Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Khaṇḍahāla- Jātaka162 tentang penyewaan para pemanah, dan di dalam Cullahaṃsa-Jātaka163 tentang raungan Gajah Dhanapāla164.
Kemudian mereka memulai pembicaraan di dalam balai kebenaran: “Āvuso, apakah Thera Ānanda (Ananda), yang mendapatkan segala kebijaksanaan di saat ia masih belajar, telah mengorbankan nyawanya untuk Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha) ketika Dhanapāla (Dhanapala) datang?”
Sang Guru datang, dan setelah diberitahukan pokok pembicaraannya, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, di masa lampau Ananda juga mengorbankan nyawanya untuk diriku,” dan Beliau menceritakan kisahnya.
Dahulu kala terdapat sebuah desa brahmana yang bernama Sālindiya (Salindiya) di sebelah timur Rājagaha. Bodhisatta lahir di desa itu, di dalam keluarga brahmana petani. Ketika dewasa, ia mendapatkan dan mengolah ladang seluas seribu karisa165 di daerah Magadha, sebelah timur laut dari desa itu.
Pada suatu hari, ia pergi ke ladang dengan pembantunya, dan setelah memerintahkan mereka untuk mulai bekerja di sana, ia pergi ke sebuah kolam besar di ujung sawah itu untuk mencuci muka. Di dalam kolam itu terdapat seekor kepiting yang berwarna emas, sangat cantik dan memikat.
Bodhisatta, sehabis menguyah serat kayu (untuk menggosok gigi), masuk ke dalam kolam itu. Ketika ia sedang mencuci muka, kepiting itu datang menghampirinya, kemudian ia mengangkat dan meletakkannya di pakaian luarnya, dan setelah melakukan pekerjaannya di ladang, ia meletakkan kepiting itu kembali ke dalam kolam dan pulang.
Sejak saat itu, setiap kali ke sawah, ia selalu pergi ke kolam itu terlebih dahulu, meletakkan kepiting itu di pakaian luarnya dan kemudian melakukan pekerjaannya. Maka suatu perasaan kepercayaan yang kuat pun terjalin di antara mereka, Bodhisatta menjadi selalu datang ke ladangnya. Waktu itu, di matanya terlihat lima kecermelangan dan tiga lingkaran yang sangat murni.
Seekor burung gagak betina di dalam sangkarnya di atas pohon lontar di sudut ladang itu, melihat matanya, dan dikarenakan ingin memakan matanya, ia berkata kepada burung gagak jantan, “Suamiku, saya memiliki sebuah keinginan.” “Apa keinginanmu?” “Saya ingin memakan mata dari seorang brahmana.” “Itu adalah keinginan yang buruk, siapa yang bisa mendapatkannya untukmu?” “Saya tahu kamu tidak bisa, tetapi di gundukan rumah semut dekat pohon kita ini ada seekor ular hitam: layanilah ia, ia akan menggigit brahmana itu dan membunuhnya, kemudian kamu dapat mencungkil matanya keluar dan membawakannya kepadaku.” Gagak jantan itu setuju dengannya dan mulai melayani ular hitam tersebut.
Kepiting itu sudah menjadi besar pada saat bersamaan dengan tumbuhnya tanaman dari bibit yang ditaburkan oleh Bodhisatta.
Pada suatu hari, ular berkata kepada gagak, “Teman, Anda selalu melayaniku, apa yang dapat kulakukan untukmu?” “Tuan, istri dari pelayanmu ini menginginkan mata dari tuan ladang ini; saya selalu melayanimu dengan harapan untuk mendapatkan matanya melalui bantuanmu.” Ular berkata, “Baiklah, itu tidak sulit, Anda akan mendapatkannya,” dan demikian memberikan semangat kepadanya. Keesokan harinya, ular itu berbaring menunggu kedatangan brahmana, bersembunyi di rerumputan, dekat pinggiran ladang tempat ia datang.
Bodhisatta masuk ke dalam kolam, mencuci muka dan menyebarkan perasaan cinta kasih kepada kepiting itu. Ia memeluknya dan meletakkannya di pakaian luarnya dan pergi ke ladang. Ular yang melihatnya datang langsung melaju dengan cepat ke depan dan menggigit betisnya. Setelah membuatnya terjatuh di tempat, ular itu kembali ke sarangnya. Jatuhnya Bodhisatta, keluarnya kepiting emas, dan hinggapnya gagak di dada Bodhisatta terjadi secara berurutan.
Ketika gagak hendak mencungkil keluar mata Bodhisatta dengan paruhnya, kepiting berpikir, “Karena gagak ini, bahaya menimpa temanku. Jika saya menangkapnya, ular itu akan datang,” maka dengan capitnya ia menjepit leher gagak sekuat-kuatnya, kemudian ia kelelahan dan melonggarkan jepitannya. Gagak kemudian memanggil ular itu, “Teman, mengapa Anda meninggalkanku dan melarikan diri? Kepiting ini membuatku dalam masalah, datanglah ke sini, saya akan mati,” dan mengucapkan bait pertama berikut:—
Mahkluk bercapit emas dengan mata menyembul,
tinggal di kolam kecil, tidak berambut,
dengan cangkang tipis yang jelek,
Ia menangkapku: dengarkanlah jeritan sedihku!
Mengapa Anda meninggalkan seorang teman yang sangat mengasihimu?
Ular yang mendengar perkataannya datang dengan tudung yang terbuka lebar, dan menenangkan gagak itu.
Sang Guru, untuk menjelaskan masalah ini dengan kebijaksanaan-Nya yang sempurna, mengucapkan bait kedua berikut:—
Ular datang ke tempat itu dengan cepat,
temannya tidak ia tinggalkan:
Dengan mengembangkan tudungnya,
ia datang, kepiting kemudian melawannya.
Kepiting melonggarkan jepitannya sedikit karena kelelahan. Ular berpikir, “Kepiting tidak memangsa daging burung gagak ataupun daging ular, kalau begitu mengapa kepiting yang satu ini menyerang kami?” dan mengajukan pertanyaan dengan mengucapkan bait ketiga berikut:—
Bukanlah dikarenakan perebutan makanan
yang menyebabkan kepiting menyerang ular atau gagak:
Beritahukan saya, Anda yang matanya menyembul,
mengapa memperlakukan kami demikian?
Setelah mendengar pertanyaannya, kepiting mencoba menjelaskannya dengan mengucapkan dua bait kalimat berikut:—
Laki-laki ini memungutku dari kolam,
Ia telah melakukan banyak kebaikan kepadaku;
Jika ia mati, saya pasti bersedih:
ia dan saya adalah satu.
Melihat pertumbuhanku yang begitu cepat,
semua orang pasti ingin membunuhku:
Gemuk, manis dan lembut,
gagak juga akan melukaiku di saat melihatku!
Setelah mendengar jawabannya, ular berpikir, “Dengan cara anu, akan kuperdaya dirinya sehingga saya dan gagak dapat membebaskan diri.” Maka untuk memperdayanya, ia mengucapkan bait keenam berikut:—
Jika Anda menangkap kami dikarenakan dirinya,
saya akan mengeluarkan racun dari tubuhnya,
ia akan hidup kembali:
Cepat! lepaskanlah saya dan gagak dari jepitanmu;
Jangan sampai racunnya masuk terlalu dalam,
kalau tidak, ia akan mati.
Mendengarkan perkataan ular tersebut, kepiting berpikir, “Hewan ini ingin membuatku melepaskan mereka berdua dengan cara memperdayaku dan kemudian melarikan diri, ia tidak tahu keahlianku dalam perdayaan; sekarang akan kulonggarkan jepitanku sedikit agar ular dapat bergerak, tetapi saya tidak akan melepaskan gagak ini,” dan mengucapkan bait ketujuh berikut:—
Saya akan melepaskan ular,
tetapi tidak akan melepaskan gagak.
Gagak ini akan menjadi sandera bagiku:
Ia tidak akan kulepaskan sebelum
temanku kembali seperti sediakala.
Setelah berkata demikian, ia melonggarkan capitnya untuk melepaskan ular. Ular itu mengeluarkan racun dari tubuh brahmana dan membersihkan tubuhnya, kemudian Bodhisatta bangkit kembali dan berdiri seperti sediakala.
Kepiting kemudian berpikir, “Jika dua hewan ini dilepaskan, tidak akan ada keamanan bagi temanku. Saya akan menghabisi mereka,” dan ia mematahkan kepala mereka seperti mematahkan kelopak bunga teratai dengan capitnya.
Burung gagak betina yang melihat kejadian itu terbang melarikan diri. Bodhisatta menusuk badan ular itu dengan kayu dan melemparnya ke semak-semak, melepaskan kepiting kembali ke kolam, mandi dan pulang kembali ke Salindiya.
Sejak saat itu, terjalinlah persahabatan yang lebih erat lagi di antara kepiting dan dirinya.
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka dengan mengucapkan bait terakhir berikut:—
“Māra adalah ular hitam,
Devadatta adalah gagak,
Ānanda adalah kepiting yang baik hati,
dan saya sendiri adalah brahmana.”
Di akhir kebenarannya, banyak yang mencapai tingkat kesucian Sotāpanna dan tingkat kesucian lainnya. Gagak betina adalah Ciñcamānavikā, tetapi ia tidak disebutkan di dalam bait terakhir di atas.
salam ceria...
0 komentar:
Posting Komentar