Yang Ariya Sariputta lahir dari orangtua brahmana dari desa Upatissa; sehingga ia diberi nama Upatissa. Ibunya bernama Sari. Teman dekatnya adalah Kolita, seorang brahmana muda, anak dari Moggali. Kedua anak muda ini sedang mencari ajaran yang benar, yang akan mengantar mereka menuju kebebasan dari lingkaran kelahiran kembali. Keduanya mempunyai keinginan yang kuat untuk memasuki kelompok religius.
Pertama-tama, mereka pergi kepada Sanjaya, tetapi mereka tidak puas dengan ajarannya. Kemudian mereka mengembara ke seluruh Jambudipa mencari seorang guru yang dapat menunjukkan mereka jalan menuju ke keadaan tanpa kematian. Tetapi pencarian mereka tidak membuahkan hasil. Setelah beberapa waktu, mereka berpisah dengan kesepakatan bahwa siapa yang menemukan dhamma sejati terlebih dahulu akan memberitahu yang lain.
Pada suatu saat Sang Buddha tiba di Rajagaha, dengan rombonganpara bhikkhu, termasuk Assaji Thera, salah satu dari lima bhikkhu pertama (Pancavaggi). Ketika Assaji Thera sedang berjalan menerima dana makanan, Upatissa melihat sang thera, ia sangat terkesan dengan wajah dan penampilan thera yang mulia. Sehingga Upatissa dengan penuh hormat mendekati sang thera dan bertanya siapakah gurunya, ajaran apakah yang diajarkannya, dan juga mohon secara singkat mengajarkan ajarannya kepada dirinya.
Assaji Thera menjawab Upatissa tentang kedatangan Sang Buddha dan perjalananNya di Vihara Veluvana dekat Rajagaha. Sang thera juga mengutip satu bait yang terdapat dalam ‘Empat Kebenaran Mulia’. Syair itu demikian :
Pertama-tama, mereka pergi kepada Sanjaya, tetapi mereka tidak puas dengan ajarannya. Kemudian mereka mengembara ke seluruh Jambudipa mencari seorang guru yang dapat menunjukkan mereka jalan menuju ke keadaan tanpa kematian. Tetapi pencarian mereka tidak membuahkan hasil. Setelah beberapa waktu, mereka berpisah dengan kesepakatan bahwa siapa yang menemukan dhamma sejati terlebih dahulu akan memberitahu yang lain.
Pada suatu saat Sang Buddha tiba di Rajagaha, dengan rombonganpara bhikkhu, termasuk Assaji Thera, salah satu dari lima bhikkhu pertama (Pancavaggi). Ketika Assaji Thera sedang berjalan menerima dana makanan, Upatissa melihat sang thera, ia sangat terkesan dengan wajah dan penampilan thera yang mulia. Sehingga Upatissa dengan penuh hormat mendekati sang thera dan bertanya siapakah gurunya, ajaran apakah yang diajarkannya, dan juga mohon secara singkat mengajarkan ajarannya kepada dirinya.
Assaji Thera menjawab Upatissa tentang kedatangan Sang Buddha dan perjalananNya di Vihara Veluvana dekat Rajagaha. Sang thera juga mengutip satu bait yang terdapat dalam ‘Empat Kebenaran Mulia’. Syair itu demikian :
Ye dhamma hetupppa bhava
tesam hetum tathagato aha
tesanca yo nirodho
evam vadi maha samano
Yang berarti :
Sang Tathagata telah menjelaskan sebab dan juga terhentinya semua fenomena yang muncul dari suatu sebab. Ini adalah ajaran yang telah disampaikan oleh pertapa Agung.
Ketika saat pertengahan syair ini diucapkan, Upatissa mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Seperti telah dijanjikan bersama, Upatissa pergi menemui temannya Kolita untuk memberitahukan bahwa ia telah menemukan Dhamma sejati. Kemudian dua sahabat tersebut, disertai dengan dua ratus lima puluh pengikutnya, pergi menemui Sang Buddha yang waktu itu berada di Rajagaha. Ketika mereka tiba di Vihara Veluvana, mereka mohon izin untuk memasuki pasamuan bhikkhu, dan keduanya, Upatissa dan Kolita, beserta dua ratus lima puluh pengikutnya, diterima sebagai bhikkhu. Upatissa, anak dari Sari, dan Kolita, anak dari Moggali, kemudian dikenal sebagai Sariputta dan Moggallana.
Segera setelah penerimaan mereka dalam pasamuan bhikkhu, Sang Buddha menjelaskan Dhamma secara terperinci kepada mereka. Moggallana dan Sariputta mencapai tingkat kesucian Arahat masing-masing pada akhir hari ke tujuh dan hari ke lima belas.
Y.A.Sariputta selalu mengingat bahwa ia telah dapat bertemu dengan Sang Buddha, dan mencapai keadaan tanpa kematian melalui Y.A.Assaji. Jadi, ia selalu menghormat dengan cara membungkukkan badan dimana gurunya berada dan selalu tidur dengan kepala menghadap ke arah yang sama.
Bhikkhu-bhikkhu lain yang tinggal bersamanya di Vihara Jetavana salah mengartikan tindakannya dan berkata kepada Sang Buddha, “Bhante! Y.A.Sariputta masih menyembah ke bermacam-macam arah Timur, Selatan, Barat, Utara, Atas, dan Bawah, seperti yang dilakukannya sebagai seorang brahmana muda. Nampaknya ia belum meninggalkan kepercayaan lamanya.”
Sang Buddha memanggil Yang Ariya Sariputta dan, Sariputta menjelaskan pada Sang Buddha bahwa ia hanya menghormat dengan membungkukkan badan kepada gurunya, Y.A.Assaji, dan ia tidak menyembah ke bermacam-macam arah. Sang Buddha puas dengan penjelasan yang diberikan oleh Y.A. Sariputta dan berkata kepada bhikkhu-bhikkhu yang lain, “Para bhikkhu! Sariputta tidak menyembah ke bermacam-macam arah. Ia hanya menghormat dengan membungkukkan badan kepada gurunya, karena melalui dialah ia dapat mencapai ‘Keadaan Tanpa Kematian’. Adalah hal yang benar dan tepat baginya untuk menghormat kepada guru seperti itu.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 392 berikut :
Apabila melalui orang lain seseorang dapat mengenal Dhamma sebagaimana yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha, maka hendaklah ia menghormati orang tersebut, seperti seorang brahmana menghormati api sucinya.
Y.A. Sariputta sering dipuji oleh banyak orang karena kesabaran dan pengendalian dirinya. Murid-muridnya biasa membicarakannya demikian: “Guru kita adalah orang yang memiliki kesabaran yang tinggi dan pengendalian diri yang luar biasa. Jika beliau diperlakukan kasar atau bahkan dipukul oleh orang lain, beliau tidak menjadi marah tetapi tetap tenang dan sabar.”
Karena pembicaraan mengenai Y.A. Sariputta ini sering terjadi, seorang brahmana yang mempunyai padanganan salah mengumumkan kepada para pengagum Sariputta bahwa ia akan memancing kemarahan Y.A. Sariputta.
Karena pembicaraan mengenai Y.A. Sariputta ini sering terjadi, seorang brahmana yang mempunyai padanganan salah mengumumkan kepada para pengagum Sariputta bahwa ia akan memancing kemarahan Y.A. Sariputta.
Pada saat Y.A. Sariputta sedang berpindapatta, muncullah brahmana tersebut menghampiri beliau dari belakang dan memukul punggung beliau dengan keras menggunakan tangan. Sang Thera tidak berbalik untuk melihat siapa yang telah menyerangnya, tetapi meneruskan perjalanannya seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi.
Melihat keluhuran dan ketabahan dari sang Thera yang mulia tersebut, brahmana itu menjadi sangat terkejut. Ia berlutut di kaki Y.A. Sariputta, mengakui bahwa ia telah bersalah memukul sang Thera, dan meminta maaf. Brahmana itu kemudian melanjutkan, “Yang Ariya, hendaknya engkau memaafkanku, dengan senang hati datanglah ke rumahku untuk menerima dana makanan.”
Sore harinya para bhikkhu lain memberitahu Sang Buddha bahwa Y.A. Sariputta telah pergi untuk menerima dana makanan ke rumah seorang brahmana yang telah memukulnya. Lebih lanjut, mereka menduga bahwa brahmana tersebut makin berani dan akan melakukan hal yang sama terhadap para bhikkhu yang lain.
Kepada para bhikkhu tersebut, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, seorang brahmana sejati tidak akan memukul brahmana sejati lainnya; hanya orang biasa maupun brahmana biasa yang akan memukul seorang arahat dengan kemarahan dan itikad jahat. Itikad jahat ini akan dilenyapkan oleh seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian anagami.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 389 dan 390 berikut :
Janganlah seseorang memukul brahmana, juga janganlah brahmana yang dipukul itu menjadi marah kepadanya. Sungguh memalukan perbuatan orang yang memukul brahmana,tetapi lebih memalukan lagi adalah brahmana yang menjadi marah kepada orang yang telah memukulnya.
Tak ada yang lebih baik bagi seorang ‘brahmana’selain menarik pikirannya dari hal-hal yang menyenangkan. Lebih cepat ia dapat menyingkirkan itikad jahat,maka lebih cepat pula penderitaannya akan berakhir.
salam ceria...
0 komentar:
Posting Komentar