Dalam cerita ini, raja datang Auntuk mendengarkan khotbah Dhamma dan Sang Guru menyapanya dalam kata-kata berikut ini: “Paduka, seorang raja harus memerintah kerajaannya dengan benar, karena ketika seorang raja tidak benar, maka para pengikutnya juga menjadi tidak benar.”
Dan untuk menasihati dirinya dalam jalan yang benar seperti yang diceritakan di dalam Catukkanipāta , Beliau memberi tahu keburukan dan kebaikan dalam mengikuti dan menghindari jalan-jalan yang salah, dan menguraikan keburukan yang timbul dari kesenangan indriawi, membandingkannya dengan yang timbul dari mimpi dan sejenisnya, dengan berkata, “Dalam masalah orang-orang ini, Tak ada suap yang mampu menyingkirkan kematian yang merongrong, tak ada kebajikan yang mampu menenangkannya. Tak ada seorangpun mampu mengalahkan kematian dalam pertempuran, karena semuanya pasti akan mati.
Dan ketika mereka pergi ke dunia mendatang, selain perbuatan kebajikan mereka sendiri, mereka tidak memiliki perlindungan yang lainnya lagi. Oleh karena itu, mereka harus sungguh-sungguh meninggalkan penampilan yang rendah.
Demi keharuman nama baik mereka, mereka tidak boleh lalai, melainkan harus penuh perhatian dan menjalankan pemerintahan dengan benar. Bahkan seorang raja di masa lampau, sebelum Sang Buddha muncul, yang mengikuti nasihat dari yang bijak, memerintah dengan benar dan setelah meninggal terlahir kembali di alam surga,” dan atas permintaan raja, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala Brahmadatta memerintah di Benares dan tidak memiliki ahli waris, serta doanya untuk mendapatkan seorang putra atau seorang putri tidak terkabulkan.
Suatu hari, bersama dengan rombongan besar, ia pergi ke taman dan setelah bermain selama setengah hari di tamannya, ia meminta pengawalnya untuk membentangkan tempat duduk bagi dirinya di bawah kaki pohon sala yang besar. Setelah tidur siang yang singkat, ia terbangun dan ketika melihat ke atas, ia melihat sebuah sangkar burung di pohon itu.
Ketika melihatnya, keinginan raja untuk memilikinya pun muncul, dan dengan memanggil salah satu pengawalnya, ia berkata, “Panjat pohon itu dan lihat apakah ada sesuatu di dalam sangkar itu atau tidak.”
Pengawal tersebut naik ke atas dan memberitahu kepada raja sewaktu menemukan tiga butir telur di dalamnya. “Kalau begitu, hati-hati untuk tidak menjatuhkan telur-telur itu,” kata raja. Setelah meletakkan kapas di dalam kotak kecil, raja meminta pengawal itu untuk turun dengan pelan dan meletakkan telur-telur tersebut di dalamnya.
Ketika telur-telur itu telah diletakkan, raja mengangkat kotak kecil tersebut dan menanyakan kepada menteri istananya telur-telur tersebut milik burung apa. Mereka menjawab, “Kami tidak tahu. Para pemburu pasti mengetahuinya.” Raja memanggil para pemburu dan menanyakan mereka. “Paduka,” kata mereka, “yang satu adalah telur burung hantu, yang satu adalah telur burung maynah, dan yang satunya lagi adalah telur burung nuri.” “Jadi ada telur dari tiga jenis burung yang berbeda dalam satu sangkar?” “Ya, Paduka, ketika tidak ada hal yang ditakutkan, apa yang dititipkan dengan hati-hati tidak akan hancur.”
Raja yang merasa senang tersebut berkata, “Mereka akan menjadi anak-anakku,” dan dengan memercayakan ketiga telur tersebut dalam tanggung jawab tiga menteri istananya, raja berkata, “Telur-telur ini nantinya akan menjadi anak-anakkku. Jagalah mereka dengan hati-hati dan di saat anak-anak burung tersebut menetas keluar dari cangkangnya, beritahukan saya.” Mereka pun merawat telur-telur tersebut dengan baik.
Pertama, telur burung hantu yang menetas, dan sang menteri memanggil seorang pemburu dan berkata, “Cari tahu jenis kelamin dari anak burung ini, apakah ia seekor burung jantan atau betina,” ketika ia telah memeriksa dan mengatakan bahwa itu adalah seekor burung jantan, sang menteri pergi menjumpai raja dan berkata, “Paduka, putramu telah lahir.” Raja merasa gembira dan melimpahkan banyak harta kekayaan kepada dirinya dengan berkata, “Jaga ia dengan hati-hati dan berikan ia nama Vessantara,” raja menyuruhnya pergi. Ia pun melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.
Kemudian beberapa hari sesudahnya, telur burung maynah menetas, dan menteri yang kedua juga sama halnya dengan yang pertama, setelah meminta seorang pemburu untuk memeriksa jenis kelaminnya dan mendengar bahwa itu adalah seekor burung betina, pergi menjumpai raja dan memberitahukannya tentang kelahiran putrinya. Raja merasa gembira dan juga memberikannya banyak harta dan dengan berkata, “Jagalah putriku dengan hati-hati dan berikan ia nama Kuṇḍalinī, ” raja menyuruhnya pergi. Ia pun juga melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.
Kemudian beberapa hari setelahnya, telur burung nuri menetas dan menteri yang ketiga, ketika diberitahu oleh pemburu yang memeriksa jenis kelamin burung tersebut bahwa itu adalah seekor burung jantan, pergi dan memberitahukannya kepada raja tentang kelahiran putranya.
Raja merasa gembira dan setelah memberikannya banyak harta, ia berkata, “Adakan sebuah perayaan untuk kehormatan putraku dengan meriah dan berikan ia nama Jambuka,” kemudian menyuruhnya pergi. Ia pun juga melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.
Ketiga burung ini tumbuh di dalam rumah ketiga menteri tersebut dengan segala pelayanan selayaknya anggota kerajaan.
Raja membicarakan mereka dengan terbiasa mengatakan ‘putraku’ dan ‘putriku.’ Para menterinya, satu sama lain, mengolok-olok raja dengan berkata, “Lihatlah apa yang dilakukan oleh raja. Ia selalu mengatakan burung-burung itu sebagai putra dan putrinya.” Raja berpikir, “Para menteri ini tidak mengetahui tingginya kebijaksanaan anak-anakku.
Saya akan membuatnya menjadi jelas kepada mereka.” Maka ia mengutus salah satu menterinya kepada Vessantara untuk mengatakan, “Ayahmu ingin menanyakan sebuah pertanyaan padamu, kapankah bisa beliau datang dan menanyakannya?” Sang menteri pergi menjumpai dan memberi hormat kepada Vessantara, kemudian menyampaikan pesan tersebut. Vessantara memanggil menteri yang merawatnya dan berkata, “Ayahku,” mereka memberitahu saya, “ingin menanyakanku sebuah pertanyaan. Di saat ia datang, kita harus menunjukkan kepada dirinya dengan segala hormat,” dan ia bertanya, “Kapankah beliau bisa datang?” Menteri tersebut berkata, “Mintalah ia datang pada hari ketujuh dimulai dari hari ini.”
Vessantara yang mendengar ini berkata, “Mintalah ayahku datang pada hari ketujuh mulai dari hari ini,” dan dengan mengatakan ini ia meminta menteri itu kembali. Menteri itu pergi dan memberitahu raja.
Pada hari ketujuh, raja memerintahkan agar genderang ditabuh di seluruh kota dan pergi ke rumah tempat putranya tinggal. Vessantara menjamu raja dengan kehormatan yang besar dan bahkan menunjukkan keramahtamahan kepada para budak dan pelayan sewaan.
Setelah menyantap makanan di rumah Vessantara dan menikmati pelayanan yang mewah, raja kembali ke kediamannya. Kemudian ia menyuruh pengawalnya untuk membuat sebuah paviliun yang besar di halaman istana, dan setelah membuat pengumuman ke seluruh kota dengan menabuh genderang, ia duduk di dalam paviliun megahnya yang dikelilingi oleh rombongan besar dan mengirimkan pesan kepada seorang menteri istana untuk membawa Vessantara menghadap.
Menteri tersebut membawa Vessantara datang dengan duduk di sebuah dipan emas. Kemudian Vessantara duduk di pangkuan ayahnya dan bercanda dengannya. Di tengah-tengah rombongan tersebut, raja menanyakan kepadanya tentang kewajiban seorang raja dan mengucapkan bait pertama berikut:
Saya ingin bertanya kepada Vessantara—burung terkasih,
semoga kamu diberkati—bagi seseorang yang memimpin
orang-orang lainnya, jalan hidup seperti apakah yang terbaik?
Tanpa langsung menjawab pertanyaannya, Vessantara memarahi raja karena kelalaiannya dan mengucapkan bait kedua berikut:
Kaṁsa, Raja Kāsi (Kasi), dahulunya begitu lalai,
mendesak diriku, putranya, untuk menunjukkan perhatian
yang lebih meskipun diriku telah penuh perhatian.
Setelah memarahi raja dalam bait ini dan dengan mengatakan, “Paduka, seorang raja harus memerintah kerajaannya dengan benar, berjalan dalam tiga kebenaran,” dan untuk memberitahukan kewajiban seorang raja, ia mengucapkan bait-bait berikut:
Pertama-tama seorang raja harus menghindari kebohongan,
kemarahan dan ketidakhormatan;
Ia harus melakukan apa yang seharusnya dilakukan
oleh seorang raja, jika tidak, berarti ia mengingkari janjinya.
Jika ia berbuat salah di masa lampau dengan terhanyut
oleh nafsu dan dusta, maka sudah pasti ia akan hidup
untuk menuai hasilnya sekarang dan belajar
untuk tidak melakukan kesalahan yang sama lagi.
Ketika seorang kaum kesatria menjadi lengah,
tidak benar terhadap nama dan ketenarannya;
jika semua kekayaannya tiba-tiba habis,
maka sang kesatria (raja) itu dipandang sebagai noda.
Ketika saya bertanya kepada Dewi Keberuntungan,
ia menjawab, ‘Kami senang berada dalam diri orang
yang bergiat dan bersemangat, yang terbebas dari iri hati.’
Ketidakberuntungan, yang selalu menghilangkan keberuntungan,
senang berada dalam diri orang dengan keburukan;
yaitu makhluk berhati keras yang di dalam dirinya berkembang iri hati.
Wahai raja, bertemanlah dengan semua orang
sehingga semuanya dapat menjaga keselamatanmu;
Hindarilah ketidakberuntungan, jadilah tempat
yang disenangi oleh keberuntungan.
Wahai penguasa Kasi, orang beruntung
yang dilengkapi dengan keteguhan akan menghabiskan
musuh-musuhnya sampai tuntas dan pasti akan memperoleh kejayaan.
Dewa Sakka yang agung selalu melihat keteguhan
di dalam diri seseorang dengan mata yang awas,
karena ia memandang keteguhan sebagai suatu kebajikan
dan di dalamnya terdapat kebaikan sejati.
Para pemusik surgawi (gandhabba), Brahma, dewa dan manusia,
semuanya, berusaha menandingi raja yang demikian,
dan para makhluk dewata berdiri di dekatnya,
melantunkan semangat dan keteguhannya.
Penuhkan perhatian dalam melakukan apa pun yang benar,
jangan menyerah pada keburukan;
Bersungguh-sungguhlah dalam segala sesuatu,
tidak ada pemalas yang mendapatkan kebahagiaan.
Inilah bagian dari kewajibanmu, untuk mengajarimu
jalan hidup yang seharusnya diikuti:
Ini sudah cukup untuk mendapatkan kebahagiaan
bagi seorang teman atau memberikan rasa sakit
yang menyedihkan bagi seorang musuh.
Demikianlah Vessantara dalam satu bait kalimat memarahi kelalaian raja dan kemudian untuk memberitahukan kewajiban seorang raja dalam sebelas bait itu menjawab pertanyaannya dengan pemahaman seorang Buddha.
Hati orang banyak tersebut dipenuhi dengan kekaguman dan keheranan, dan suara tepuk tangan yang tidak terhitung banyaknya pun terdengar.
Raja larut dengan kegembiraan dan berbincang kepada para menteri istananya untuk menanyakan kepada mereka apa yang harus dilakukan bagi putranya karena ia telah berbicara demikian. “Ia harus diangkat sebagai Panglima Perang, Paduka.” “Baiklah, saya akan memberikannya jabatan sebagai Panglima Perang,” dan raja menunjuk Vessantara ke dalam jabatan yang lowong tersebut. Sejak saat itu, dengan ditempatkan di dalam kedudukan tersebut, Vessantara menjalankan keinginan ayahnya. Selesailah kisah tentang Pertanyaan Vessantara ini.
Kemudian setelah beberapa hari, sama seperti sebelumnya, raja kembali mengirimkan pesan kepada Kuṇḍalinī. Pada hari ketujuh, Kuṇḍalinī datang berkunjung. Setelah kembali ke rumah, raja mengambil tempat duduk di tengah paviliun dan memberi perintah untuk membawa Kuṇḍalinī menghadap kepadanya. Dan ketika Kuṇḍalinī duduk di sebuah dipan emas, raja menanyakan kepadanya tentang kewajiban seorang raja dan mengucapkan bait kalimat berikut:
Kuṇḍalinī , yang memiliki hubungan dengan kerajaan,
dapatkah kamu menjawab pertanyaanku: bagi seseorang yang memimpin
orang-orang lainnya, jalan hidup seperti apakah yang terbaik?
Ketika demikian raja menanyakan kepadanya tentang kewajiban seorang raja, Kuṇḍalinī berkata: “Paduka, menurutku Anda sedang mengujiku, dengan berpikir ‘Apa yang dapat dikatakan oleh seorang wanita kepadaku?’ Saya akan memberitahumu, dengan membuat kewajibanmu sebagai seorang raja hanya dalam dua maksim56,” dan ia mengucapkan bait-bait kalimat berikut:
Permasalahannya, temanku, diutarakan
dalam dua maksim yang cukup sederhana:
Janganlah mengambil apa yang tidak dimiliki,
dan pertahankanlah apa yang telah dimiliki.
Agar dapat melihat tujuanmu dengan jelas
maka jadikanlah orang-orang yang bijak,
yang tidak melakukan perusakan, yang tidak menipu,
yang bebas dari bermabuk-mabukan dan
bebas perjudian, sebagai menteri-menterimu.
Orang yang demikian dapat menjagamu dengan tepat
dan juga harta kekayaanmu dengan segala perhatian,
seperti sais yang menunggangi keretanya, begitu juga mereka,
dengan keahliannya, mengemudikan kepada kesejahteraan rakyat kerajaan.
Jagalah dengan baik orang-orangmu,
dan gunakan harta kekayaanmu pada waktu yang tepat;
Jangan pernah memercayakan pinjaman atau simpanan
kepada orang lain, melainkan dirimu sendiri yang harus menyerahkannya.
Anda harus mengetahui dengan baik apa yang harus
dan tidak boleh dilakukan baik untuk keuntungan maupun kerugianmu;
Selalu salahkan orang yang memang bersalah
dan berikan bantuan kepada mereka yang pantas mendapatkannya.
Anda sendiri, wahai paduka, harus memerintah
orang-orangmu dalam setiap jalan yang benar;
Kalau tidak, kerajaan dan harta kekayaanmu
akan menjadi mangsa bagi para pejabat yang tidak benar.
Awasi bahwa tidak ada yang dilakukan baik oleh dirimu sendiri
maupun oleh orang lain dengan tergesa-gesa, karena orang dungu
yang bertindak demikian sudah pasti akan hidup
untuk menyesali perbuatannya itu.
Jangan memberi jalan pada kemarahan karena jika melampaui batasnya,
maka ia akan menuntun kepada kehancuran
bagi raja dan harta kekayaannya.
Pastikan sebagai raja, Anda tidak salah arah menuntun rakyat;
Kalau tidak, semuanya baik laki-laki maupun perempuan
akan seperti tersesat di samudra permasalahan.
Jika seorang raja terbebas dari segala rasa takut dan
kesenangan indriawi adalah tujuannya, maka di saat harta kekayaan
dan semuanya habis, raja itu akan dipandang sebagai noda.
Inilah kewajibanmu, mengajarkan kepadamu jalan yang seharusnya diikuti;
Jadilah orang yang cekatan dalam segala perbuatan kebajikan,
bebas dari bermabuk-mabukan dan tidak melakukan perusakan;
Lakukanlah kebajikan, karena orang yang tidak melakukan kebajikan
akan terlahir di alam yang menyedihkan.
Demikianlah Kuṇḍalinī juga mengajari raja tentang kewajibannya dalam sebelas bait kalimat. Raja merasa senang dan dengan menyapa para pejabat istananya, ia bertanya kepada mereka dengan mengatakan, “Apa yang harus diberikan kepada putriku sebagai hadiah atas perkataannya yang demikian ini?” “Sebagai seorang Bendahara, Paduka.” “Baiklah kalau begitu, saya berikan kepadanya kedudukan Bendahara,” dan raja menunjuk Kuṇḍalinī ke dalam jabatan yang lowong tersebut.
Sejak saat itu, Kuṇḍalinī berkuasa atas kas kerajaan dan bertindak atas nama raja. Selesailah kisah tentang Pertanyaan Kuṇḍalinī ini.
Setelah beberapa hari berlalu, sama seperti sebelumnya, raja kembali mengirim pesan kepada Jambuka yang bijak. Setelah pergi ke sana pada hari ketujuh dan dijamu dengan meriah, raja kembali ke rumah dan dengan cara yang sama mengambil tempat duduk di tengah paviliun. Seorang menteri mendudukkan Jambuka yang bijak di dipan berlapis emas. Kemudian untuk menanyakan sebuah pertanyaan kepadanya, raja mengucapkan bait kalimat berikut ini:
Kami telah bertanya kepada saudaramu,
sang pangeran, dan juga Kuṇḍalinī yang cantik;
Sekarang, Jambuka, adalah giliranmu untuk mengatakan
kepadaku tentang kekuatan yang tertinggi.
Demikianlah dalam menanyakan sebuah pertanyaan kepada Sang Mahasatwa, raja tidak bertanya dengan cara yang sama seperti ia bertanya kepada saudaranya yang lain, melainkan dengan cara yang khusus. Kemudian burung bijak tersebut berkata kepadanya, “Baiklah, Paduka, dengarkan dengan penuh perhatian. Saya akan memberitahukanmu semuanya,” dan seperti orang yang meletakkan sebuah dompet yang berisikan seribu keping uang pada tangan yang dijulurkankan keluar, ia memulai pemaparan tentang kewajiban seorang raja:
Di antara orang-orang yang mulia di dunia ini,
kita melihat ada lima jenis kekuatan.
Dari kelima jenis itu, kekuatan dari jasmani
adalah urutan yang paling akhir;
Kekuatan dari kekayaan adalah yang berikutnya.
Paduka, di urutan ketiga adalah kekuatan dari kawan;
Kekuatan dari status kelahiran diperhitungkan
sebagai urutan keempat dalam ketenarannya;
Dan orang yang bijak hampir memiliki semuanya ini.
Dari semua kekuatan ini, yang terbaik adalah
kekuatan dari kebijaksanaan;
Dengan kekuatan ini, seseorang menjadi bijak
dan membuat keberhasilannya sendiri.
Jika sebuah kerajaan kaya jatuh ke dalam kekuasaan
orang dungu yang malang, maka orang lain
akan merampasnya dengan kekerasan.
Melindungi simpanan seseorang adalah mendapatkan
lebih dan lebih banyak lagi, dan inilah hal-hal
yang saya ingin Anda ingat;
Karena orang dungu dengan perbuatan jahatnya,
seperti sebuah rumah yang dibangun dari alang-alang,
akan roboh dan hanya menyisakan kepingan dan puing-puing.
Demikianlah Bodhisatta dalam syair ini menyanjung lima kekuatan dan mengangkat kekuatan dari kebijaksanaan, seperti seseorang yang menembusi cakra bulan dengan kata-katanya, ia menasihati raja dalam sebelas bait kalimat di atas.
Kepada orang tuamu, raja kesatria, berikanlah perbuatan benar
dan demikian dengan menjalani kehidupan yang benar,
Anda akan menuju ke alam surga.
Setelah mengucapkan sepuluh bait kalimat tentang jalan kebenaran, masih untuk menasihati raja, ia mengucapkan bait kesimpulan berikut:
Inilah kewajibanmu, mengajarkan kepadamu
jalan yang seharusnya diikuti: Ikutilah kebijaksanaan
dan selamanya akan bahagia, dengan mengetahui keseluruhan dari kebenaran.
Betapa pun mulianya seorang raja, yang takdirnya
adalah untuk memimpin, ia akan sangat sulit untuk bertahan hidup
jika ia menjadi orang yang dungu.
Kebijaksanaan ini menguji perbuatan
dan mengembangkan ketenaran;
Barang siapa yang diberkahi dengan kebijaksanaan
masih mampu mendapatkan kesenangan bahkan dalam keadaan menderita.
Tidak ada orang yang tanpa perhatian dalam jalan mereka
mampu mencapai kebijaksanaan, melainkan harus berhubungan
dengan orang yang bijak dan benar. Kalau tidak, mereka tetap menjadi tidak tahu.
Barang siapa yang bangun awal tepat pada waktunya
dan memberikan perhatian tanpa lelah terhadap panggilan tugas
yang beraneka ragam, pasti berhasil dalam kehidupan ini.
Tidak ada seorangpun yang memberi perhatian
pada hal-hal yang tidak baik atau bertindak dengan tanpa perhatian
akan mendapatkan hasil yang bagus dalam segala hal yang dilakukannya.
Tetapi orang yang selalu dengan perhatian berada di jalan yang benar,
pasti mendapatkan kesempurnaan dalam segala hal yang dilakukannya.
Demikianlah Sang Mahasatwa, seolah-olah seperti menurunkan Sungai Gangga surgawi, mengajarkan Dhamma dengan segala pemahaman seorang Buddha. Dan kumpulan orang banyak tersebut memberikannya kehormatan yang besar dan mengeluarkan suara tepuk tangan yang tidak kalah meriahnya.
Raja merasa senang dan dengan menyapa para menterinya, bertanya, “Bagaimana seharusnya putraku, Jambuka yang bijak, dengan paruh seperti buah jambu yang segar, dihadiahi karena telah berbicara demikian?” “Dengan kedudukan sebagai Panglima Tertinggi, Paduka.” “Kalau begitu saya memberikan kepadanya kedudukan tersebut,” kata raja, dan menunjuk Jambuka ke jabatan yang lowong itu. Sejak saat itu, dengan kedudukan Panglima Tertinggi, ia menjalankan perintah dari ayahnya.
Kehormatan yang besar diberikan kepada tiga burung tersebut, dan mereka bertiga memberikan nasihat dalam masalah pemerintahan maupun spiritual. Dengan mengikuti nasihat dari Sang Mahasatwa dalam pemberian dana dan perbuatan bajik lainnya, raja terlahir di alam surga.
Para menteri, setelah melakukan pemakaman raja, berkata kepada burung-burung tersebut, “Tuanku Jambuka, raja memerintahkan untuk memberikan payung kerajaan kepadamu.” Sang Mahasatwa berkata, “Saya tidak memerlukan kerajaan, Anda sekalian sajalah yang memimpinnya dengan penuh perhatian,” dan setelah memantapkan orang banyak tersebut dalam sila, ia berkata, “Gerakkanlah pengadilan,” dan ia meminta orang untuk menuliskan kebenaran dari pengadilan di sebuah papan emas dan kemudian ia menghilang masuk ke dalam hutan.
Dan nasihatnya itu berlanjut terus berlaku selama empat puluh ribu tahun.
Dengan uraian cara pemberian nasihat kepada raja ini, Sang Guru memberikan khotbah Dhamma ini dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, raja adalah Ānanda, Kuṇḍalinī (Kundalini) adalah Uppalavaṇṇā, Vessantara adalah Sāriputta, dan burung Jambuka adalah saya sendiri.”
salam ceria...
0 komentar:
Posting Komentar