol lagi. Seperti yang anda lihat, tempat asli dari bangunan tua itu sekarang telah berubah menjadi rumah yang paling menonjol. 10 tahun yang lalu, hanya ada beberapa rumah disini, sekarang tempat ini telah menjadi sebuah kota kecil yang indah, terimakasih untuk anda ….”

“Lama sebelum nenek saya meninggal, perlu dilakukan sesuatu untuk menemukan kembali lokasi yang telah anda pilihkan untuknya. Nenek bilang, keluarga kami akan menjadi sangat beruntung bila nenek dimakamkan dilokasi ini,” lanjut pemuda itu.

Sebenarnya perhitungan si Master Feng Shui ini sedikit pun tidak meleset, tempat dimana ia menggambar tanda silang benar-benar bukan tempat yang memberi keberuntungan. Akan tetapi, banjir telah merubah topografi disekitar tempat itu, dan merubahnya menjadi “urat nadi naga”.

Sebagaimana terdapat sebuah perkataan,”Yang mendiami tanah penuh berkah adalah dia yang telah diberkahi dan begitu pula sebaliknya. Apa yang telah ditakdirkan untuk menjadi miliknya, maka dia akan mendapatkan apa yang patut dia dapatkan. (The Epoch Times/tnm)

Urat Nadi Naga – menurut teori Feng Shui, garis energi yang terletak disisi rantai pegunungan disebut sebagai urat nadi naga, dan lokasi yang paling menguntungkan berada di akhir barisan pegunungan itu.

salam ceria...

Asal Usul Buddha Maitreya

Dahulu kala hidup seorang pemuda pertapa yang memiliki keluhuran budi pekerti. Wajahnya sangat rupawan, dia sengaja hidup sangat sederhana. Semenjak terlahir memiliki kesadaran bervegetarian. Bisa dikatakan asal usul pemuda tersebut dalam kehidupan sebelumya adalah seorang bodhisatva. Yang sengaja dilahirkan kembali kedunia untuk menyelamatkan umat manusia.


Suatu kali saat melakukan perjalanan ke suatu tempat. Pertapa muda tersebut terjebak dihutan yang sudah kering karena dampak kemarau yang berkepanjangan. Karena tidak menemukan buah2an dan sayuran, akhirnya si pertapa muda tergeletak lemas.

Sambil menahan lapar selama 7 hari lamanya. Selama dihutan yang kering tersebut dia sangat tersiksa tergolek lemas. Siang hari tersiksa oleh terik matahari. Rasa dingin menusuk tulang dimalam harinya. Sambil merintih menahan perihnya perut akibat kelaparan dan kehausan.

Didekat tempat peristirahatan pertapa muda tersebut tinggallah ratu kelinci dan anaknya semata wayang. Ratu kelinci tersebut tergugah dengan ketulusan pertapa muda tersebut. Lalu mengatakan pada anaknya.
Ratu kelinci : "nak pertapa muda ini adalah titisan bodhisatva yang agung...dikehidupan kali ini mengemban misi untuk menyelamatkan kehidupan seluruh umat manusia( mahluk).....dia tidak boleh mati muda akibat kelaparan....."

Anak kelici: "maksud ibunda apa"?

Ratu kelinci :" ibu akan mengorbankan diri melompat diperapian ditempat pertapa itu beristirahat ....agar pertapa dapat makan tubuh ibu dan memiliki lagi tenaga untuk menyelamatkan umat manusia(mahluk)... Setidaknya pengorbanan ibu berguna untuk seluruh umat manusia(mahluk)...kamu jaga diri baik2 karena ibu tidak dapat bersamamu dan menjagamu lagi...."

Singkat cerita setelah berpamitan Ratu Kelinci sengaja bunuh diri , melompat keperapian mempersembahkan tubuhnya untuk pertapa muda tersebut....

Lalu si anak kelinci berkata: "Ibunda melakukan pengorbanan yang amat luhur dan mulia untu seluruh umat manusia(mahluk) , hal yang demikian agung mana boleh hanya ibunda yang melakukan... Saya juga wajib melakukannya...

Lalu tdk lama kemudian anak kelinci pun menyusul Ratu Kelinci melompat dalam perapian. Percakapan mereka teryata didengar oleh pertapa muda tersebut. Lalu pertapa muda tersebut menangis dan berpikir. Tuhan mengapa didunia ini engkau membiarkan Ratu Kelinci dan anaknya yang mulia . Bunuh diri melompat kedalam perapian, berkorban demi hamba yang hina ini. Hamba tidak pantas menerima persembahan ini...(Karena kesadarannya mempertahankan vegetariannya)... Lalu menyusul juga pertapa muda tersebut melompat keperapaian dan bunuh diri....

Saudara sedharma.... siapakah Ratu kelinci tersebut....? Dia adalah Sidharta Gautama pada satu kali kehidupan sebelumnya. Lalu siapakah anak kelinci tersebut...? Dia adalah pangeran Rahula , putra kandung semata wayang pangeran Sidharta Gautama.... Lalu siapakah pertapa muda tersebut...? Dia adalah reinkarnasi Buddha Maitreya...

Semoga cerita ini menginspirasi kita semua untuk mempertahankan ikrar vegetarian kita sampai titik darah penghabisan.... Dalam menerobos dan menghadapi segala rintangan.

salam ceria...

Zhong Li Quan

Zhong Li Quan adalah dewa tertua kedua dalam Delapan Dewa, selain juga pemimpin mereka. Ia juga dikenal sebagai Han Zhong Li atau Zhong Li dari Han karena dilahirkan pada zaman Dinasti Han. Ia memiliki kipas dari daun palem yang dapat membangkitkan orang mati. Ia memiliki nama famili yang unik dan sangat jarang yaitu Zhong Li.


Berasal dari Yantai, konon Zhong Li Quan adalah panglima perang dinasti Han yang memilih hidup bertapa di usia lanjutnya. Saat ia lahir, suatu cahaya yang sangat menyilaukan menerangi kamarnya. Sejak itu, ia tidak berhenti menangis sampai tujuh hari setelah kelahirannya.

Sumber lainnya mengatakan ia seorang wakil panglima yang lari ke daerah pegunungan saat kalah dalam perang melawan bangsa Tibet.
Di sana ia ditahbiskan oleh lima dewaTaoisme untuk menjadi calon dewa. Beberapa ratus tahun kemudian, dialah yang mengajari Li Dong Pin untuk menjadi dewa.

Dalam kisah lainnya dia diceritakan bertemu dengan seorang pendeta Tao di hutan yang setelah diminta, memberikan resep untuk menjadi dewa. Tidak lama setelah meninggalkannya, Zhong Li Quan hendak melihat gubuk pendeta itu untuk terakhir kalinya dan terkejut saat mendapati gubuk tersebut telah lenyap. Ada pula legenda yang mengatakan bahwa ia membagikan uang logam perak pada fakir miskin saat bencana kelaparan tiba.

Satu hari, dinding gubuknya rubuh saat ia sedang bermeditasi dan menemukan lambang dari batu pualam yang berisi resep menjadi dewa. Ia mengikuti petunjuk tersebut dan berubah menjadi dewa dalam selubung asap putih yang menjulang tinggi.
Zhong Li Quan biasa digambarkan sebagai seorang yang tinggi besar berperut buncit dan bertelanjang dada dengan kumis dan janggut yang panjang.

salam ceria...

Li Tie Guai

Li Tie Guai adalah salah satu dari Legenda Delapan Dewa. Konon Lao Tze mengajarkan ilmu - ilmu Tao kepada Li. Setelah Li mencapai keabadian sehingga rohnya bisa meninggalkan tubuhnya, beliau hendak melakukan perjalanan menuju gunung Hua Shan. Sebelum berangkat, Li berpesan pada muridnya agar membakar tubuhnya bila dalam 7 hari beliau tidak kembali.


Namun setelah 6 hari muridnya mendapat kabar kalau ibunya jatuh sakit . Muridnya bingung antara menunaikan tugas sebagai murid atau kembali pada ibunya. Akhirnya muridnya memutuskan untuk kembali pada ibunya. Namun sebelum pergi, dia membakar dahulu badan Li. Pada hari ke tujuh Li pulang dan menemukan tubuhnya telah menjadi abu.

Dengan terpaksa Li memasuki tubuh seorang pengemis yang baru saja meninggal. Tubuh pengemis tersebut pincang dan cacat. Li tidak ingin hidup dengan tubuh barunya. Namun Lao Tze meminta Li untuk menerima nasib dan kemudian memberinya sebuh tongkat besi untuk membantunya berjalan. Benda lain yang dibawa Li adalah labu yang berisi ramuan ajaib.

Li kadang-kadang digambarkan dengan temperamen tinggi dan keras kepala, tapi murah hati terhadap orang miskin, orang sakit dan yang membutuhkan. Dengan menggunakan obat khusus dari labu-Nya, dia dapat mengurangi penderitaan orang lain. Ia sering digambarkan sebagai seorang pria tua jelek dengan wajah kotor, jenggot kumal, dan rambut berantakan yang diikat dengan pita emas.

Dia berjalan dengan bantuan sebuah tongkat besi dan sering memikul labu miliknya di bahu atau dipegang ditangan. Dia juga sering digambarkan sebagai tokoh lucu, turun ke bumi dalam bentuk seorang pengemis dan menggunakan kemampuannya untuk memperjuangkan nasib yang membutuhkan dan tertindas.

Badan pincang Li menunjukan kepada manusia bahwa badan kasar ini tidaklah abadi. Tidak ada hal didunia ini yang bisa dipertahankan selamanya. Bila tak ada yang bisa dipertahankan, apa pula yang harus diperebutkan?

salam ceria...

Zhang Guo Lao

Zhang Guo Lao berarti "si tua Zhang Guo" adalah salah satu dari Delapan Dewa. Ia adalah seorang pendeta Tao yang hidup di zaman Dinasti Tang. Saat masa pemerintahan Ratu Wu (608-705), ia mengaku telah hidup beberapa ratus tahun. Ratu Wu pernah mengundangnya untuk turun gunung, tetapi ia berpura-pura mati.


Ia juga pernah memerintah sebagai Menteri bagi Kaisar Yao di kehidupan sebelumnya. Suatu ketika, kaisar Xuanzong menjadikannya pejabat dengan gelar Menteri Guanglu Biru Keperakan .

Zhang Guo Lao hidup sebagai seorang tabib dan ahli nujum di gunung Tiáo in di propinsi Heng . Ia senang membuat minuman dari tanaman dan tumbuhan obat. Anggota Delapan Dewa senang minuman buatannya yang dipercaya mengandung obat penyembuh. Selain penjelmaan dari kelelawar putih, ia menunggangi keledai ajaib yang dapat berjalan ribuan mil per hari secara terbalik (menghadap ke belakang).

Keledai tersebut dapat dilipat seperti kertas dan disimpan di dalam sakunya. Untuk mengembalikannya, cukup diperciki air segenggam penuh. Biasanya ia membawa bulu burung phoenix atau buah tho(buah panjang umur). Simbol dari Zhang Guo Lao adalah tambur ikan, sebuah instrumen yang mampu menghasilkan suara bising. Salah satu yang paling eksentrik dari Delapan Dewa, ada jurus kungfu yang dibuat untuk menghormatinya, seperti tendangan saat salto ke belakang, dan kayang hingga bahu menyentuh tanah.

Pada tahun ke-23 masa periode Gai Yüan, pemerintahan kaisar Xuanzong (735) ia dipanggil ke Luoyang, dan dijadikan Pemimpin Akademi Pemerintah dengan gelar "Guru Besar". Pada masa itu ada seorang pendeta Tao bernama Yue Fa Shan yang disukai kaisar karena keahliannya memanggil arwah. Sang kaisar menanyakan siapa itu Zhang Guo Lao. Jawabnya,"Jika saya memberitahu Anda, maka saya akan mati, kecuali Anda berjanji datang ke Zhang Guo Lao secara pribadi dan memohon untuk memaafkannya, maka saya dapat hidup kembali."

Setelah Xuanzong bersedia, maka Yue Fa Shan menjawab bahwa Zhang adalah "penjelmaan kelelawar putih yang sudah ada sejak awal kehidupan." Pendeta tersebut langsung mati di tempat. Setelah Xuanzong meminta maaf, Zhang memerciki wajah sang pendeta dengan air, sehingga ia hidup kembali. Tak lama kemudian, Zhang jatuh sakit dan meninggal sekitar tahun 742-746 di gunung Tiáo. Ketika muridnya membuka kembali kuburnya, mereka mendapati kubur tersebut kosong.

salam ceria...

Legenda Bunga Mawar

Dahulu pohon mawar hanya terdiri dari daun hijau yang lebat dan tidak berbunga. Lalu kenapa sekarang bisa berbunga dengan cantik? Ada sebuah cerita yang sangat mengharukan.


Dahulu kala, di perkampungan bunga mawar, ada sebuah gunung. Di atas gunung ada sebuah sumber air, mereka menamakannya “sumber air emas”, dan puncak gunung ini diberi nama “Gunung Air” .

Di kaki Gunung Air ini ada sebuah desa. Di desa ini hiduplah seorang pemuda dan pemudi yang hidup serba susah. Si pemuda bernama Liu Lang yang sudah yatim piatu. Saat kedua orang tuanya meninggal, mewariskan sebuah kampak. Sumber hidupnya mencari kayu di hutan.

Si pemudi bernama Chui Yin. Ketika orang tuanya meninggal mewarisinya sebuah cangkul dan sebuah bakul, mata pencahariannya adalah mencari obat-obat rumput di hutan.

Mereka berdua setiap sore pulang dari hutan. Si pemuda memikul kayu dan yang pemudi memikul obat-obat rumput. Mereka berdua selalu saling menjaga, saling memperhatikan dan saling mencintai. Tidak berapa lama kemudian mereka menjadi sepasang suami istri.

Pada suatu hari Liu Lang sedang mencari kayu dibagian barat gunung sedangkan Chui Yin mencari obat-obat rumput di sebelah timur.

Setelah memotong kayu Liu Lang merasa kelelahan dan tertidur diatas kayunya. Ia bermimpi. Dalam mimpinya tercium aroma bunga yang sangat harum. Dia lalu bangkit dan mengikuti aroma bunga itu. Setelah berjalan beberapa saat di melihat sebuah pintu berbentuk bulan sabit.

Dia berpikir, sejak kecil saya telah mengeliling seluruh Gunung Air ini, tetapi tidak pernah melihat ada sebuah taman. Terdorong rasa penasaran dia mendorong pintu. Setelah pintu terbuka dia sangat terkejut, dibalik pintu itu adalah sebuah taman yang besar.

Di dalam taman ini ditumbuhi berbagai jenis bunga yang sangat indah, hembusan angin disini penuh dengan aroma bunga yang wangi semerbak. Dia tidak tahu bahwa taman bunga ini adalah milik Dewi Ibunda Ratu di langit.

Setiap tahun di bulan Mei ketika seluruh bunga bermekaran, Dewi Ibunda Ratu selalu membawa peri-peri turun dari langit datang ketempat ini bertamasya sambil menikmati panorama ditaman bunga ini.

Liu Lang sepanjang jalan menikmati pemandangan ini sambil memuji, tidak terasa dia telah berada ditengah taman bunga, dia melihat ada sebuah pot bunga besar yang terbuat dari Kristal.

Di dalam pot kristal ini tumbuh sejenis bunga. Kelopak bunga ini sangat cantik berwarna merah menyala sangat menarik. Bunga ini sangat mirip dengan Chui Yin ketika dia tersenyum, sayang bunga yang sangat cantik ini hanya tumbuh 1 kuntum saja,.

Liu Lang memperhatikan bunga ini dengan cermat.
"Oh…. Bukankah ini bunga mawar? Seluruh Gunung Air penuh dengan pohon mawar, tetapi tidak pernah berbunga, kenapa pohon mawar disini dapat berbunga? Berbunga dengan sangat cantik. Oh ya saya akan memetik bunga ini membawa pulang menghadiahkannya kepada adik Chui Yin, dia pasti akan sangat senang," ujarnya lirih.

Liu Lang memetik bunga mawar ini, ketika membalikkan badan akan meninggalkan tempat itu, dia melihat ada 2 orang prajurit dari langit yang memakai baju besi. Salah seorang yang memegang tombak menghardiknya.

”Hai… Sungguh berani manusia dari bumi, berani memetik bunga dari surga!”
Setelah berkata demikian menangkap Liu Lang membawanya pergi.

Sedangkan ditempat yang lain, Chui Yin ketika hendak pulang tidak bertemu dengan Liu Lang. Dia lalu segera naik kepuncak gunung mencarinya, ketika sampai di puncak dia mendengar suara Liu Lang.

”Adik Chui Lin, saya berada disini,” terdengar teriakan Liu Liang.

Ketika Chui Yin mengangkat kepalanya melihat, terlihat kedua tangan Liu Lang terikat dibelakang, disampingnya ada dua orang prajurit sedang berdiri ditepi jurang. Melihat keadaan ini Chui Yin dengan terisak lari menuju ketempat Liu Lang. Kedua prajurit dari langit segera menghardik.

”Dia melakukan kesalahan besar, berani memasuki taman bunga Dewi Ibunda Langit, dan memetik bunga mawar dari surga yang hanya sekuntum saja. Sekarang kami akan membawa pergi, dia akan menerima hukumannya yaitu kerja paksa seumur hidupnya,” kata prajurit itu.

Mendengar perkataan kedua prajurit dari lari, Chui Yin menjadi panik, sambil menangis dia memohon :”Saya mohon jangan bawa dia pergi, kembalikan abang Liu Lang saya.” Dengan senyum mengejek kedua prajurit ini berkata :”Ha…ha…ha.. kembalikan abang Liu Langmu, boleh saja, jika seluruh Gunung Air ini bisa dipenuhi bunga mawar yang bermekaran?” setelah berkata demikian, prajurit yang memegang tombak mengangkat tombaknya menunjuk ke jurang terlihat sebuah kilat menyambar Chui Yin melihat hal itu jatuh pingsan.

Entah sudah berapa lama dia tidak sadar. Ketika tersadar dia memandang keatas gunung, Liu Lang sudah tidak berada disana. Teringat hal itu dia menangis lagi.

Chui Yin adalah seorang yang sangat pengasih dan pemberani. Berharap untuk membuat Liu Lang bisa pulang dan membuat pohon mawar di seluruh gunung ini bisa berbunga, setiap malam ketika bintang bersinar dengan gemerlap dia akan naik kegunung mengambil seember demi seember air, di sumber air emas dan menyirami seluruh pohon mawar yang ada digunung itu,.

Sampai tengah malam dengan kecapekan dia pulang ke rumahnya. Di perjalanan batu-batu tajam membuat kedua telapak kakinya terluka berdarah, duri-duri pohon mawar melukai seluruh badannya. Keringat bercucuran dan kaki berdarah, keringat bercampur darah menetesi setiap jalan di gunung ini.

Setelah 10 kali musim semi berlalu, hari ini ketika Chui Yin hendak naik ke gunung, ketika membuka pintu rumahnya hendak keluar, Wah! Terlihat seluruh gunung penuh dengan bunga merah segar yang bermekaran, seperti barisan semut, seperti nyala api. Bunga mawar seluruhnya bermekaran! Dengan gembira Chui Yin memetik sekuntum bunga mawar sambil lari ke atas gunung . Dia berteriak dengan gembira.

”Abang Liu Lang.. abang Liu Lang seluruh bunga mawar sudah bermekaran,” teriaknya.

Dia lari ke puncak gunung dan berteriak ke jurang, pada saat itu sebuah suara petir berbunyi dengan keras. Seberkas cahaya yang sangat menyilaukan mata dan terlihat sebuah bayangan orang, ketika Chui Yin membuka matanya melihat dengan jelas. Dia melihat Liu Lang yang dirindukannya siang dan malam berdiri didepannya.

Dia jatuh ke pelukan Liu Lang dengan bahagia. Liu Lang meraba seluruh badan Chui Yin yang penuh luka, hatinya sangat sakit, air mata menetes tidak berhenti bagaikan kalung mutiara yang putus talinya. Menetes jatuh ke wajah Chui Yin dan bunga mawar yang bermekaran.

Setelah itu setiap musim semi, di gunung ini bunga mawar akan bermekaran sangat indah. Untuk memperingati sepasang suami istri yang berjasa membuat bunga mawar ini bermekaran, akhirnya penduduk setempat menamakan gunung sebagai Gunung Chui Yin, dan menamakan Sumber air Emas ini sebagai Sumber Air Liu Lang, dan mendirikan sebuah menara untuk memperingati mereka berdua.

Setelah Liu Lang dan Chui Yin meninggal mereka menjelma menjadi dewa dan dewi. Di atas langit sebagai dewa yang mengurus bunga, mengurus seluruh bunga yang tumbuh di muka bumi ini. Setiap tahun ketika bunga mawar bermekaran digunung ini mereka akan turun ke bumi menikmatinya. Di malam yang sunyi mereka berdua akan berdiri diatas menara menikmati pemadangan bunga yang indah ini.

salam ceria...

Jembatan Delapan Dewa

Dahulu kota Xiangthan tidak semewah sekarang, Yuhu dikelilingi pengunungan tinggi. Di sebelah barat Yuhu ada sebuah pengunungan yang bernama gunung panjang umur, kenapa dinamakan gunung panjang umur? Karena diatas gunung tinggal seorang kakek marga Zheng yang sudah sangat tua.


Rambut dan jenggotnya semua sudah putih, tetapi badannya masih sangat sehat, tidak ada benar-benar mengetahui umur kakek ini, ada yang mengatakan dia sudah berumur lebih dari 140 tahun, ada yang mengatakan bahkan lebih tua dari itu.

Dia sendirian tinggal diatas gunung, mendirikan sebuah gubuk, setiap hari dia pergi mencari kayu bakar, berburu, bercocok tanam semuanya dapat dilakukannya, sayuran yang ditanamnya sangat subur. Setiap dia pergi berburu pasti mendapat binatang buruan, sehingga persediaan pangannya tidak habis dimakan sendiri. Tetapi dia sendiri sangat hemat, sisa makanannya akan dibagi kepada fakir miskin.

Setiap ada yang datang kerumahnya meminta bantuannya, seperti tetangga, teman, waluapun kenal atau tidak, dia akan sebisa mungkin membantu mereka. Terkadang karena membantu orang lain, dia sendiri tidak ada makanan lagi, maka dia akan pergi kehutan mengambil sayuran dan buah-buah hutan untuk dimakan

Pada suatu malam, ketika bulan purnama, dia sedang menganyam sepatu jerami. Tiba-tiba angin bertiup dengan kencang, dijalan dia melilhat ada 8 orang sedang menuju kearahnya, diantara mereka ada seorang wanita, orang yang berjalan paling depan adalah seorang kakek yang berjenggot putih, ditangannya memegang sebuah pancing, dia menyapa kakek Zheng, “Sobat tua, kami kebetulan lewat daerah ini, bolehkah kami masuk kerumahmu beristirahat sebentar melepaskan lelah?”
Kakek Zheng dengan gembira menjawab, “ Dengan senang hati, tetapi gubuk saya terlalu kecil, saya takut tidak muat untuk kalian semua.” Kakek jenggot putih menjawab, “Tidak masalah, kami berdesakan sedikit pasti muat.

”Setelah berkata demikian 8 orang ini masuk kedalam rumah, sungguh heran gubuk kecil ini yang biasanya hanya ada 3 orang saja sudah kelihatan sangat sempit, tetapi ketika 8 orang ini masuk dan duduk didalam gubuk kelihatan masih lapang, kakek Zheng merasa heran.

Pada saat ini seseorang yang bajunya compang camping, wajahnya hitam, memegang tongkat karena kakinya pincang sedang berkata, “Sobat tua, kami sudah lapar, apakah ada makanan yang bisa engkau sediakan untuk kami?” Kakek Zheng segera berkata, ‘”Ada!Ada! kelihatannya kalian semua datang dari tempat yang jauh, sudah lapar dan capek, kebetulan hari ini ketika saya berburu mendapat seekor kelinci, akan saya hidangkan untuk kalian.” Setelah berkata demikian kakek Zheng pergi kelemari mengeluarkan seguci arak, dan sepiring daging kelinci yang sudah dimasak dengan harum, meletakkannya diatas meja kecil yang terbuat dari bambu.

Seorang pelajar yang tangannya memegang suling berkata, “Suasana malam ini adalah malam purnama yang sangat indah, kenapa kita tidak membawa makanan ini ke tepi danau dan menikmatinya disana?” Seseorang yang wajahnya brewok bertepuk tangan menyetujui saran itu, dan yang lain semua setuju, akhirnya mereka ada yang mengangkat guci arak, ada yang mengambil piring daging kelinci, ada yang mengangkat meja kecil menuju ketepi danau, masing-masing memilih sebuah batu granit lalu duduk diatasnya, mulai menyantapi makanan dan meminum arak, sepanjang malam kakek Zheng sibuk melayani mereka, sebentar menyeduh teh, sebentar naik ke atas gunung mencari buah-buahan hutan untuk mereka, keadaan tersebut berlaku sampai subuh, kemudian salah seorang dari mereka yang memakai baju dengan keadaan dada dan perut gendutnya terbuka berkata, “Sobat tua, engkau juga sudah capek, sekarang bagaimana kami dapat membalas budimu, apapun permintaanmu pasti akan kami kabulkan.”

Kakek Zheng sambil menggelengkan kepalanya berkata, “Saya tidak mempunyai permintaan, apapun saya tidak ingin?” Orang brewok ini berkata lagi, “Gubukmu sangat kecil, apakah engkau tidak ingin sebuah istana yang besar?” Sambil tersenyum kakek Zheng menjawab,”Bumi ini demikian luas, gubuk kecil ini sudah cukup untuk tempat saya berteduh.”

Seorang pendeta Toa yang membawa pedang bertanya lagi, “Sobat tua, kehidupan mewah apa saja yang ada didunia ini terserah engkau pilih.”
Kakek Zheng berkata” Saya memandang kemewahan dunia ini seperti sebuah tali, saya tidak ingin kaki tangan saya terikat oleh tali ini, sedangkan nyawa, setiap orang akan mengalami tua dan mati, ini semua adalah hal biasa yang tidak dapat dihindari.”


Mendengar perkataan kakek Zheng, wanita cantik ini berkata, “Wah! Kehidupan mewah dan panjang umur engkau juga tidak menginginkannya, apakah engkau ingin menjadi dewa!”
Kakek Zheng berkata, “Setiap hari saya hidup dengan gembira dan bahagia sudah seperti dewa, walaupun langit runtuh saya tidak peduli, sejak lama sudah seperti dewa ditengah kehidupan manusia ini.”

Setelah didesak oleh mereka semua, setelah berpikir sejenak kakek Zheng berkata, “kalian semua mendesak saya, baiklah saya akan mengajukan sebuah permintaan. Danau Yuhu sangat besar berjalan dari tepi danau timur ke barat memakan waktu setengah hari, sangat tidak praktis, jika kalian dapat membangun sebuah jembatan, maka akan sangat berguna untuk masyarata ditempat ini.”

Orang yang berwajah brewok berkata, “ Oh itu adalah hal yang gampang! Kami akan mengabulkan permintaanmu!”
8 orang ini keluar dari gubuk kakek Zheng, sedangkan kakek Zheng tidak mengikuti mereka keluar, dia sedang memasak air menyeduh teh untuk mereka. Setelah air mendidih dan teh sudah siap diseduh, dia membawa teh tersebut keluar untuk mereka, dia melihat sebuah jembatan yang panjang diatas danau Yuhu, 8 orang tersebut sedang berjalan diatas jembatan menuju kearah lain, kakek Zheng mengejar dibelakang mereka sambil berteriak, tiba-tiba dia melihat ada 8 gumpalan awan, 8 orang tersebut sambil melambaikan tangannya, naik keatas gumpalan awan terbang melayang pergi.

Kakek Zheng kembali keatas jembatan dengan teliti dia memeriksa keadaan jembatan, jembatan ini terbuat dari 8 keping batu granit, keadaan sangat rapi, kuat dan jembatan ini sangat lebar.

Keesokan harinya, masyarakat didaerah ini melihat jembatan ini, mereka semua sangat gembira. Sesuai dengan penuturan kakek Zheng mereka semua menerka pasti semua ini adalah perbuatan 8 dewa langit yang turun kebumi membantu mereka. Akhirnya mereka sepakat menamakan jembatan ini menjadi jembatan 8 dewa.

salam ceria...
maaf sxlg maaf © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute