Dikatakan para titthiya ini, di beberapa tempat di dekat Jetavana, berbaring di atas duri, melakukan lima jenis penyiksaan diri, dan mempraktikkan berbagai jenis pertapaan yang salah. Pada suatu hari, satu rombongan bhikkhu yang berjalan kembali ke Jetavana setelah berpindapata di Savatthi, melihat para titthiya ini menjalankan pertapaan yang salah tersebut.
Para bhikkhu itu mendatangi Sang Guru dan bertanya, “Bhante, apakah ada yang didapatkan dari apa yang dilakukan oleh para titthiya ini?” Beliau berkata, “Tidak, Bhikkhu, tidak ada kebaikan ataupun keuntungan yang didapatkan. Ketika perbuatan ini diuji, ia seperti jalan di atas tumpukan kotoran, atau seperti suara ribut yang di dengar oleh kelinci.” “Kami tidak mengetahui tentang suara ribut itu, Bhante. Beri tahukanlah kami, Bhante.”
Maka atas permintaan mereka, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor singa. Dan ketika dewasa, ia tinggal di dalam hutan.
Kala itu di dekat samudra barat terdapat hutan yang dipenuhi dengan pohon lontar bercampur dengan pohon maja53. Seekor kelinci tinggal di kaki pohon maja di bawah teduhnya pohon lontar. Pada suatu hari, sesudah makan, kelinci ini berbaring di bawah teduhnya pohon lontar. Kemudian terpikir olehnya, “Jika bumi ini runtuh, ke manakah saya harus pergi?” dan pada saat itu juga buah maja yang masak jatuh di daun lontar.
Mendengar suara ini, kelinci berpikir, “Bumi ini akan runtuh,” dan ia mulai berlari tanpa menoleh ke belakang. Kelinci yang lain melihatnya lari dengan tergesa-gesa, seperti takut akan kematian, bertanya apa sebabnya ia berlari dengan panik. “Tolong jangan tanya saya,” katanya. Kelinci yang lain berkata, “Sobat, tolong beri tahu saya ada apa ini?” sambil berlari mengejarnya.
Kemudian kelinci itu berhenti sejenak dan, tanpa menoleh ke belakang, ia berkata, “Bumi ini akan runtuh.” Setelah mendengar ini, kelinci yang kedua menjadi ikut berlari bersamanya, dimulai dari seekor kelinci ditambah satu kelinci lagi dan dilihat oleh kelinci lainnya mereka terus berlari sampai seratus ribu kelinci ikut berlari bersama.
Mereka terlihat oleh seekor rusa, babi hutan, rusa besar, kerbau, sapi, badak, harimau, singa, dan gajah. Ketika bertanya apa yang sedang terjadi dan diberitahukan bahwa bumi akan runtuh, mereka semua pun juga ikut berlari. Maka secara bertahap, kerumunan hewan ini bertambah banyak sampai memenuhi panjang satu yojana.
Ketika melihat kerumunan hewan yang berlari ini dan mendengar bahwa penyebabnya adalah karena bumi akan runtuh, Bodhisatta berpikir: “Tidak mungkin bumi akan runtuh. Pastilah itu merupakan suara yang disalahartikan oleh mereka. Dan jika saya tidak berusaha semampuku, mereka semua akan mati. Akan kuselamatkan mereka.”
Jadi dengan kecepatan seekor singa, ia mendahului mereka di sebuah kaki gunung, dan mengeluarkan auman singa sebanyak tiga kali. Mereka semua yang mendengarnya menjadi takut, berhenti berlari dan berkumpul bersama. Singa kemudian masuk di tengah-tengah mereka dan menanyakan mengapa mereka berlari seperti itu.
“Bumi ini akan runtuh,” mereka menjawab.
“Siapa yang melihat bumi ini akan runtuh?” katanya. “Gajah yang mengetahui semuanya,” jawab mereka.
Ia bertanya kepada para gajah. “Kami tidak tahu,” kata mereka, “singa yang tahu.” Tetapi singa berkata, “Kami tidak tahu, harimau yang tahu.” Harimau berkata, “Badak yang tahu.” Badak berkata, “Sapi yang tahu.” Sapi berkata, “Kerbau yang tahu.” Kerbau berkata, “Rusa besar yang tahu.” Rusa besar berkata, “Babi hutan yang tahu.” Babi hutan berkata, “Rusa yang tahu.” Rusa berkata, “Kelinci yang tahu.” Ketika kelinci ditanya, mereka menunjuk ke seekor yang berlari pertama tadi dan berkata, “Ia yang memberi tahu kami.”
Maka Bodhisatta bertanya, “Sobat, apakah benar bahwa bumi akan runtuh?”
“Ya, Tuan, saya melihatnya,” kata kelinci tersebut. “Dimana,” tanyanya, “kamu berada ketika melihatnya?” “Di dekat samudra, Tuan, di hutan kecil yang ditumbuhi pohon lontar bercampur dengan pohon maja. Ketika sedang berbaring di bawah teduhnya pohon lontar, saya berpikir, ‘Jika bumi ini runtuh, ke manakah saya harus pergi?’ dan pada saat itu juga saya mendengar suara runtuhnya bumi dan saya langsung lari menyelamatkan diri.”
Singa berpikir: “Buah maja yang masak secara kebetulan mungkin jatuh pada daun lontar dan menimbulkan suara ‘gedebuk’, dan kelinci ini beranggapan bahwa bumi ini akan runtuh dan lari menyelamatkan diri. Akan kucari tahu kebenarannya.” Maka ia meyakinkan hewan-hewan yang lain, dengan berkata, “Saya akan membawa kelinci ini pergi dan mencari tahu apakah benar bumi ini akan runtuh, di tempat yang ia tunjukkan. Tetaplah di sini sampai saya kembali.”
Kemudian dengan membawa kelinci itu di atas punggungnya, ia menerjang maju dengan kecepatan seekor singa. Sesampainya di hutan yang dimaksud, ia berkata, “Mari, tunjukkan padaku tempat yang kamu katakan tadi.” “Saya tidak berani, Tuan,” kata kelinci. “Ayolah, jangan takut,” kata singa kembali.
Kelinci yang tidak berani mendekati pohon maja itu berdiri jauh di belakang, seraya berkata, “Di sana, Tuan, itulah tempat munculnya suara yang menakutkan itu. Setelah berkata demikian, ia mengulangi bait pertama berikut:
Dari tempat saya tinggal itulah,
muncul suara ‘gedebuk’ yang mengerikan;
Saya tidak tahu suara apa itu,
dan tidak mengerti apa penyebabnya.
Setelah mendengar apa yang dikatakan kelinci itu, singa pergi menuju ke kaki pohon maja dan melihat tempat dimana kelinci berbaring tadinya di bawah teduhnya pohon lontar, dan juga melihat buah maja masak yang jatuh di daun lontar. Setelah merasa benar-benar yakin bahwa bumi tidaklah akan runtuh, ia menaikkan kelinci di atas punggungnya dan dengan kecepatan seekor singa mereka segera kembali ke kerumunan hewan tersebut.
Kemudian ia menceritakan semuanya kepada mereka dan berkata, “Jangan takut.” Dan setelah meyakinkan kerumunan hewan tesebut, ia meminta mereka untuk pulang kembali. Jika bukan karena Bodhisatta pada waktu itu, mereka semua pasti sudah akan berlari masuk ke dalam samudra dan mati. Berkat Bodhisattalah mereka lolos dari kematian.
Terkejut cemas oleh suara buah yang jatuh,
seekor kelinci lari menyelamatkan diri,
hewan-hewan lain ikut berlari bersama dengannya,
tergerak karena kecemasan si kelinci.
Mereka tergesa-gesa,
tanpa menoleh ke tempat kejadian,
hanya mendengar, memercayai kabar angin,
dan tidak tahu apa-apa, kebingungan dengan perasaan takut yang bodoh.
Mereka yang tenang dalam kebijaksanaan
merasa bahagia dan memiliki moral yang tinggi;
Meskipun contoh perbuatan salah datang menggoda,
kepanikan yang demikian tidak akan terjadi.
Ketiga bait di atas diucapkan oleh Ia Yang Sempurna Kebijaksanaan-Nya.
Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini setelah menyelesaikan uraian-Nya: “Pada masa itu, saya adalah singa.”
salam ceria...
0 komentar:
Posting Komentar