KUNJUNGAN BODDHISATTA KE KOTA RAJAGAHA SETELAH BERDIAM SELAMA TUJUH HARI DI HUTAN MANGGA ANUPIYA Setelah menjadi petapa, Bodhisatta berdiam selama tujuh hari dalam kebahagiaan pertapaan di hutan mangga yang disebut Anupiya kemudian berjalan kaki sejauh tiga puluh yojanà dalam sehari dan memasuki Kota Ràjagaha. (Pernyataan ini diambil dari Komentar Buddhavaÿsa dan Komentar Jàtaka).
MEMASUKI RAJAGAHA UNTUK MENGUMPULKAN DANA MAKANAN
Ketika Beliau akan mengunjungi Kota Ràjagaha untuk mengumpulkan dàna makanan, Beliau berdiri di pintu gerbang timur kota itu; Beliau berpikir, “Jika Aku mengirim pesan kepada Raja Bimbisàra mengenai kunjungan-Ku, ia akan tahu bahwa Pangeran Siddhattha, putra Raja Suddhodana, telah datang ke kotaku; kemudian dengan penuh perhatian dan penghormatan ia akan mengirimkan banyak harta benda kepada-Ku. Tidaklah tepat bagi seorang petapa seperti-Ku untuk memberitahukannya dan menerima empat kebutuhan dengan cara seperti itu. Sekarang, Aku akan pergi mengumpulkan dàna makanan.” Jadi, setelah mengenakan jubah Pamsukålika yang dipersembahkan oleh Brahmà Ghatikara dan mengambil mangkuk-Nya, Bodhisatta memasuki kota melalui pintu gerbang timur dan mengumpulkan dàna makanan dari rumah ke rumah.
Tujuh hari sebelum Bodhisatta memasuki Kota Ràjagaha untuk mengumpulkan dàna makanan, sebuah festival sedang dirayakan oleh orang banyak. Pada hari Bodhisatta memasuki kota. Raja Bimbisàra mengumumkan dengan tabuhan genderang, “Festival telah selesai. Para penduduk harap segera kembali ke pekerjaannya masing-masing.” Pada waktu itu para penduduk masih berkumpul di halaman istana. Sewaktu raja membuka jendela dan melihat keluar untuk memberikan perintah yang diperlukan, ia melihat Bodhisatta yang memasuki Ràjagaha dengan penuh ketenangan.
Melihat penampilan yang anggun dari Bodhisatta, para penduduk Ràjagaha menjadi sangat gembira dan terjadi kegemparan di seluruh kota seperti ketika Gajah Nàlàgiri, yang juga disebut Dhammapàla, memasuki kota atau seperti para penghuni Alam Tàvatimsa yang ketakutan saat Raja Asura bernama Vepaciti, mendatangi tempat mereka.
Ketika Bodhisatta mulia berkeliling dengan keagungan raja Gajah Chaddanta untuk mengumpulkan dàna makanan dari rumah ke rumah di Kota Ràjagaha, para penduduk menyaksikan penampilan anggun yang tiada bandingnya dalam diri Bodhisatta, mereka merasa sangat gembira dan terheran-heran, penasaran ingin melihat bagaimana tingkah laku Bodhisatta yang unik.
Salah satu orang berkata kepada orang lainnya, “Teman, bagaimana ini? Apakah istana bulan yang turun ke alam manusia dengan cahayanya yang menyembunyikan ketakutan Rahu Si Raja Asura?”
Orang kedua menjawab dengan nada mengejek, “Apa yang kau katakan, teman? Pernahkah engkau melihat bulan yang turun ke alam manusia? Itu adalah Dewa Kàma, Dewa Keinginan, melihat kemegahan raja kita dan para penduduknya, ia turun dan menyamar untuk bermain dan bersenang-senang dengan kita.”
Orang ketiga berkata, “O teman, bagaimana itu? Apakah kau gila? Dewa Kàma memiliki tubuh berwarna hitam legam karena terbakar oleh api kekuasaan, keangkuhan, dan kemarahan. Sebenarnya orang yang kita lihat itu adalah Sakka, raja para dewa, yang memiliki seribu mata, yang datang ke kota kita karena mengira bahwa ini adalah Alam Tàvatimsa.”
Orang keempat sambil tersenyum berkata kepada orang ketiga, “Bagaimana engkau dapat mengatakan hal itu? Kata-katamu sendiri saling bertentangan. Menyebutnya Sakka, mana seribu matanya? Mana gajah tunggangannya Eràvana? (Jika Ia adalah Sakka, ia harus memiliki seribu mata, bersenjata petir, dan Eràvana sebagai tunggangannya. Ia tidak memiliki semua itu). Sebenarnya, ia adalah brahmà yang, mengetahui bahwa para brahmana telah melupakan semua Veda, datang untuk mengingatkan mereka agar tidak melupakan pelajaran mereka dan melatihnya dengan rajin.”
Orang lain, seorang terpelajar, menghentikan perdebatan mereka dan berkata, “Beliau bukan bulan, bukan Dewa Kàma, bukan Sakka, dan bukan brahmà. Sebenarnya, Beliau adalah manusia luar biasa, raja dan guru di tiga alam.”
Selagi para penduduk Ràjagaha saling berbicara, masing-masing dengan pendapatnya sendiri-sendiri, pelayan istana datang kepada Raja Bimbisàra dan melaporkan, “Raja besar, seorang yang luar biasa yang tidak seorang pun mengetahui apakah Beliau adalah dewa, atau gandabha atau nàga atau yakkha, sedang mengumpulkan dàna makanan di Kota Ràjagaha.” Mendengar kata-kata ini, raja yang telah melihat Bodhisatta dari teras atas di istananya merasa penasaran dan memerintahkan menterinya, “Pergi selidiki orang ini; jika ia adalah yakkha ia akan menghilang ketika tiba di luar kota ini; jika ia adalah dewa ia akan berjalan di angkasa; jika ia adalah nàga ia akan masuk ke dalam tanah dan menghilang; jika ia manusia, ia akan memakan makanannya di tempat tertentu.”
Dengan ketenangan indria dan batinnya juga dalam keanggunannya, dengan mata yang selalu menatap ke bawah (sejauh kira-kira empat lengan), Beliau menarik perhatian para penduduk Ràjagaha, Beliau berkeliling dan mengumpulkan makanan secukupnya—makanan yang terdiri dari berbagai macam bahan kasar dan halus berwarna warni dicampur menjadi satu. Kemudian Beliau bertanya kepada para penduduk, “Di manakah biasanya para petapa yang mengunjungi kota ini berdiam?” Para penduduk menjawab, “Mereka biasanya berdiam di jalan masuk menuju gua yang menghadap timur di puncak Gunung Pandava.” Dan kemudian Bodhisatta meninggalkan kota melalui pintu gerbang timur. Setelah itu Beliau duduk menghadap ke timur di jalan masuk gua di gunung dan berusaha memakan makanan campur aduk dari bahan kasar dan halus yang dibawa-Nya.
Setelah menikmati kebahagiaan bagaikan raja dunia hanya beberapa hari yang lalu, Beliau berusaha keras untuk menelan beberapa suap makanan yang merupakan campuran berbagai bahan kasar maupun halus dan berwarna-warni. Ketika Beliau menyuapkan makanan itu ke mulut-Nya, Beliau merasa menderita dan nyaris muntah dengan usus terbalik, karena Beliau belum pernah melihat makanan seperti itu sebelumnya yang sangat menjijikkan. Kemudian Beliau menegur diri-Nya sendiri, “Ya Siddhattha, walaupun sebenarnya, Engkau bisa menikmati kemewahan istana di mana makanan dan minuman lezat selalu tersedia dan di mana Engkau memiliki makanan dari beras-beras harum dengan kelezatan yang berbeda-beda kapan saja Engkau inginkan, namun Engkau, karena melihat petapa berpakaian tambal-tambalan merenungkan, ‘Kapankah Aku dapat memakan makanan yang diperoleh dari meminta-minta dari rumah ke rumah setelah menjadi petapa seperti dirinya? Kapankah waktunya tiba bagi-Ku untuk hidup dari makanan yang dikumpulkan dengan cara seperti itu?’ Dan bukankah Engkau telah melepaskan keduniawian dan menjadi petapa karena pikiran seperti itu? Sekarang keinginan-Mu telah terkabul, mengapa Engkau malah ingin berubah pikiran?” Kemudian dengan lahap Beliau memakan makanan-Nya yang paling kasar sekalipun.
Tiga orang menteri yang dikirim oleh Raja Bimbisàra untuk menyelidiki, mendekati Bodhisatta dan mengamati seluruh kenyataan dari diri Bodhisatta. Kemudian dua orang tetap tinggal sementara orang ketiga kembali menghadap raja dan melaporkan, “Raja besar, petapa yang mengumpulkan dàna makanan masih duduk dengan tenang di jalan masuk ke gua yang menghadap timur di puncak Gunung Pandava sama sekali tidak merasa takut bagaikan raja singa atau raja macan atau raja sapi, setelah memakan makanan yang diperolehnya.” Mendengar hal itu, raja tergopoh-gopoh pergi dengan mengendarai kereta mewah menuju tempat Bodhisatta di puncak Gunung Pandava sejauh yang bisa dilewati oleh kereta itu; kemudian meninggalkan kereta dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Ketika ia sudah berada di dekat Bodhisatta, ia duduk di atas sebuah batu yang sejuk setelah meminta izin dari Bodhisatta dan merasa terkesan oleh sikap Bodhisatta. Ia berkata, “Teman, Engkau masih berusia muda. Engkau juga memiliki karakteristik baik dan jasmani yang tampan. Aku rasa Engkau pasti berasal dari kasta tinggi, kesatria murni. Aku akan menawarkan kebahagiaan istana dan kekayaan; apa pun yang Engkau inginkan di dua negara Angga dan Magadha yang adalah wilayah kekuasaanku. Jadilah raja dan memerintahlah! Juga katakanlah padaku silsilah-Mu.” Demikianlah raja menanyai Bodhisatta dan menawarkan kerajaan kepada-Nya. Kemudian Bodhisatta mempertimbangkan, “ Jika Aku berkeinginan untuk menjadi raja, bahkan empat raja dewa di alam surga dan lain-lainnya akan menawarkan kerajaannya kepada-Ku. Atau, jika Aku tetap tinggal di istana-Ku sebagai raja, dapat dipastikan Aku akan menjadi raja dunia. Tanpa mengetahui hal ini, Raja Bimbisàra memberikan penawaran tersebut pada-Ku dengan mengatakan hal-hal tadi. Aku akan memberitahukan kehidupan istana-Ku kepadanya.” Dengan pikiran demikian, Ia merentangkan tangan kanan-Nya dan menunjuk arah dari mana Beliau datang. Setelah dengan beberapa syair indah Petapa Gotama menyatakan bahwa ia anak dari Raja Suddhodana , Kemudian Raja Bimbisàra menjawab, “Yang Mulia, aku telah mendengar bahwa ‘Pangeran Siddhattha’, putra Raja Suddhodana, setelah melihat empat pertanda dengan mata-Nya sendiri, pergi melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, yang akan mencapai Pencerahan Sempurna. Pemimpin tertinggi di tiga alam. Setelah menyaksikan sendiri cita-cita agung-Mu untuk mencapai Nibbàna. Aku percaya bahwa Engkau akan menjadi Buddha. Yang Mulia, izinkan aku mengajukan permohonan. Ketika Engkau telah mencapai Kebuddhaan, mohon agar kunjungan pertama-Mu adalah ke negeriku!” Setelah dengan sungguh-sungguh menyampaikan undangannya, Raja Bimbisàra kembali ke kota.
BODDHISATTA BELAJAR DAN BERDISKUSI DENGAN PEMIMPIN ALIRAN ALARA DAN UDAKA, DAN BERHASIL MENCAPAI DELAPAN PENCAPAIAN LOKIYA JHANA
Ketika Raja Bimbisàra yang bijaksana kembali ke Kota Ràjagaha, Bodhisatta melakukan perjalanan untuk mencari kebahagiaan Nibbàna yang disebut Santivara (kedamaia tertinggi); dalam perjalanan tersebut Beliau tiba di tempat kediaman seorang guru agama, bernama Alàra dari suku Kàlàma.
Sesampainya di tempat kediaman Alàra, si pemimpin aliran, Bodhisatta mengajukan permohonan, “O Sahabat, engkau yang berasal dari suku Kàlàma, Aku ingin menjalani kehidupan suci sesuai caramu.” Alâra mengabulkan permohonan itu dengan mengucapkan kata-kata dukungan yang tulus, “O Sahabat mulia, mari bergabung bersama kami! Dengan cara yang kami jalani, seseorang yang tekun akan dapat memahami pandangan gurunya dalam waktu singkat dan dapat mempertahankan kebahagiaan.”
Setelah diterima oleh Alàra, Bodhisatta dengan rajin memelajari ajaran baru tersebut. Sebagai seseorang yang memiliki kecerdasan yang tinggi, Bodhisatta dapat dengan mudah mempelajari dan mempraktikkan ajaran Alàra. Hanya dengan mengulangi kata-kata guru-Nya dengan sedikit gerakan bibir, Bodhisatta mencapai tahap di mana Beliau dapat mengatakan, “Aku telah mengerti!” Ia membuat pernyataan, “Aku telah mengerti! Aku telah melihat ajarannya!” dan pemimpin aliran beserta siswa-siswa lainnya menerima pernyataan-Nya.
Sehubungan dengan ajaran Alàra mengenai latihan yang menghasilkan pencapaian Akincnnàyatana (Lokiya) Jhàna, Beliau mengetahui bahwa, “Pemimpin aliran Alàra tentu berlatih tidak sekadar mengandalkan keyakinan tanpa disertai kebijaksanaan, namun guru ini pasti seorang yang telah menembus tujuh pencapaian Lokiya.” Kemudian Beliau mendekati guru dan bertanya, “O Sahabat Kàlàma, seberapa jauh engkau dapat mengatakan bahwa engkau telah benar-benar menembus ajaran-ajaran yang engkau ajarkan?” Alàra menjawab bahwa ia telah memiliki pengetahuan praktik (bukan teori) dengan menjelaskan bagaimana mencapai tujuh pencapaian hingga âki¤ca¤¤àyatana Jhàna.
Selanjutnya, Bodhisatta berpikir, “Bukan hanya pemimpin aliran âlàra yang memiliki keyakinan yang kuat untuk mencapai Jhàna; Aku juga memiliki keyakinan yang kuat untuk mencapai Jhàna. Bukan hanya ia yang memiliki usaha, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang kuat untuk mencapai Appanà Jhàna; Aku juga memiliki usaha, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang kuat untuk mencapai Appanà Jhàna; Alàra berkata bahwa ia telah menembus tujuh Lokiya Jhàna hingga tingkat Akincannàyatana dengan Abhinnà dan berdiam di sana penuh kebahagiaan. Sebaiknya, Aku juga harus berusaha mencapai tujuh pencapaian Lokiya Jhàna seperti dia.”
Demikianlah dengan pikiran seperti ini, Beliau berusaha keras berlatih kasina parikamma, dan dalam dua atau tiga hari Beliau berhasil menembus tujuh pencapaian lokiya hingga tingkat Akincannàyatana Jhàna dan berdiam penuh kebahagiaan di sana sama seperti Guru Alàra.
Kemudian Bodhisatta mendatangi guru âëàra dan bertanya, “Sahabat Kàlàma, Seperti inikah yang engkau maksudkan dengan tujuh Lokiya Jhàna dan Abhinnà yang telah engkau capai dan berdiam di sana penuh kebahagiaan?” Ketika Alàra memberikan jawaban menyetujui, Bodhisatta memberitahukan, “Sahabat, Aku juga telah mencapai tujuh Lokiya Jhàna hingga tingkat âki¤ca¤¤àyatana Jhàna dengan Abhinnà dan berdiam di sana penuh kebahagiaan.” Sebagai seorang mulia yang telah bebas dari noda batin iri hati (issà) dan sifat egois (micchariya), Alàra pemimpin aliran berkata dengan penuh kegembiraan, “Kami telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri seorang petapa yang sangat cerdas seperti diri-Mu. Adalah keuntungan besar bagi kami, Sahabat!” Setelah itu, Alara menyerahkan separuh pengikutnya kepada Petapa Gotama, Boddhisatta kita, dan meminta Boddhisatta untuk bersama-sama dengan dia memimpin aliran petapaan tersebut.
SANG BODDHISATTA MENINGGALKAN GURU-NYA ALARA KARENA MELIHAT CACAT DARI PENCAPAIAN LOKIYA JHANA
Setelah berusaha dan berhasil mencapai tujuh Lokiya Jhàna, karena Beliau memang telah memperoleh Jhàna dalam kehidupan-kehidupan lampau-Nya dan karena Beliau memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, Bodhisatta kemudian merenungkan sifat-sifat dari pencapaian ini dalam kehidupan-Nya saat ini dan manfaatnya untuk kehidupan mendatang; Beliau mengetahui benar sifat dari pencapaian tujuh tingkat Jhàna ini hingga tingkat âkincannàyatana Jhàna dalam kehidupan ini dan kelahiran kembali di Alam Brahmà âkincannàyatana setelah meninggal dunia. Beliau sampai pada kesimpulan bahwa tujuh Lokiya Jhàna ini masih berada dalam lingkaran penderitaan (vattha dukkha); Beliau juga merenungkan dalam-dalam, “Kelompok pencapaian-pencapaian ini tidak dapat mengakhiri lingkaran penderitaan; pelepasan; untuk melenyapkan kotoran batin seperti nafsu (ràga), dan lain-lain, untuk memadamkan semua kotoran-kotoran ini, untuk mengetahui semua yang harus diketahui, untuk mencapai pengetahuan mengenai Empat Jalan, untuk menembus Nibbàna. Sebenarnya, tujuh pencapaian ini hanya menghasilkan Alam Brahmà âki¤ca¤¤àyatana di mana umur kehidupan adalah selama enam puluh ribu mahàkappa, namun tidak menghasilkan yang lebih tinggi dari itu. Alam Brahmà âki¤ca¤¤àyatana yang tertinggi hanyalah sebuah alam yang belum terbebaskan dari bahaya kelahiran, usia tua, dan kematian. Sebenarnya hanyalah sebuah wilayah yang masih berada dalam kekuasaan raja kematian.”
PERTEMUAN BODDHISATTA DENGAN PEMIMPIN ALIRAN UDAKA DAN USAHA-NYA UNTUK MENCAPAI NEVASANNAVASANNAYATANA JHANA
Setelah meninggalkan pemimpin aliran Alàra, dan karena berkeinginan untuk mencari kebahagiaan Nibbàna, yaitu kedamaian tertinggi (Santivara) Beliau pergi mengembara hingga akhirnya tiba di tempat kediaman seorang pemimpin sebuah aliran lain, Udaka putra Ràma. Beliau mengajukan permohonan kepada si pemimpin aliran Udaka, berkata, “Sahabat, Aku ingin menjalani kehidupan suci sesuai caramu.” Si pemimpin aliran Udaka putra Ràma mengabulkan permohonan tersebut dengan menjawab, “Sahabat, silakan ikuti cara kami! Ajaran-ajaran kami, yang jika dipraktikkan dengan sungguh-sungguh oleh mereka yang tekun, akan memungkinkan dalam waktu singkat menguasai Abhinnà dan pandangan guru (àcariya-vàda) dan hidup berbahagia.”
Selanjutnya Bodhisatta tidak membuang-buang waktu untuk memelajari ajaran-ajaran dan mempraktikkan latihan dari Udaka, si pemimpin aliran. Seperti halnya Alàra, pemimpin aliran sebelumnya, Bodhisatta yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi dapat dengan mudah memelajari ajaran-ajaran dan mempraktikkan ajaran tersebut hanya dengan mengulangi apa yang diucapkan si guru dengan sedikit gerakan bibir, Bodhisatta mencapai tingkat di mana Beliau dapat mengatakan, “Aku telah mengerti!.” Bahkan Beliau benar-benar membuat pernyataan, “Aku telah mengerti! Aku telah melihat ajarannya!” yang dibenarkan oleh si pemimpin aliran Udaka dan siswa-siswa lainnya.
Sehubungan dengan cara-cara tradisional yang dijelaskan oleh Udaka (yang diturunkan dari ayahnya, Ràma) yang mengarah kepada pencapaian Nevasannàvàsannàyatana (lokiya) Jhàna, Bodhisatta memahami bahwa, “Sepertinya Ràma, ayah Udaka yang telah meninggal dunia, tidak sekadar memelajari teori dengan memercayai apa yang dikatakan oleh orang-orang lain mengenai praktik menuju Nevasa¤¤àvàsa¤¤àyatana Jhàna. Tetapi sebenarnya, Ràma, ayah Udaka pastilah seorang yang telah menembus delapan Lokiya Jhàna.”
Bodhisatta mendekati Udaka si pemimpin aliran dan bertanya, “O Sahabat, sampai sejauh manakah ayahmu, Ràma guru besar, mengatakan mengenai penembusan ajarannya oleh dirinya?” Udaka menjawab bahwa ayahnya telah mencapai Nevasannàvàsannàyatana Jhàna.
Selanjutnya, Bodhisatta berpikir, “Bukan hanya ayah Udaka, Ràma, guru besar, yang memiliki keyakinan yang kuat untuk mencapai Nevasannàvàsannàyatana Jhàna; Aku juga memiliki keyakinan yang kuat untuk mencapai Jhàna tersebut. Bukan hanya ia yang memiliki usaha, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang kuat untuk mencapai Nevasa¤¤àvàsa¤¤àyatana Jhàna; Aku juga memiliki usaha, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang kuat untuk mencapai Jhàna tersebut; Ayah Udaka, Ràma berkata bahwa ia telah menembus delapan Lokiya Jhàna hingga tingkat Nevasannàvàsannàyatana dengan Abhi¤¤à dan berdiam di sana penuh kebahagiaan. Sebaiknya, Aku juga harus berusaha mencapai delapan pencapaian Lokiya Jhàna sepertinya.” Demikianlah dengan pikiran seperti ini, Beliau berusaha keras berlatih kasiõa parikamma, dan dalam dua atau tiga hari Beliau berhasil seperti ayah Udaka, Ràma, menembus delapan pencapaian Lokiya Jhàna hingga tingkat Nevasannàvàsannàyatana Jhàna dan berdiam penuh kebahagiaan di sana.
Kemudian Bodhisatta mendatangi pemimpin aliran Udaka dan bertanya, “Sahabat Udaka, seperti inikah yang dimaksudkan oleh Ràma guru besar dengan delapan Lokiya Jhàna dan Abhinnà yang telah ia capai dan berdiam di sana penuh kebahagiaan?” Ketika Udaka memberikan jawaban menyetujui, Bodhisatta memberitahukan, “Sahabat, Aku juga telah mencapai delapan Lokiya Jhàna hingga tingkat Nevasannàvàsannàyatana Jhàna dengan Abhinnà dan berdiam di sana penuh kebahagiaan.” Sebagai seorang mulia yang telah bebas dari noda batin iri hari (issà) dan sifat egois (micchariya), Udaka pemimpin aliran seperti halnya Alàra pemimpin aliran sebelumnya, berkata dengan penuh kegembiraan, “Kami telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri seorang petapa yang sangat cerdas seperti dirimu. Adalah keuntungan besar bagi kami, Sahabat! Setelah itu, Udaka menyerahkan separuh pengikutnya kepada Petapa Gotama, Boddhisatta kita, dan meminta Boddhisatta untuk bersama-sama dengan dia memimpin aliran petapaan tersebut.
BODDHISATTA MENINGGALKAN GURU UDAKA SETELAH MELIHAT CACAT DALAM PENCAPAIAN LOKIYA JHANA
Setelah berusaha dan berhasil mencapai delapan Lokiya Jhàna, karena Beliau memang telah memperoleh Jhàna dalam kehidupan-kehidupan lampau-Nya dan karena Beliau memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, Bodhisatta kemudian merenungkan sifat-sifat dari pencapaian ini dalam kehidupan-Nya saat ini dan manfaatnya untuk kehidupan mendatang; Beliau mengetahui benar sifat dari pencapaian delapan tingkat Jhàna ini hingga tingkat Nevasannàvàsannàyatana Jhàna dalam kehidupan ini dan kelahiran kembali akan terjadi di Alam Nevasannàvàsannàyatana setelah meninggal dunia; Beliau sampai pada kesimpulan bahwa delapan Lokiya Jhàna ini masih berada dalam lingkaran penderitaan; Beliau juga merenungkan dalam-dalam, “Kelompok pencapaian-pencapaian ini tidak dapat mengakhiri lingkaran penderitaan; pelepasan; untuk melenyapkan kotoran batin seperti nafsu (ràga), dan lain-lain, untuk memadamkan semua kotoran-kotoran ini, untuk mengetahui semua yang harus diketahui, untuk mencapai pengetahuan mengenai Empat Jalan, untuk menembus Nibbàna. Sebenarnya, delapan pencapaian ini hanya menghasilkan Alam Brahmà Nevasannàvàsannàyatana di mana umur kehidupan adalah selama delapan puluh empat mahàkappa, namun tidak menghasilkan yang lebih tinggi dari itu. Alam Brahmà Nevasannàvàsannàyatana yang tertinggi hanyalah sebuah alam yang belum terbebaskan dari bahaya kelahiran, usia tua, dan kematian. Sebenarnya hanyalah sebuah wilayah yang masih berada dalam kekuasaan raja kematian.”
MEMASUKI RAJAGAHA UNTUK MENGUMPULKAN DANA MAKANAN
Ketika Beliau akan mengunjungi Kota Ràjagaha untuk mengumpulkan dàna makanan, Beliau berdiri di pintu gerbang timur kota itu; Beliau berpikir, “Jika Aku mengirim pesan kepada Raja Bimbisàra mengenai kunjungan-Ku, ia akan tahu bahwa Pangeran Siddhattha, putra Raja Suddhodana, telah datang ke kotaku; kemudian dengan penuh perhatian dan penghormatan ia akan mengirimkan banyak harta benda kepada-Ku. Tidaklah tepat bagi seorang petapa seperti-Ku untuk memberitahukannya dan menerima empat kebutuhan dengan cara seperti itu. Sekarang, Aku akan pergi mengumpulkan dàna makanan.” Jadi, setelah mengenakan jubah Pamsukålika yang dipersembahkan oleh Brahmà Ghatikara dan mengambil mangkuk-Nya, Bodhisatta memasuki kota melalui pintu gerbang timur dan mengumpulkan dàna makanan dari rumah ke rumah.
Tujuh hari sebelum Bodhisatta memasuki Kota Ràjagaha untuk mengumpulkan dàna makanan, sebuah festival sedang dirayakan oleh orang banyak. Pada hari Bodhisatta memasuki kota. Raja Bimbisàra mengumumkan dengan tabuhan genderang, “Festival telah selesai. Para penduduk harap segera kembali ke pekerjaannya masing-masing.” Pada waktu itu para penduduk masih berkumpul di halaman istana. Sewaktu raja membuka jendela dan melihat keluar untuk memberikan perintah yang diperlukan, ia melihat Bodhisatta yang memasuki Ràjagaha dengan penuh ketenangan.
Melihat penampilan yang anggun dari Bodhisatta, para penduduk Ràjagaha menjadi sangat gembira dan terjadi kegemparan di seluruh kota seperti ketika Gajah Nàlàgiri, yang juga disebut Dhammapàla, memasuki kota atau seperti para penghuni Alam Tàvatimsa yang ketakutan saat Raja Asura bernama Vepaciti, mendatangi tempat mereka.
Ketika Bodhisatta mulia berkeliling dengan keagungan raja Gajah Chaddanta untuk mengumpulkan dàna makanan dari rumah ke rumah di Kota Ràjagaha, para penduduk menyaksikan penampilan anggun yang tiada bandingnya dalam diri Bodhisatta, mereka merasa sangat gembira dan terheran-heran, penasaran ingin melihat bagaimana tingkah laku Bodhisatta yang unik.
Salah satu orang berkata kepada orang lainnya, “Teman, bagaimana ini? Apakah istana bulan yang turun ke alam manusia dengan cahayanya yang menyembunyikan ketakutan Rahu Si Raja Asura?”
Orang kedua menjawab dengan nada mengejek, “Apa yang kau katakan, teman? Pernahkah engkau melihat bulan yang turun ke alam manusia? Itu adalah Dewa Kàma, Dewa Keinginan, melihat kemegahan raja kita dan para penduduknya, ia turun dan menyamar untuk bermain dan bersenang-senang dengan kita.”
Orang ketiga berkata, “O teman, bagaimana itu? Apakah kau gila? Dewa Kàma memiliki tubuh berwarna hitam legam karena terbakar oleh api kekuasaan, keangkuhan, dan kemarahan. Sebenarnya orang yang kita lihat itu adalah Sakka, raja para dewa, yang memiliki seribu mata, yang datang ke kota kita karena mengira bahwa ini adalah Alam Tàvatimsa.”
Orang keempat sambil tersenyum berkata kepada orang ketiga, “Bagaimana engkau dapat mengatakan hal itu? Kata-katamu sendiri saling bertentangan. Menyebutnya Sakka, mana seribu matanya? Mana gajah tunggangannya Eràvana? (Jika Ia adalah Sakka, ia harus memiliki seribu mata, bersenjata petir, dan Eràvana sebagai tunggangannya. Ia tidak memiliki semua itu). Sebenarnya, ia adalah brahmà yang, mengetahui bahwa para brahmana telah melupakan semua Veda, datang untuk mengingatkan mereka agar tidak melupakan pelajaran mereka dan melatihnya dengan rajin.”
Orang lain, seorang terpelajar, menghentikan perdebatan mereka dan berkata, “Beliau bukan bulan, bukan Dewa Kàma, bukan Sakka, dan bukan brahmà. Sebenarnya, Beliau adalah manusia luar biasa, raja dan guru di tiga alam.”
Selagi para penduduk Ràjagaha saling berbicara, masing-masing dengan pendapatnya sendiri-sendiri, pelayan istana datang kepada Raja Bimbisàra dan melaporkan, “Raja besar, seorang yang luar biasa yang tidak seorang pun mengetahui apakah Beliau adalah dewa, atau gandabha atau nàga atau yakkha, sedang mengumpulkan dàna makanan di Kota Ràjagaha.” Mendengar kata-kata ini, raja yang telah melihat Bodhisatta dari teras atas di istananya merasa penasaran dan memerintahkan menterinya, “Pergi selidiki orang ini; jika ia adalah yakkha ia akan menghilang ketika tiba di luar kota ini; jika ia adalah dewa ia akan berjalan di angkasa; jika ia adalah nàga ia akan masuk ke dalam tanah dan menghilang; jika ia manusia, ia akan memakan makanannya di tempat tertentu.”
Dengan ketenangan indria dan batinnya juga dalam keanggunannya, dengan mata yang selalu menatap ke bawah (sejauh kira-kira empat lengan), Beliau menarik perhatian para penduduk Ràjagaha, Beliau berkeliling dan mengumpulkan makanan secukupnya—makanan yang terdiri dari berbagai macam bahan kasar dan halus berwarna warni dicampur menjadi satu. Kemudian Beliau bertanya kepada para penduduk, “Di manakah biasanya para petapa yang mengunjungi kota ini berdiam?” Para penduduk menjawab, “Mereka biasanya berdiam di jalan masuk menuju gua yang menghadap timur di puncak Gunung Pandava.” Dan kemudian Bodhisatta meninggalkan kota melalui pintu gerbang timur. Setelah itu Beliau duduk menghadap ke timur di jalan masuk gua di gunung dan berusaha memakan makanan campur aduk dari bahan kasar dan halus yang dibawa-Nya.
Setelah menikmati kebahagiaan bagaikan raja dunia hanya beberapa hari yang lalu, Beliau berusaha keras untuk menelan beberapa suap makanan yang merupakan campuran berbagai bahan kasar maupun halus dan berwarna-warni. Ketika Beliau menyuapkan makanan itu ke mulut-Nya, Beliau merasa menderita dan nyaris muntah dengan usus terbalik, karena Beliau belum pernah melihat makanan seperti itu sebelumnya yang sangat menjijikkan. Kemudian Beliau menegur diri-Nya sendiri, “Ya Siddhattha, walaupun sebenarnya, Engkau bisa menikmati kemewahan istana di mana makanan dan minuman lezat selalu tersedia dan di mana Engkau memiliki makanan dari beras-beras harum dengan kelezatan yang berbeda-beda kapan saja Engkau inginkan, namun Engkau, karena melihat petapa berpakaian tambal-tambalan merenungkan, ‘Kapankah Aku dapat memakan makanan yang diperoleh dari meminta-minta dari rumah ke rumah setelah menjadi petapa seperti dirinya? Kapankah waktunya tiba bagi-Ku untuk hidup dari makanan yang dikumpulkan dengan cara seperti itu?’ Dan bukankah Engkau telah melepaskan keduniawian dan menjadi petapa karena pikiran seperti itu? Sekarang keinginan-Mu telah terkabul, mengapa Engkau malah ingin berubah pikiran?” Kemudian dengan lahap Beliau memakan makanan-Nya yang paling kasar sekalipun.
Tiga orang menteri yang dikirim oleh Raja Bimbisàra untuk menyelidiki, mendekati Bodhisatta dan mengamati seluruh kenyataan dari diri Bodhisatta. Kemudian dua orang tetap tinggal sementara orang ketiga kembali menghadap raja dan melaporkan, “Raja besar, petapa yang mengumpulkan dàna makanan masih duduk dengan tenang di jalan masuk ke gua yang menghadap timur di puncak Gunung Pandava sama sekali tidak merasa takut bagaikan raja singa atau raja macan atau raja sapi, setelah memakan makanan yang diperolehnya.” Mendengar hal itu, raja tergopoh-gopoh pergi dengan mengendarai kereta mewah menuju tempat Bodhisatta di puncak Gunung Pandava sejauh yang bisa dilewati oleh kereta itu; kemudian meninggalkan kereta dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Ketika ia sudah berada di dekat Bodhisatta, ia duduk di atas sebuah batu yang sejuk setelah meminta izin dari Bodhisatta dan merasa terkesan oleh sikap Bodhisatta. Ia berkata, “Teman, Engkau masih berusia muda. Engkau juga memiliki karakteristik baik dan jasmani yang tampan. Aku rasa Engkau pasti berasal dari kasta tinggi, kesatria murni. Aku akan menawarkan kebahagiaan istana dan kekayaan; apa pun yang Engkau inginkan di dua negara Angga dan Magadha yang adalah wilayah kekuasaanku. Jadilah raja dan memerintahlah! Juga katakanlah padaku silsilah-Mu.” Demikianlah raja menanyai Bodhisatta dan menawarkan kerajaan kepada-Nya. Kemudian Bodhisatta mempertimbangkan, “ Jika Aku berkeinginan untuk menjadi raja, bahkan empat raja dewa di alam surga dan lain-lainnya akan menawarkan kerajaannya kepada-Ku. Atau, jika Aku tetap tinggal di istana-Ku sebagai raja, dapat dipastikan Aku akan menjadi raja dunia. Tanpa mengetahui hal ini, Raja Bimbisàra memberikan penawaran tersebut pada-Ku dengan mengatakan hal-hal tadi. Aku akan memberitahukan kehidupan istana-Ku kepadanya.” Dengan pikiran demikian, Ia merentangkan tangan kanan-Nya dan menunjuk arah dari mana Beliau datang. Setelah dengan beberapa syair indah Petapa Gotama menyatakan bahwa ia anak dari Raja Suddhodana , Kemudian Raja Bimbisàra menjawab, “Yang Mulia, aku telah mendengar bahwa ‘Pangeran Siddhattha’, putra Raja Suddhodana, setelah melihat empat pertanda dengan mata-Nya sendiri, pergi melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, yang akan mencapai Pencerahan Sempurna. Pemimpin tertinggi di tiga alam. Setelah menyaksikan sendiri cita-cita agung-Mu untuk mencapai Nibbàna. Aku percaya bahwa Engkau akan menjadi Buddha. Yang Mulia, izinkan aku mengajukan permohonan. Ketika Engkau telah mencapai Kebuddhaan, mohon agar kunjungan pertama-Mu adalah ke negeriku!” Setelah dengan sungguh-sungguh menyampaikan undangannya, Raja Bimbisàra kembali ke kota.
BODDHISATTA BELAJAR DAN BERDISKUSI DENGAN PEMIMPIN ALIRAN ALARA DAN UDAKA, DAN BERHASIL MENCAPAI DELAPAN PENCAPAIAN LOKIYA JHANA
Ketika Raja Bimbisàra yang bijaksana kembali ke Kota Ràjagaha, Bodhisatta melakukan perjalanan untuk mencari kebahagiaan Nibbàna yang disebut Santivara (kedamaia tertinggi); dalam perjalanan tersebut Beliau tiba di tempat kediaman seorang guru agama, bernama Alàra dari suku Kàlàma.
Sesampainya di tempat kediaman Alàra, si pemimpin aliran, Bodhisatta mengajukan permohonan, “O Sahabat, engkau yang berasal dari suku Kàlàma, Aku ingin menjalani kehidupan suci sesuai caramu.” Alâra mengabulkan permohonan itu dengan mengucapkan kata-kata dukungan yang tulus, “O Sahabat mulia, mari bergabung bersama kami! Dengan cara yang kami jalani, seseorang yang tekun akan dapat memahami pandangan gurunya dalam waktu singkat dan dapat mempertahankan kebahagiaan.”
Setelah diterima oleh Alàra, Bodhisatta dengan rajin memelajari ajaran baru tersebut. Sebagai seseorang yang memiliki kecerdasan yang tinggi, Bodhisatta dapat dengan mudah mempelajari dan mempraktikkan ajaran Alàra. Hanya dengan mengulangi kata-kata guru-Nya dengan sedikit gerakan bibir, Bodhisatta mencapai tahap di mana Beliau dapat mengatakan, “Aku telah mengerti!” Ia membuat pernyataan, “Aku telah mengerti! Aku telah melihat ajarannya!” dan pemimpin aliran beserta siswa-siswa lainnya menerima pernyataan-Nya.
Sehubungan dengan ajaran Alàra mengenai latihan yang menghasilkan pencapaian Akincnnàyatana (Lokiya) Jhàna, Beliau mengetahui bahwa, “Pemimpin aliran Alàra tentu berlatih tidak sekadar mengandalkan keyakinan tanpa disertai kebijaksanaan, namun guru ini pasti seorang yang telah menembus tujuh pencapaian Lokiya.” Kemudian Beliau mendekati guru dan bertanya, “O Sahabat Kàlàma, seberapa jauh engkau dapat mengatakan bahwa engkau telah benar-benar menembus ajaran-ajaran yang engkau ajarkan?” Alàra menjawab bahwa ia telah memiliki pengetahuan praktik (bukan teori) dengan menjelaskan bagaimana mencapai tujuh pencapaian hingga âki¤ca¤¤àyatana Jhàna.
Selanjutnya, Bodhisatta berpikir, “Bukan hanya pemimpin aliran âlàra yang memiliki keyakinan yang kuat untuk mencapai Jhàna; Aku juga memiliki keyakinan yang kuat untuk mencapai Jhàna. Bukan hanya ia yang memiliki usaha, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang kuat untuk mencapai Appanà Jhàna; Aku juga memiliki usaha, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang kuat untuk mencapai Appanà Jhàna; Alàra berkata bahwa ia telah menembus tujuh Lokiya Jhàna hingga tingkat Akincannàyatana dengan Abhinnà dan berdiam di sana penuh kebahagiaan. Sebaiknya, Aku juga harus berusaha mencapai tujuh pencapaian Lokiya Jhàna seperti dia.”
Demikianlah dengan pikiran seperti ini, Beliau berusaha keras berlatih kasina parikamma, dan dalam dua atau tiga hari Beliau berhasil menembus tujuh pencapaian lokiya hingga tingkat Akincannàyatana Jhàna dan berdiam penuh kebahagiaan di sana sama seperti Guru Alàra.
Kemudian Bodhisatta mendatangi guru âëàra dan bertanya, “Sahabat Kàlàma, Seperti inikah yang engkau maksudkan dengan tujuh Lokiya Jhàna dan Abhinnà yang telah engkau capai dan berdiam di sana penuh kebahagiaan?” Ketika Alàra memberikan jawaban menyetujui, Bodhisatta memberitahukan, “Sahabat, Aku juga telah mencapai tujuh Lokiya Jhàna hingga tingkat âki¤ca¤¤àyatana Jhàna dengan Abhinnà dan berdiam di sana penuh kebahagiaan.” Sebagai seorang mulia yang telah bebas dari noda batin iri hati (issà) dan sifat egois (micchariya), Alàra pemimpin aliran berkata dengan penuh kegembiraan, “Kami telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri seorang petapa yang sangat cerdas seperti diri-Mu. Adalah keuntungan besar bagi kami, Sahabat!” Setelah itu, Alara menyerahkan separuh pengikutnya kepada Petapa Gotama, Boddhisatta kita, dan meminta Boddhisatta untuk bersama-sama dengan dia memimpin aliran petapaan tersebut.
SANG BODDHISATTA MENINGGALKAN GURU-NYA ALARA KARENA MELIHAT CACAT DARI PENCAPAIAN LOKIYA JHANA
Setelah berusaha dan berhasil mencapai tujuh Lokiya Jhàna, karena Beliau memang telah memperoleh Jhàna dalam kehidupan-kehidupan lampau-Nya dan karena Beliau memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, Bodhisatta kemudian merenungkan sifat-sifat dari pencapaian ini dalam kehidupan-Nya saat ini dan manfaatnya untuk kehidupan mendatang; Beliau mengetahui benar sifat dari pencapaian tujuh tingkat Jhàna ini hingga tingkat âkincannàyatana Jhàna dalam kehidupan ini dan kelahiran kembali di Alam Brahmà âkincannàyatana setelah meninggal dunia. Beliau sampai pada kesimpulan bahwa tujuh Lokiya Jhàna ini masih berada dalam lingkaran penderitaan (vattha dukkha); Beliau juga merenungkan dalam-dalam, “Kelompok pencapaian-pencapaian ini tidak dapat mengakhiri lingkaran penderitaan; pelepasan; untuk melenyapkan kotoran batin seperti nafsu (ràga), dan lain-lain, untuk memadamkan semua kotoran-kotoran ini, untuk mengetahui semua yang harus diketahui, untuk mencapai pengetahuan mengenai Empat Jalan, untuk menembus Nibbàna. Sebenarnya, tujuh pencapaian ini hanya menghasilkan Alam Brahmà âki¤ca¤¤àyatana di mana umur kehidupan adalah selama enam puluh ribu mahàkappa, namun tidak menghasilkan yang lebih tinggi dari itu. Alam Brahmà âki¤ca¤¤àyatana yang tertinggi hanyalah sebuah alam yang belum terbebaskan dari bahaya kelahiran, usia tua, dan kematian. Sebenarnya hanyalah sebuah wilayah yang masih berada dalam kekuasaan raja kematian.”
PERTEMUAN BODDHISATTA DENGAN PEMIMPIN ALIRAN UDAKA DAN USAHA-NYA UNTUK MENCAPAI NEVASANNAVASANNAYATANA JHANA
Setelah meninggalkan pemimpin aliran Alàra, dan karena berkeinginan untuk mencari kebahagiaan Nibbàna, yaitu kedamaian tertinggi (Santivara) Beliau pergi mengembara hingga akhirnya tiba di tempat kediaman seorang pemimpin sebuah aliran lain, Udaka putra Ràma. Beliau mengajukan permohonan kepada si pemimpin aliran Udaka, berkata, “Sahabat, Aku ingin menjalani kehidupan suci sesuai caramu.” Si pemimpin aliran Udaka putra Ràma mengabulkan permohonan tersebut dengan menjawab, “Sahabat, silakan ikuti cara kami! Ajaran-ajaran kami, yang jika dipraktikkan dengan sungguh-sungguh oleh mereka yang tekun, akan memungkinkan dalam waktu singkat menguasai Abhinnà dan pandangan guru (àcariya-vàda) dan hidup berbahagia.”
Selanjutnya Bodhisatta tidak membuang-buang waktu untuk memelajari ajaran-ajaran dan mempraktikkan latihan dari Udaka, si pemimpin aliran. Seperti halnya Alàra, pemimpin aliran sebelumnya, Bodhisatta yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi dapat dengan mudah memelajari ajaran-ajaran dan mempraktikkan ajaran tersebut hanya dengan mengulangi apa yang diucapkan si guru dengan sedikit gerakan bibir, Bodhisatta mencapai tingkat di mana Beliau dapat mengatakan, “Aku telah mengerti!.” Bahkan Beliau benar-benar membuat pernyataan, “Aku telah mengerti! Aku telah melihat ajarannya!” yang dibenarkan oleh si pemimpin aliran Udaka dan siswa-siswa lainnya.
Bodhisatta mendekati Udaka si pemimpin aliran dan bertanya, “O Sahabat, sampai sejauh manakah ayahmu, Ràma guru besar, mengatakan mengenai penembusan ajarannya oleh dirinya?” Udaka menjawab bahwa ayahnya telah mencapai Nevasannàvàsannàyatana Jhàna.
Selanjutnya, Bodhisatta berpikir, “Bukan hanya ayah Udaka, Ràma, guru besar, yang memiliki keyakinan yang kuat untuk mencapai Nevasannàvàsannàyatana Jhàna; Aku juga memiliki keyakinan yang kuat untuk mencapai Jhàna tersebut. Bukan hanya ia yang memiliki usaha, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang kuat untuk mencapai Nevasa¤¤àvàsa¤¤àyatana Jhàna; Aku juga memiliki usaha, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang kuat untuk mencapai Jhàna tersebut; Ayah Udaka, Ràma berkata bahwa ia telah menembus delapan Lokiya Jhàna hingga tingkat Nevasannàvàsannàyatana dengan Abhi¤¤à dan berdiam di sana penuh kebahagiaan. Sebaiknya, Aku juga harus berusaha mencapai delapan pencapaian Lokiya Jhàna sepertinya.” Demikianlah dengan pikiran seperti ini, Beliau berusaha keras berlatih kasiõa parikamma, dan dalam dua atau tiga hari Beliau berhasil seperti ayah Udaka, Ràma, menembus delapan pencapaian Lokiya Jhàna hingga tingkat Nevasannàvàsannàyatana Jhàna dan berdiam penuh kebahagiaan di sana.
Kemudian Bodhisatta mendatangi pemimpin aliran Udaka dan bertanya, “Sahabat Udaka, seperti inikah yang dimaksudkan oleh Ràma guru besar dengan delapan Lokiya Jhàna dan Abhinnà yang telah ia capai dan berdiam di sana penuh kebahagiaan?” Ketika Udaka memberikan jawaban menyetujui, Bodhisatta memberitahukan, “Sahabat, Aku juga telah mencapai delapan Lokiya Jhàna hingga tingkat Nevasannàvàsannàyatana Jhàna dengan Abhinnà dan berdiam di sana penuh kebahagiaan.” Sebagai seorang mulia yang telah bebas dari noda batin iri hari (issà) dan sifat egois (micchariya), Udaka pemimpin aliran seperti halnya Alàra pemimpin aliran sebelumnya, berkata dengan penuh kegembiraan, “Kami telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri seorang petapa yang sangat cerdas seperti dirimu. Adalah keuntungan besar bagi kami, Sahabat! Setelah itu, Udaka menyerahkan separuh pengikutnya kepada Petapa Gotama, Boddhisatta kita, dan meminta Boddhisatta untuk bersama-sama dengan dia memimpin aliran petapaan tersebut.
BODDHISATTA MENINGGALKAN GURU UDAKA SETELAH MELIHAT CACAT DALAM PENCAPAIAN LOKIYA JHANA
Setelah berusaha dan berhasil mencapai delapan Lokiya Jhàna, karena Beliau memang telah memperoleh Jhàna dalam kehidupan-kehidupan lampau-Nya dan karena Beliau memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, Bodhisatta kemudian merenungkan sifat-sifat dari pencapaian ini dalam kehidupan-Nya saat ini dan manfaatnya untuk kehidupan mendatang; Beliau mengetahui benar sifat dari pencapaian delapan tingkat Jhàna ini hingga tingkat Nevasannàvàsannàyatana Jhàna dalam kehidupan ini dan kelahiran kembali akan terjadi di Alam Nevasannàvàsannàyatana setelah meninggal dunia; Beliau sampai pada kesimpulan bahwa delapan Lokiya Jhàna ini masih berada dalam lingkaran penderitaan; Beliau juga merenungkan dalam-dalam, “Kelompok pencapaian-pencapaian ini tidak dapat mengakhiri lingkaran penderitaan; pelepasan; untuk melenyapkan kotoran batin seperti nafsu (ràga), dan lain-lain, untuk memadamkan semua kotoran-kotoran ini, untuk mengetahui semua yang harus diketahui, untuk mencapai pengetahuan mengenai Empat Jalan, untuk menembus Nibbàna. Sebenarnya, delapan pencapaian ini hanya menghasilkan Alam Brahmà Nevasannàvàsannàyatana di mana umur kehidupan adalah selama delapan puluh empat mahàkappa, namun tidak menghasilkan yang lebih tinggi dari itu. Alam Brahmà Nevasannàvàsannàyatana yang tertinggi hanyalah sebuah alam yang belum terbebaskan dari bahaya kelahiran, usia tua, dan kematian. Sebenarnya hanyalah sebuah wilayah yang masih berada dalam kekuasaan raja kematian.”
0 komentar:
Posting Komentar