“Dengarkanlah saya, teman-teman,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang kesempurnaan dalam pelepasan (keduniawian).
Cerita pembukanya berhubungan dengan Mahānāradakassapa-Jātaka97.
Dahulu kala, kota yang sekarang menjadi Benares bernama Sudassana dan di sana hiduplah Raja Brahmadatta. Ratu utamanya melahirkan Bodhisatta. Wajahnya cerah sempurna seperti bulan purnama, dan oleh karenanya ia diberi nama Soma.
Ketika ia beranjak remaja, dikarenakan kegemarannya akan jus buah dan kebiasaannya mengambil sarinya, orang-orang mengenalnya sebagai Sutasoma (penyuling buah soma). Ketika dewasa, ia diajarkan semua cabang ilmu pengetahuan di Takkasilā, dan sekembalinya dari sana, payung putih diberikan kepadanya oleh ayahnya, dan ia pun memerintah kerajaan dengan benar, memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas, memiliki enam belas ribu istri, dengan Candadevī sebagai ratu utamanya.
Seiring berjalannya waktu ketika ia dikaruniai dengan keluarga besar, ia menjadi tidak puas dengan kehidupan rumah tangga dan pergi ke hutan, dengan memiliki keinginan untuk menjalankan kehidupan petapa.
Suatu hari, ia memanggil tukang pangkasnya dan menyapanya demikian, “Jika melihat sehelai rambut putih di kepalaku, kamu harus memberitahukannya kepadaku.” Tukang pangkas tersebut setuju untuk melakukannya dan akhirnya ia melihat sehelai rambut putih dan memberitahu raja tentang itu.
Raja berkata, “Kalau begitu, cabutlah rambut itu dan letakkan di tanganku.” Tukang pangkas itu mencabutnya dengan menggunakan pinset emas dan meletakkannya di tangan raja. Ketika melihatnya, Sang Mahasatwa berseru, “Badanku adalah mangsa bagi penuaan,” dan dalam ketakutan ia mengambil rambut putih itu dan turun dari teras ia duduk di sebuah dipan yang dapat terlihat oleh pandangan banyak orang.
Kemudian ia memanggil delapan puluh ribu pejabat istananya yang dikepalai oleh panglima, enam puluh ribu brahmana yang dikepalai oleh pendeta kerajaan, penduduk kerajaan dan orang-orang lainnya, dan berkata kepada mereka, “Rambut putih sudah muncul di kepalaku. Saya sekarang adalah seorang lelaki tua dan kalian semua harus tahu bahwa saya akan menjadi seorang petapa,” dan ia mengucapkan bait pertama berikut:
Dengarkanlah saya, teman-teman dan rakyat
yang berkumpul di sini, pejabat kerajaanku;
Uban telah muncul di kepalaku,
sekarang saya akan menjalankan kehidupan petapa.
Ketika mendengar ini, dalam kegundahan, mereka mengucapkan bait berikut:
Kata-kata yang demikian tak berdasar seperti ini di dalam ucapan,
Anda menyebabkan panah tertancap di hatiku:
Ingatlah akan tujuh ratus wanita kerajaanmu, Paduka;
Apa yang akan terjadi dengan mereka jika Anda pergi?
Kemudian Sang Mahasatwa mengucapkan bait ketiga:
Kesedihan mereka akan segera terhibur oleh hal lain,
mereka masih muda dan cantik; saya telah bertekad
pada pelepasan keduniawiaan, sekarang saya
akan menjalankan kehidupan petapa.
Karena tidak bisa lagi menjawab raja, para pejabat kerajaannya pergi menjumpai ibunya dan memberitahunya tentang hal ini. Ibunya datang dengan tergesa-gesa dan setelah menanyakan kepada raja, “Apakah ini benar apa yang mereka katakan, Putraku, bahwa kamu ingin menjalankan kehidupan petapa?” ia mengucapkan dua bait berikutnya:
Hari di saat saya disebut sebagai Ibu oleh seorang anak sepertimu
adalah suatu ketidakberuntungan; Karena tanpa memedulikan air mata
dan ratap tangisku, wahai Sutasoma, kamu telah bertetap hati
menjalankan kehidupan petapa.
Hari di saat saya melahirkan dirimu
adalah suatu ketidakberuntungan; Karena tanpa memedulikan air mata
dan ratap tangisku, wahai Sutasoma, kamu telah bertetap hati
menjalankan kehidupan petapa.
Ketika ibunya meratap demikian, Bodhisatta tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ibunya tinggal sendirian, sambil menangis. Kemudian mereka memberitahu ayahnya. Ayahnya datang dan mengucapkan satu bait berikut:
Kebenaran apa ini yang menuntunmu menjadi
Ingin untuk meninggalkan kerajaan dan rumahmu?
Meninggalkan kedua orang tuamu sendirian di sini,
untuk menjalankan kehidupan petapa?
Ketika mendengar ini, Sang Mahasatwa terdiam. Kemudian ayahnya berkata, “Anakku Sutasoma, meskipun kamu tidak memiliki cinta kepada orang tuamu, tetapi kamu memiliki banyak putra dan putri yang masih kecil. Mereka tidak akan bisa hidup tanpa dirimu. Maukah kamu baru menjadi petapa di saat mereka telah tumbuh dewasa?” dan ia mengucapkan bait ketujuh berikut:
Tetapi kamu memiliki banyak anak,
dan semuanya masih muda;
Di saat Anda tidak terlihat lagi,
betapa sedih mereka nantinya!
Mendengar ini, Sang Mahasatwa mengucapkan satu bait kalimat:
Ya, saya memiliki banyak anak,
dan mereka masih muda; Saya telah bersama
dengan mereka dalam waktu yang lama,
sekarang saya harus pergi.
Demikianlah Sang Mahasatwa memaparkan kebenaran kepada ayahnya. Dan ketika mendengar pemaparannya tentang kebenaran tersebut, raja pun terdiam. Kemudian mereka memberitahu ketujuh ratus wanita kerajaannya. Setelah turun dari istana, mereka datang ke hadapannya, dan dengan memegang kakinya, mereka meratap tangis dan mengucapkan bait ini:
Hatimu pastinya telah menghancurkan rasa sedih,
atau Anda pastinya tidak mengenal belas kasih,
sehingga Anda hendak menjalankan kehidupan petapa,
dan meninggalkan kami semua di sini, meratap tangis.
Ketika mendengar ratapan mereka di saat mereka bersujud di kakinya dan menangis dengan keras, Sang Mahasatwa mengucapkan satu bait berikut:
Hatiku tidak menghancurkan rasa sedih,
Meskipun saya merasa kasihan atas penderitaanmu,
tetapi saya tetap harus menjadi petapa,
agar saya dapat memperoleh kebahagiaan surgawi.
Kemudian mereka memberitahukannya kepada permaisuri; meskipun dibebani oleh kandungannya, tetapi ia tetap datang, tepat pada waktunya. Ia menghampiri Sang Mahasatwa dan setelah memberi hormat kepadanya, berdiri di satu sisi dan mengucapkan tiga bait berikut:
Hari di saat saya diperistri olehmu adalah suatu ketidakberuntungan;
karena tanpa memedulikan air mata dan ratap tangisku,
wahai Sutasoma, kamu telah bertetap hati
menjalankan kehidupan petapa.
Hari di saat saya diperistri olehmu adalah suatu ketidakberuntungan;
karena kamu akan meninggalkanku mati dalam kesedihan,
wahai Sutasoma, kamu telah bertetap hati
menjalankan kehidupan petapa.
Waktu persalinanku sudah dekat, dan saya akan merasa gembira
jika kamu tetap tinggal bersama denganku, sampai anakku lahir,
sebelum hari itu, saya akan melewati
hari menyedihkan yang dirampas olehmu.
Kemudian Sang Mahasatwa mengucapkan satu bait berikut:
Waktu persalinanmu sudah dekat, sampai bayi itu lahir,
saya tidak bisa tinggal bersama denganmu;
Saya akan meninggalkan anak kerajaan ini
dan pergi menjalankan kehidupan petapa.
Ketika mendengar perkataannya ini, permaisuri tidak dapat mengendalikan kesedihannya, dan memegang dadanya dengan kedua tangan, ia berkata, “Untuk selanjutnya, tidak ada lagi kejayaan kita.” Kemudian sembari mengusap air matanya, ia meratap tangis dengan kuat. Sang Mahasatwa mengucapkan satu bait berikut untuk menghibur dirinya:
Ratuku, yang terkasih Candā,
dengan mata seperti bunga biru100,
janganlah meratap tangis karena diriku,
naiklah kembali ke istanamu:
Saya akan tetap pergi tanpa ada yang menjaga dirimu.
Karena tidak tahan dengan kata-katanya, permaisuri naik ke istana dan duduk di sana, sambil menangis. Kemudian putra sulung Bodhisatta yang melihat kejadian ini berkata, “Mengapa ibuku duduk di sini, sambil menangis?” dan ia mengucapkan bait kalimat berikut dalam bentuk sebuah pertanyaan:
Siapa yang telah mengganggumu, Ibuku terkasih,
mengapa Anda menangis dan menatap diriku dalam?
Haruskah saya habiskan mereka,
sanak keluargaku yang jahat padamu, untuk dirimu?
Kemudian permaisuri mengucapkan bait berikut:
Tidak ada bahaya, Putraku terkasih, yang dapat menyentuh kepalanya,
ia yang hidup memberikan penderitaan ini kepadaku:
Karena, ketahuilah, orang itu adalah ayahmu yang mengatakan,
‘Saya akan tetap pergi tanpa ada yang menjaga dirimu.’
Mendengar perkataan ibunya, ia berkata, “Ibu, apa ini yang Anda katakan? Jika memang ini kejadiannya, kita akan menjadi tidak berdaya,” dan dengan ratap tangis, ia mengucapkan bait ini:
Saya, yang dahulu berkeliaran di taman
melihat gajah-gajah liar terlibat dalam pertarungan,
jika ayahku harus menjalankan kehidupan petapa,
apa yang harus kulakukan, orang malang yang tidak beruntung?
Kemudian di saat melihat mereka berdua sedang menangis, adiknya yang berusia tujuh tahun menghampiri ibunya dan berkata, “Ibu dan Abangku terkasih, mengapa kalian menangis?” Dan setelah mendengar penyebabnya, ia berkata, “Baik, berhentilah menangis; saya tidak akan membiarkannya menjadi seorang petapa,” dan ia menghibur mereka berdua.
Setelah turun dari istana tersebut bersama dengan perawatnya, ia pergi menjumpai ayahnya dan berkata, “Ayah, mereka memberitahuku bahwa Anda akan meninggalkan kami meskipun dengan menentang kehendak kami, dan mengatakan bahwa Anda akan menjadi seorang petapa. Saya tidak mengizinkanmu menjadi seorang petapa,” dan dengan memegang ayahnya dengan erat pada bagian leher, ia mengucapkan bait ini:
Ibu dan abangku sedang menangis,
menginginkanmu untuk tetap tinggal,
saya juga akan menahanmu dengan memegang tanganmu,
tidak akan membiarkanmu pergi di luar kehendak kami.
Sang Mahasatwa berpikir, “Anak ini adalah satu sumber hambatan bagi diriku; dengan cara apakah saya harus menghindarinya?” Kemudian setelah melihat pengasuhnya, ia berkata, “Bu, lihatlah permata ini. Ini akan menjadi milikmu jika kamu dapat membawa anak ini pergi, sehingga ia tidak menjadi satu hambatan bagiku.”
Demikian, karena ia tidak dapat menghindari anak yang memegang tangannya itu, ia menjanjikan pengasuh tersebut sogokan dan mengucapkan bait berikut:
Pengasuh, bawalah anak kecil ini,
mainlah dengannya di tempat lain;
Kalau tidak, ia akan merusak kebahagiaanku
dan menghalangi diriku dalam jalanku menuju ke alam surga.
Perawat tersebut mengambil sogokannya, membawa anak itu ke tempat yang lain untuk menghibur dirinya, dan dengan meratap demikian ia mengucapkan bait ini:
Bagaimana jika saat ini saya langsung menolak
—saya tidak memerlukannya—permata berkilau ini?
Karena jika Anda menjadi seorang petapa,
apalah gunanya permata ini bagiku?
Kemudian panglima raja berkata, “Menurutku, raja ini telah berpikiran bahwa ia hanya memiliki harta kekayaan yang sedikit di dalam rumahnya. Saya akan membuatnya tahu bahwa ia memiliki jumlah yang banyak,” setelah berdiri, ia memberi hormat kepada raja dan mengucapkan bait ini:
Perbendaharaanmu dipenuhi dengan banyak harta,
Anda telah mengumpulkan kekayaan, wahai raja, dalam jumlah besar;
Seluruh dunia dikuasai olehmu,
ambillah mereka sesuka hatimu, jangan menjadi petapa.
Mendengar ini, Sang Mahasatwa mengucapkan bait ini:
Perbendaharaanku dipenuhi dengan banyak harta,
saya telah mengumpulkan kekayaan dalam jumlah besar;
Seluruh dunia dikuasai olehku,
saya tinggalkan semuanya itu untuk menjadi petapa.
Ketika ia pergi setelah mendengar ini, seorang saudagar kaya bernama Kulavaddhana berdiri dan dengan memberi hormat kepada raja, mengucapkan bait ini:
Saya telah mengumpulkan kekayaan dalam jumlah besar,
wahai raja, di luar batas semua kekuatan mampu menghitung yang besar:
Lihatlah, saya memberikan semuanya kepadamu,
ambillah mereka sesuka hatimu; jangan menjadi petapa.
Ketika mendengar ini, Sang Guru mengucapkan satu bait berikut:
Wahai Kulavaddhana, saya tahu,
kamu akan memberikan kekayaanmu kepadaku;
Akan tetapi saya telah bertekad pada pelepasan keduniawiaan,
sekarang saya akan menjalankan kehidupan petapa.
Setelah Kulavaddhana mendengar ini dan pergi, ia kemudian menyapa adiknya Somadatta, “Adik, saya merasa tak puas, seperti ayam dalam kandang, ketidakpuasanku terhadap kehidupan rumah tangga telah membuat diriku menjadi lebih baik. Hari ini juga saya akan menjadi seorang petapa; Gantilah diriku untuk memimpin kerajaan ini,” dan dengan mengalihkannya kepada dirinya, ia mengucapkan bait ini:
Wahai Somadatta, saya merasa yakin,
ketidakpuasan atas keduniawian telah mencuri indraku
di saat memikirkan perbuatan burukku yang menyerang dari segala arah:
Hari ini saya akan menjadi seorang petapa.
Setelah mendengar perkataannya, Somadatta juga ingin menjadi seorang petapa, dan untuk menjelaskan ini, ia mengucapkan bait berikutnya:
Sutasoma terkasih, pergi dan tinggallah
di dalam bilik kecil petapa jika itu membahagiakanmu;
Saya juga senang untuk menjadi seorang petapa,
hidup tidak terpisah darimu.
Kemudian untuk menolak ini, Sutasoma mengucapkan setengah bait berikut:
Anda tidak boleh pergi, atau di seluruh ruangan,
kehidupan rumah akan menjadi terhenti.
Ketika mendengar ini, orang-orang bersujud di kaki Sang Mahasatwa dan berkata, dengan meratap:
Jika Sutasoma harus menjadi seorang petapa,
apa yang akan terjadi dengan kami?
Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Jangan bersedih. Walaupun saya telah lama bersama dengan kalian, tetapi saya harus berpisah dari kalian, tidak ada yang kekal dalam segala yang terkondisi,” dan untuk mengajarkan kebenaran kepada orang banyak tersebut, ia berkata,
Seperti air yang melewati saringan,
demikianlah singkatnya hari-hari kita yang berlalu dengan cepat:
Dengan kehidupan yang demikian terbatas,
hendaknya tidak boleh ada ruang untuk kelalaian.
Seperti air yang melewati saringan,
demikianlah singkatnya hari-hari kita yang berlalu dengan cepat:
Dengan kehidupan yang demikian terbatas,
hanya orang dungu yang memberi ruang untuk kelalaian.
Terikat erat oleh nafsu-nafsu keinginan, mereka akan terjatuh dikarenakannya;
Orang-orang yang demikian akan memperbesar jumlah penghuni alam neraka,
meramaikan alam hewan dan alam hantu kelaparan,
serta melipatgandakan jumlah penghuni alam semidewa (asura).
Demikian Sang Mahasatwa memaparkan kebenaran kepada orang banyak tersebut, dan dengan naik ke atas Istana Bunga (Pubbakapāsāda), ia berdiri di tingkat ketujuh.
Dengan sebilah pedang ia memotong rambutnya dan berteriak, “Sekarang saya bukanlah siapa-siapa bagi kalian. Pilihlah seorang raja,” dan setelah mengucapkan kata-kata ini, ia membuang rambut, ikat kepala, dan semuanya ke tengah kerumunan orang banyak tersebut.
Orang-orang menangkap benda-benda itu, dan mereka meratap dengan keras ketika berguling-guling di tanah. Timbullah gumpalan debu di tempat ini sampai pada ketinggian yang hebat, dan orang-orang yang berdiri dibelakang melihatnya dan berkata, “Raja pasti telah memotong rambut, ikat kepala dan semuanya, dan melemparkannya ke tengah kerumunan. Oleh karenanya, timbul gumpalan debu di dekat istana,” dan dengan meratap demikian, mereka mengucapkan bait ini:
Gumpalan debu di sana,
lihat bagaimana ia timbul di dekat Istana Bunga kerajaan;
Raja kebenaran yang termashyur, pemimpin kita,
telah memotong rambutnya dengan sebilah pedang.
Sang Mahasatwa mengutus seorang pelayan mempersiapkan segala barang perlengkapan seorang petapa untuk dibawa kepadanya, dan meminta seorang tukang pangkas untuk memangkas rambut dan janggutnya. Setelah membuang jubah bagusnya di kursi, ia menggunting potongan kain berwarna, mengenakan kain berwarna kuning ini, mengikat sebuah patta yang terbuat dari tanah liat di bahu kirinya, dan dengan peralatan seorang pengemis di tangannya ia melangkah maju mandur dari tingkat paling atas tersebut, kemudian turun dari istana, melangkah ke luar di jalan, tetapi tidak seorang pun mengenali dirinya di saat ia pergi.
Kemudian ketujuh ratus wanita kerajaannya yang naik ke menara dan tidak menemukan dirinya, hanya melihat bundelan perhiasannya, turun kembali dan memberitahukan enam belas ribu istri raja, dengan berkata, “Raja Sutasoma, Pemimpin terkasih kalian, telah menjadi seorang petapa,” dan dengan kerasnya meratap tangis, mereka pergi keluar.
Pada waktu ini orang-orang mengetahui bahwa dirinya telah menjadi seorang petapa, dan seluruh kota menjadi sangat kacau, dan orang-orang berkata, “Mereka mengatakan, raja kita telah menjadi seorang petapa,” dan mereka berkumpul bersama di depan pintu istana dengan meneriakkan, “Raja pasti ada di sini atau di sana,” mereka berlari ke semua tempat yang sering dikunjungi dirinya, dan ketika tidak menemukan raja mereka berkeliaran ke sana dan ke sini, dengan mengucapkan ratapan mereka di dalam bait berikut:
Di sini adalah istana emasnya,
semuanya dihias dengan karangan bunga yang harum,
dikelilingi oleh begitu banyak wanita yang cantik,
raja akan sering sekali pulang kembali.
Di sini adalah istana emasnya,
semuanya dihias dengan karangan bunga yang harum,
dikelilingi oleh begitu banyak wanita yang cantik,
raja kami akan dapat menguasai dengan segala kebesarannya
dengan sanak keluarga ada di sampingnya.
Ini adalah kebunnya yang terang
dengan bunga-bunga di sepanjang musim
yang selalu berubah-ubah, dikelilingi oleh begitu banyak…
Danau birunya ditumbuhi oleh bunga teratai,
dihuni oleh burung-burung liar,
yang terlihat dari sini,
dikelilingi oleh begitu banyak …
Demikianlah orang-orang mengucapkan ratapan tersebut dalam berbagai tempat yang berbeda ini, dan kemudian setelah kembali ke halaman istana, mereka mengucapkan bait berikut:
Raja Sutasoma, sedih untuk dikatakan,
telah meninggalkan takhtanya demi bilik kecil petapa;
Dan, dengan berpakaian serba kuning,
pergi berjalan seperti gajah yang tersesat sendirian.
Kemudian mereka berangkat dengan meninggalkan semua perkakas rumah tangganya, dan dengan menggandeng tangan anak-anaknya, mereka pergi berduyun-duyun ke tempat Bodhisatta, dan bersama mereka juga ikut orang-orang tua dan anak-anaknya beserta enam belas ribu gadis penari.
Kota menjadi terlihat seperti sebuah tempat yang tidak berpenghuni, dan di belakang mereka tersebut, terdapat para penduduk desa.
Bodhisatta beserta dengan rombongannya yang mencakup panjang dua belas yojana pergi menuju ke arah pegunungan Himalaya. Kemudian Sakka, yang mengetahui tentang pelepasan kehidupan duniawi oleh dirinya, memanggil Vissakamma dengan berkata, “Teman Vissakamma, Raja Sutasoma akan pensiun dari kehidupan duniawi. Ia harus memiliki sebuah tempat untuk tinggal. Akan ada satu kumpulan yang besar dari mereka.” Dan ia mengutusnya dengan berkata, “Pergi dan bangunlah sebuah tempat pertapaan, dengan panjang tiga puluh yojana dan lebar lima yojana, di tepi Sungai Gangga di negeri Himalaya.” Ia pun melakukan demikian dan menyediakan di dalam tempat pertapaan tersebut semua yang dibutuhkan dalam kehidupan petapa, ia juga membuat jalan setapak yang mengarah lurus ke sana, dan kemudian kembali ke alam dewa.
Sang Mahasatwa masuk ke dalam tempat pertapaan itu dengan melewati jalan tersebut; setelah ia yang pertama bertahbis, ia menahbiskan yang lainnya menjadi petapa, dan akhirnya terdapat sejumlah besar yang ditahbiskan, demikian banyaknya sehingga ruang yang luasnya tiga puluh yojana itu terisi oleh mereka.
Tentang bagaimana tempat pertapaan itu dibangun oleh Vissakamma, bagaimana sejumlah besar orang tersebut ditahbiskan, dan bagaimana tempat pertapaan Bodhisatta tersebut direncanakan—semuanya ini akan dimengerti dalam hubungannya dengan Hatthipāla-Jātaka103.
Dalam kelanjutan kisah ini, jika ada satu pikiran akan nafsu keinginan atau pikiran buruk lainnya muncul di dalam pikiran siapa saja, maka Sang Mahasatwa akan mendatangi dirinya dengan terbang melalui udara dan dengan duduk bersila di angkasa, dengan memberikan nasihat, akan menyapanya dalam dua bait berikut:
Jangan timbulkan dalam pikiran akan nafsu masa lalu, dengan wajah tersenyum;
Kalau tidak, tempat kebahagiaan yang indah itu
akan membangkitkan kesenangan indriawi dan membunuhmu.
Jangan lengah, tebarkanlah cinta kasih kepada semua orang, siang dan malam;
Maka kamu akan mendapatkan alam brahma, tempat mereka
yang menjalankan kediaman luhur akan muncul.
Dan rombongan resi ini yang mengikuti nasihatnya tersebut mengalami kelahiran di alam brahma, dan kisah ini akan diceritakan semuanya seperti di dalam Hatthipāla-Jātaka.
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata: “Bukan hanya kali ini, Para Bhikkhu, tetapi di masa lampau juga Sang Tathāgata (Tathagata) melakukan pelepasan agung terhadap keduniawian,” dan Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, ayah dan ibu adalah anggota dari kerajaan yang agung, Candā adalah Ibunya Rāhula (Rahula), putra sulung adalah Sāriputta, adiknya adalah Rahula, pengasuh adalah Khujjuttarā, Kulavaddhana, sang saudagar kaya, adalah Kassapa, panglima adalah Moggallāna, Pangeran Somadata adalah Ānanda, Raja Sutasoma adalah diriku sendiri.”
salam ceria...